27.6 C
Jakarta

Tahun Baru dan Tugas Panjang Kontra-Terorisme

Artikel Trending

Milenial IslamTahun Baru dan Tugas Panjang Kontra-Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Tahun 1444 Hijriah baru sepekan berlalu. Kini, kita berada di bulan mulia, Muharam 1445 H. Pergantian tahun mestinya tidak sebatas pergantian kalender belaka. Harus ada pembenahan terhadap segala persoalan yang, di tahun lalu, belum terselesaikan.

Tentu saja ini mencakup segala hal, utamanya tentang keamanan negeri. Segala yang mempererat persatuan dan kesatuan, wajib kita tempuh. Dan segala yang merongrong keutuhan NKRI, harus kita lawan. Kontra-terorisme, dengan demikian, masih wajib, terlepas dari penurunan indeksnya hari-hari ini. Mengapa demikian?

Karena, jaringan teroris itu solid. Untuk itu, sebagai strategi seimbang, kita juga harus solid dalam mengonter gerakan-gerakan mereka. Tak ada ruang untuk terorisme, dan tak ada doktrin agama mana pun yang membenarkan aksi tak berkemanusiaan tersebut. Tahun 1445 menjadi ruang baru, yang memberi kita harapan baru pula, untuk membasmi mereka.

Bukannya sudah melandai, seperti pada tulisan sebelumnya? Benar. Tetapi ancamannya belum sama sekali habis. Soft-approach radicalization, yang telah diuraikan pada tulisan yang lalu, tidak boleh dianggap remeh. Sebagaimana terorisme bukan hanya tentang indeks, kontra-terorisme tidak boleh juga sepenuhnya bergantung terhadap indeksasi itu sendiri.

Terorisme dalam Indeks

Defining terrorism is not a straightforward matter. There is no single internationally-accepted definition of what constitutes terrorism, and the terrorism literature abounds with competing definitions and typologies (Mendefinisikan terorisme bukanlah persoalan yang terus-terang. Tidak ada definisi apa pun yang diterima secara internasional tentang apa itu terorisme, dan literatur tentang terorisme berlimpah dengan silang definisi penuh tipologi).”

Seperti itu kutipan The Global Terrorism Index (GTI), studi komprehensif tentang terorisme dan dampaknya di 163 negara dan 99,7 persen populasi dunia. GTI mempelajari, menganalisis, dan membuat data statistik tentang terorisme di banyak negara tersebut.

Alhasil, GTI menemukan 9 dari 10 negara terkena dampak terorisme. GTI juga menyimpulkan, total angka kematian karena aksi teror, adalah sebanyak 15,2% hingga 15,952%. Tentu, itu bukanlah persentase yang kecil.

Riset GTI oleh Institute for Economics & Peace (IEP), sebuah kelompok pemikir independen, non-partisan, dan non-profit ini relatif akurat. Indonesia termasuk  egara yang diriset, di antara 163 negara tersebut. GTI menyatakan, impact terorisme di Indonesia masuk kategori “medium”, bersama 30 negara lainnya seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Jerman, Prancis, Myanmar, Cina, Yunani, Meksiko, Saudi Arabia, Palestina, Israel, dan lainnya, dari total 138 negara di dunia.

BACA JUGA  New-Khilafah dan Pemerkosaan Demokrasi di Indonesia

Kendati demikian, menurut GTI, Indonesia tidak termasuk ke dalam 10 negara dengan terorisme terparah, seperti Afganistan, Syiria, India, dan Filipina. Namun bukan berarti ruang aksi teror di negara ini relatif rendah.

Di Asia Pasifik, Indonesia oleh GTI dikategorikan sebagai negara dengan indeks terorisme yang kian memburuk, bersama tiga negara lain yaitu Taiwan, Vietnam, dan Korea Selatan. Catatan menakutkan GTI ini mestinya membuat kita menyadari, PR kita terhadap pemberantasan terorisme kian menumpuk.

Harapan di Tahun Baru

Banyak hal-hal baik yang kita harapkan terjadi di tahun 1445 ini, dan penanggulangan terorisme hanyalah satu di antaranya. Pengamat terorisme, Al Chaidar mengatakan, tiadanya efektivitas kontra-terorisme lantaran istilah radikalisme itu sendiri. Ia menilai istilah tersebut terlalu umum, ambigu. “Harusnya ada aturan pemberantasan intoleransi dan terorisme,” ujarnya.

Tentu kita semua berharap, tahun baru 1445 menjadi titik tolak tambal kekurangan tersebut. Harus jelas bahwa pemerintah berhasrat sekali memberantas terorisme hingga ke akar-akarnya, dan tidak sembunyi dalam ambiguitas term radikalisme.

Hal ini bukan maksud mengesampingkan term itu, melainkan agar objek kita semakin spesifik. Dengan ini juga, beberapa kalangan yang mengolok-olok radikalisme sebagai proyek belaka akan gigit jari disebabkan tuduhan mereka.

Karena kita semua tahu, beberapa rumor menyebutkan, radikalisme hanyalah taktik pemerintah agar isu lain luput dari sorotan masyarakat. Padahal tak demikian. Tuduhan tersebut akan memberikan ruang bebas, terutama terhadap para pelaku teror, karena mereka akan berani secara gamblang memamerkan aksinya.

Pada saat bersamaan, pelaku teror sadar, orang tidak akan terlalu mengutuk dirinya. Itu lantaran kebencian mereka terhadap pemerintah yang dianggap tidak becus menanggulangi radikalisme.

Selain itu, moderasi beragama (wasthiyyah al-Islam) bisa jadi poros tengah dalam memperkuat narasi kebangsaan. Terorisme sebagai tindakan ekstrem rupanya masih bisa dikonter melalui narasi NKRI tersebut. Atas hal ini, pihak yang paham tentang moderasi Islam harus tampil ke depan. Sudah saatnya mengorientasikan paham keagamaan moderat, yang jauh dari doktrin ekstremisme-terorisme.

Intinya, setidaknya ada tiga harapan di tahun baru ini, terkait terorisme. Pertama, komitmen yang tinggi untuk sungguh-sungguh memberantas terorisme, dan tak berkutat dalam perdebatan soal term radikalisme belaka.

Kedua, semua pihak menyadari bahwa ekstremisme-terorisme itu nyata, bukan konspirasi atau proyek pemerintah. Ketiga, sudah waktunya untuk menampilkan cara keberislaman yang moderat, agar damai, dan Islam tak dituduh sebagai agama terorisme.

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru