28.2 C
Jakarta

Menangani Propaganda Khilafah dan Tantangan Moderasi di Kampus Umum

Artikel Trending

Milenial IslamMenangani Propaganda Khilafah dan Tantangan Moderasi di Kampus Umum
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Mohammed Rycko Amelza Dahniel mengajak semua pihak untuk mewaspadai perkembangan ideologi radikal di bawah tanah. Menurutnya, kolaborasi dan sinergi berbagai elemen masyarakat, terlebih seluruh organisasi pemerintahan, perlu dilakukan untuk mengidentifikasi ideologi tersebut. Bagi Rycko, identifikasi dimaksud dapat dilakukan sebelum upaya-upaya pencegahan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

“Libatkan seluruh masyarakat bersama-sama untuk membangun daya cegah, daya tangkal, daya lawan kepada dirinya sendiri, kepada keluarganya, kepada kawan-kawannya, kepada kelompoknya, kepada masyarakat,” ujar Kepala BNPT, Selasa (23/4) kemarin, dalam siaran pers.

Apa ideologi radikal yang dimaksud? Apa gerakan bawah tanah yang mereka lakukan? Dua pertanyaan ini penting diajukan. Sebab, berbicara tentang ideologi radikal, di negara ini terdapat beberapa kelompok fundamental yang tidak dapat disatupadukan. Ada kaum jihadi, ada juga aktivis tahriri. Yang terakhir ini kerap kali luput dari sorotan dan sama sekali selamat dari penangkapan atau penjara. Jadi, apakah yang Rycko maksud ideologi radikal adalah HTI dan propaganda khilafahnya?

Memang, HTI sudah dibubarkan tujuh tahun lalu. Mestinya tidak ada lagi kekhawatiran karena propaganda khilafah juga tidak lagi berjalan. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Propaganda tetap menemukan celah melanggengkan eksistensi narasi khilafah atau keinginan merombak sistem pemerintahan. Sementara itu di tataran dunia pendidikan, narasi moderasi beragama hanya berkiprah di PTKIN, belum ke PTUN. Di situlah, propaganda bawah tanah HTI menemukan momentumnya.

Ini kemudian menjadi tantangan bagi dakwah moderasi beragama. Dalam praktiknya, narasi moderat tidak sekadar menjadi proyek Kemenag belaka, sementara Kemendikbud hanya sibuk dengan birokrasi sistem pendidikan. Sampai kapan pun propaganda khilafah tidak akan berhenti selama peluang ke arah indoktrinasi masih lebar. Politik hanya satu bidang strategis, sementara pendidikan adalah strategi lainnya. Semua lini harus steril dari propaganda khilafah.

Masifnya Propaganda Khilafah

Tantangan dalam mengonter propaganda khilafah kerap kali datang dari orang sekitar. Sebagai sebuah misi yang abstrak, propaganda tidak jarang disikapi secara apatis—rasa abai dan tidak percaya. Ketika saya berbicara mengenai topik tersebut, sebagian orang mencibirnya sebagai pengalihan isu. Ketika menjadi jelas bahwa gerakan radikalisme di kampus itu riil, berkedok kajian, diskusi, seminar, dll, baru yang menjadi persoalan ialah masih haruskah kita mengkhawatirkannya.

Sebabnya, setelah pembubaran satu persatu ormas berbahaya, tuduhan justru menyasar pemerintah sebagai pihak anti-Islam. HTI yang banyak menjadi patron eksklusivisme di Indonesia ikut meramaikan narasi tersebut. Sampai-sampai dalam perkembangannya, kontra-propaganda dan kontra-narasi menjelma sebagai sesuatu yang menakutkan: dianggap pengalih isu pemerintahan, pemaksaan stigmatis, dan anggapan lainnya yang semakin menumbuhsuburkan propaganda itu sendiri.

BACA JUGA  Overdosis Ajaran Radikal Manipulatif di Media Sosial

Padahal, polarisasi kelompok radikal merupakan suatu fakta yang mengemuka. Artinya, bahkan sekalipun tidak lagi terdengar lagi narasi khilafah islamiah palsu dan jargon kembali ke Al-Qur’an dan sunah, cita-cita kemajuan Islam cukup kentara yang sadisnya justru dengan cara memojokkan pemerintah yang tengah berkuasa sebagai orang zalim. Mereka menyatukan kekuatan untuk beraksi suatu waktu, sehingga ketakutan kita adalah manusiawi karenanya.

Pendidikan di kampus keagamaan katakanlah sudah aman. Tetapi, pendidikan di kampus umum justru berada di tengah pusaran. Tidak ada pengaruhnya mati secara politik jika propaganda khilafah berkeliaran bebas di kampus-kampus. Di situlah semua pihak menemukan momentum untuk bersama memberantas gerilya ideologi radikal di kampus—sesuai instruksi Kepala BNPT. Kemenag dan Kemendikbud harus menggemakan moderasi di seluruh kampus umum di Indonesia.

Tantangan Moderasi

The Wahid Institute sudah sejak lama memiliki misi Globalisasi Islam Lokal Indonesia (Globalizing Indonesian Local Islam), dengan mempersepsikan toleransi dan sikap dialogis-inklusif sebagai ciri khas Indonesia (Budhy Munawar Rachman, 2011: 216). Misi tersebut setali tiga uang dengan moderasi beragama dari Kemenag, Islam Nusantara dari Nahdlatul Ulama, atau Islam Berkemajuan dari Muhammadiyah. Saya pikir, di berbagai instansi atau komunitas keislaman, moderasi sudah masif.

PTKIN hari-hari ini punya komunitas bernama Rumah Moderasi Beragama (RMB). Masalahnya, yang menjadi target mereka masih lingkup internal keagamaan itu sendiri. Dengan kata lain, narasi moderasi beragama berputar di pihak-pihak yang sebenarnya tidak lagi butuh dimoderatkan, karena mereka sudah moderat. Sementara itu, kampus umum tetap kering dengan iklim moderasi. Mereka yang haus agama kemudian menjadi sasaran propaganda khilafah. Ironis.

Tantangan moderasi di kampus umum menemukan momentumnya melalui fakta tersebut. Harapannya, Kemenag bermitra dengan Kemendikbud secara riil, masif, dan jangka panjang. Dengan demikian, moderasi tidak sekadar berputar-putar di kampus keislaman semata dan mengabaikan kampus umum. Moderasi tidak juga menjadi organisasi birokratis yang hanya konsen mengadakan seminar kemoderasian. Kampus umum butuh lebih dari itu, agar propaganda khilafah riil terhenti.

Namun, semua persoalan tersebut kembali pada pegiat moderasi beragama itu sendiri. Kampus umum merupakan korban, dalam arti menjadi sasaran empuk para aktor propaganda khilafah atau ideologi radikal secara umum. UI, UGM, dan PTUN lainnya tidak bisa disalahkan, sementara pada saat yang sama moderasi beragama berkeliling hanya di kampus keislaman saja. Secara politik, Indonesia sudah melawan mereka. Tinggal satu langkah lagi, yakni secara edukatif di kampus umum.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru