32.5 C
Jakarta

Ulama: Bertarung Melawan Politik Agama dan Radikalisme

Artikel Trending

Milenial IslamUlama: Bertarung Melawan Politik Agama dan Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sebagai pemikir dan pelaku ritual-spiritual keagamaan, ulama menjadi poros dan mata air keteladanan bagi kehidupan umat sebagai peneguh kohesi sosial dan penggalian spirit ajaran Islam: seperti tasamuh (toleransi), egalitarianisme, dan al-adalah (keadilan).

Di tengah superior keagamaan dan kefanatikan yang mendaku sebagai yang paling benar, yang bahkan merampas hak otoritas Tuhan, ulama menjadi kunci dan tebeng untuk melenturkan dinamika dan suasana tersebut. Pemahaman yang eksklusif yang kemudian bermuara pada penolakan kebinnekaan, menjadi pekerjaan nyata yang harus segera digarap dan ditukangi oleh ulama dan kita.

Beragama Secara Inklusif

Sesungguhnya, beragama secara eksklusif dan idealis tidak cukup untuk menjawab kondisi zaman mutakhir. Para ulama tentunya perlu urun rembuk dan mendongkel realitas itu untuk dicari dan mencari sisi positifnya sebagai acuan kebaragamaan dan kehidupan bersama.

Agar, agama tidak hanya dijadikan sebagai pemersatu emosional, tapi juga berperan sentral meneguhkan nilai-nilai otentik berislam: harmonisasi sosial dan bertuhan. Berkorban mencari solusi keumatan adalah memiliki distingsi atau kepentingan diri atas kepentingan keilahiyaan dan kemanusiaan.

Ibadah tentu sesuai dengan kandungan maknanya, bertujuan taqarrub ila Allah dan taqarub ila al-nas. Membuat seseorang lebih (taqarub) dekat dengan Tuhannya, dan sekaligus (aqrab) merekatkan kohesi sosial antar masyarakat. Baik yang dulunya memiliki hubungan baik atau yang bercerai berai.

BACA JUGA  Idul Fitri, Memperkuat Kohesi Sosial dan Penyucian Diri

Dengan begitu, apabila ulama bisa mengakomodasi permasalahan dan kepentingan umat, itu bermakna menjadi pengikat ikatan batin antara yang vertikal (Tuhan) dan horizontal (kerekatan sosial, budaya, politik).

Peneguhan Kohesi Sosial

Dalam konteks ini, ibadah-ibadah kita dan keulamaan perlu memiliki penekanan kemampuan (istitha’ah) dan perasaan ikhlas. Berkorban berjuang atas agama Allah memerlukan biaya finansial yang cukup. Di samping itu perlu diarahkan pada pengembangan wacana solidaritas kemanusiaan sebagai cara pandang yang otentik dan humanis, serta jauh dari sikap pamer nan egoistik.

Sebagaimana yang dicontohkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Kesabaran dan keikhlasan berkorban menjadi simbol jihad besar. Ia mengandung makna derma, sekaligus ungkapan syukur kepada Allah atas rezeki, ilmu, harta dan nikmat yang telah diberikan (QS. al-Kautsar, 108:1-3).

Apalagi, di suasana tengah politik sengkarut ini, berkorban demi keumatan merupakan urgensi. Aktualisasi keulamaan menjadi sangat relevan untuk solidaritas kemanusiaan. Peneguhan semangat keulamaan selalu dinantikan oleh mereka yang terdampak polusi politik, mengalami keterhimpitan materi, ilmu dan literatur  serta ruang pendidikan sosial dan agama.

Dengan melakukan solidaritas seperti itu, akan menolong orang-orang yang kesusahan dan tersesat. Bahkan, kian meningkatnya filantropi keagamaan dan kesadaran keulamaan itu, kehidupan kita bisa dipastikan menjadi damai, stabil, dan kuat, serta terlepas dari bahaya paham radikalis yang mengitari umat Islam selama ini. Itu.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru