27.3 C
Jakarta

Pemberdayaan Perempuan sebagai Upaya Pencegahan Penyebaran Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahTelaahPemberdayaan Perempuan sebagai Upaya Pencegahan Penyebaran Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Setiap 21 April, kita selalu memperingati Hari Kartini, sebagai simbol dari penghormatan atas perjuangan pahlawan nasional yang bernama Raden Ajeng Kartini. Perjuangan menjadi perempuan sekaligus bangsa Indonesia, melalui emansipasi perempuan, membawa kita pada kesempatan yang cukup besar bagi perempuan di masa yang akan datang.

Kesempatan menempuh pendidikan, melanjutkan karir, atau mengabdi di masyarakat, sangat terbuka bagi perempuan pada masa kini. Meski tidak semua perempuan memiliki kesempatan yang sama karena faktor budaya yang berkembang dalam keluarga/masyarakat, paling tidak beberapa kelompok perempuan sudah bisa mendapatkan kesempatan tersebut.

Tentu, ini bukan karena menegasikan perjuangan para pahlawan perempuan yang lain. Lebih tepatnya, kita selalu merefleksikan seperti apa, kesempatan bagi perempuan untuk hidup sebagai manusia seutuhnya di tengah budaya patriarki yang masih mengakar.

Salah satu narasi yang sampai hari ini harus terus diperjuangkan untuk diaplikasikan adalah pemberdayaan perempuan. Tentu, ini maknanya sangat luas, mengingat bahwa tantangan perempuan dalam setiap wilayah berbeda-beda. Namun, hal yang paling bisa disadari adalah pemberian kesempatan bagi perempuan pada setiap elemen kehidupan, bisa diartikan sebagai pemberdayaan perempuan itu sendiri.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterlibatan Perempuan dalam Kelompok Radikal

Keterlibatan perempuan secara lebih aktif dalam kelompok terorisme saat ini mengarah pada peran taktis dan operasional, seperti pelaku bom bunuh diri, martir penyerangan, perekrut, dan donatur. Beberapa deretan nama perempuan yang terlibat dalam kelompok teror adalah Dian Yulia Novi, Siti Rahmah, Munfiatun. Ketiga perempuan ini didukung oleh suaminya yang juga bergabung dalam kelompok teroris. Selain mereka, ada pula Zakiah Aini. Perempuan yang menyerang Mabes Polri pada tahun 2021 silam, membuktikan bahwa keterlibatan perempuan dalam terorisme tidak selalu atas dasar karena suami.

Artinya, perempuan secara mandiri bisa terlibat dalam kelompok tersebut atas dasar keinginannya sendiri. Dari nama-nama perempuan di atas, tidak menutup kemungkinan akan muncul nama baru, atau bahkan ada banyak nama yang belum diketahui masyarakat.

Menyadari hal tersebut, setidaknya ada beberapa faktor yang melatarbelakangi perempuan terlibat dalam kelompok tersebut, di antaranya: kemiskinan, pernikahan, norma budaya yang bias gender, perubahan sosial, penurunan teroris laki-laki.

BACA JUGA  Feminis Leadership: Melihat Keberhasilan Pemimpin Perempuan dalam Pencegahan Radikalisme

Faktor tersebut menjadi sebuah kenyataan bahwa, kasus terorisme ini sangat kompleks. Apalagi ketika membawa masuk kelompok perempuan sebagai aktor terdepan, maka diperlukan strategi yang berbeda untuk mencegah radikalisme-terorisme di kalangan perempuan.

Pemberdayaan Perempuan Seperti Apa?

Dari faktor-faktor di atas, kita akan memahami bahwa pentingnya keterlibatan perempuan dalam pencegahan radikalisme-terorisme, dimaksudkan agar tidak ada lagi perempuan yang masuk dalam kubangan setan tersebut. Maka pemberdayaan yang dimaksud adalah memaksimalkan peran perempuan untuk mengisi pos-pos strategis dalam upaya pencegahan radikalisme-terorisme.

Dalam konteks kelompok perempuan, penting sekali memaksimalkan peran-peran Aisyiyah, Fatayat NU atau kelompok perempuan lain di akar rumput, guna mempromosikan dan mengampanyekan nilai-nilai keislaman yang ramah terhadap perempuan di akar rumput. Jika kita menyadari bahwa, tidak hanya kelompok perempuan Muslim yang memiliki potensi besar bergabung dalam kelompok teroris, maka penting juga memaksimalkan kelompok perempuan dari setiap agama untuk menyebarkan misi ini.

Pemberdayaan ini perlu dimaksimalkan dari tingkat nasional hingga ke bawah, mengingat bahwa, kelompok agama yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia khususnya di akar rumput memiliki kegiatan rutinitas, di mana hal itu bisa dijadikan basis ideologisasi yang bisa dicuri oleh kelompok radikal. Biasanya, kelompok agama di akar rumput memiliki rutinitas pengajian mingguan, bulanan, tingkat RT-RW, bahkan desa, yang dilaksanakan oleh kaum perempuan.

Maka dari itu, pentingnya pemimpin agama, khususnya dari golongan perempuan mempromosikan ajaran agama yang humanis, setara dan berkeadilan. Pemberdayaan kelompok perempuan, harus dikawal betul oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai salah satu basis pencegahan yang sangat kuat dari kalangan perempuan. Perlu adanya penekanan kepada setiap kelompok perempuan, betapa rentannya mereka bergabung dalam kelompok teroris, apalagi karena faktor suami dan anggota keluarga.

Jika setiap kelompok agama menyadari hal ini, maka dari setiap organisasi pasti akan terus memberikan penguatan kapasitas keilmuan kepada setiap pemimpin agama, untuk menyebarkan kepada masyarakat. Dengan demikian, posisi perempuan tidak hanya dianggap sebagai kelompok yang hanya bisa menerima informasi saja (kelompok pasif). Akan tetapi, sebagai kelompok aktif yang memberikan informasi serta sebagai pilar pencegahan penyebaran radikalisme-terorisme, di kalangan perempuan, utamanya keluarga. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru