28.2 C
Jakarta

Pasca Pemilu: Potensi Ekstremisme Menguat

Artikel Trending

KhazanahTelaahPasca Pemilu: Potensi Ekstremisme Menguat
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Tahun 2022 silam, ketika Pemilu paruh waktu di AS, sebuah serangan terjadi kepada Paul Pelosi, suami Ketua Dewan Perwakilan AS Nancy Pelosi. Serangan tersebut terjadi ketika seminggu sebelum Pemilu dilaksanakan. Lain halnya di AS, pada tahun 2019 silam ketika Pemilu di Indonesia, di Poso, Sulawesi Tengah, dan Bima, Nusa Tenggara Barat, pemerintah berhasil menyediakan saluran non-kekerasan terhadap aspirasi politik sebagian anggota kelompok ekstrem yang pernah terlibat dalam sejumlah kasus terorisme.

Pada laporan Pemilu 2019 di Poso, terdapat keterbukaan terhadap Pemilu pada kalangan jihadis yang selama ini menganggap Pemilu sebagai praktik taghut (tiran anti-Islam). Pada kontestasi Pemilu 2019 silam, kalangan jihadis melihatnya sebagai medan perjuangan umat Islam. Namun, di sisi lain, tidak sedikit mantan kombatan di Poso yang melihat pertarungan dalam kancah demokrasi sebagai pilihan yang lebih realistis daripada mengulang perang masa lalu.

Artinya, terdapat dua kelompok jihadis di Poso dalam melihat Pemilu. Pertama, kalangan jihadis yang memiliki anggapan bahwa Pemilu sebagai medan perjuangan umat Islam. Mereka adalah kelompok yang terus menyebarkan narasi, mengajak masyarakat untuk golput agar Pemilu tidak menjadi ladang dosa berjamaah bagi umat Islam. Kedua, mantan jihadis yang melihat Pemilu sebagai bagian dari demokrasi, di mana masyarakat harus ikut andil di dalamnya.

Adanya dua kelompok ini sebenarnya menjadi sebuah kenyataan bahwa, dalam Pemilu pasti terdapat kelompok ekstremis yang akan terus menyerukan masyarakat untuk menghindari terlibat dalam pesta demokrasi. Belajar dari tragedi Pemilu yang sudah terjadi di Indonesia pada tahun 2019, tentu kita akan melihat potensi masalah yang sangat besar pada Pemilu tahun 2024. Narasi kesyirikan dalam Pemilu tahun 2024 semakin melebar. Narasi ini menciptakan polarisasi yang sangat besar di tengah-tengah masyarakat.

Tidak hanya itu, perkembangan media sosial memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kondisi sosial masyarakat. Keberadaan TikTok, aplikasi yang berisi video pendek dan penerapan FYP untuk viral, sangat membantu dalam kampanye digital yang dilakukan oleh para politisi. Ini juga berimbas terhadap ideologi radikal dan propaganda terorisme. Barangkali kita bisa menyimpulkan bahwa Pemilu 2024 mungkin menjadi ajang penyebaran narasi ekstrem yang dapat memecah belah bangsa Indonesia.

BACA JUGA  Idulfitri: Rajut Silaturahmi dengan Sikap Toleran Antarumat Beragama

Kelompok radikal memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan hoax seputar pemilu, propaganda yang dirancang untuk menebar kebencian terhadap pemerintah. Upaya ini dilakukan untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat agar tidak percaya terhadap Pemilu yang sedang diselenggarakan oleh pemerintah. Kebencian terhadap pemerintah akan dimanfaatkan oleh kelompok esktrem untuk menggiring opini bahwa, pemerintahan dengan sistem khilafah adalah solusi untuk menghentikan kehancuran yang terjadi di Indonesia.

Aksi yang dilakukan oleh kelompok ekstrem tidak lagi menegakkan bom di Tempat Pemungutan Suara (TPS), akan tetapi dengan strategi nir-kekerasan yang bersifat mempengaruhi masyarakat melalui ajakan atau kampanye. Nir kekerasan yang dimaksud tidak mengajak masyarakat untuk melakukan pengeboman. Akan tetapi mencuri perhatian rakyat agar tidak terlibar dalam Pemilu.

Upaya yang Bisa Dilakukan

Kelompok ekstrem memahami bahwa Pemilu adalah salah satu ladang jihad bagi para ekstremis untuk menyebarkan ideologinya. Upaya yang bisa kita lakukan adalah anti golput dan menolak semua narasi dari kaum ekstremis. Tentu, tidak semua masyarakat memiliki akses mumpuni terhadap informasi semacam ini. Artinya, perlu menyediakan ruang dialog dan diskusi sebagai sarana edukasi kepada masyarakat agar tidak memahami bahwa Pemilu adalah ladang kesyirikan.

Seperti yang kita ketahui bahwa, Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia. Narasi yang dikampanyekan oleh jihadis supaya menciderai Pemilu dengan narasi agama, menjadi ladang yang menggiurkan untuk memperoleh suara dari masyarakat. Pasca Pemilu, optimalisasi ruang pertemuan antar masyarakat, dengan para tokoh agama di tingkat kelurahan, desa perlu dilakukan. Upaya ini untuk menyongsong Kembali persatuan dan kesatuan antar umat beragama.

Pasca Pemilu, pertemuan tersebut wajib dilakukan untuk merajut kembali rasa persaudaraan yang selama ini sempat redup ketika menjelang Pemilu karena pilihan yang berbeda. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru