27.3 C
Jakarta

Ini Ulama Indonesia yang Tidak Mau Dipanggil Habib!

Artikel Trending

KhazanahTelaahIni Ulama Indonesia yang Tidak Mau Dipanggil Habib!
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Beberapa waktu belakangan ini, TikTok atau Youtube yang muncul di beranda saya adalah perseteruan ‘habib’ di masyarakat. Beberapa kasus yang muncul juga adalah maraknya jual-beli gelar ‘habib’ di masyarakat. Mulanya, saya berpikir bahwa, masalah jual-beli gelar ‘habib’ ini hanyalah isu bohong yang tersebar di masyarakat. Namun, pada kenyataannya banyak sekali kelompok yang membeli gelar ‘habib’ ini untuk mendapatkan privilese agar bisa dihormati oleh masyarakat.

Mengapa demikian? Pada kenyataannya, masyarakat kita sangat menghormati seorang ‘habib’ dikarenakan keturunan Rasulullah Saw. Di samping itu, tentu juga karena menghormati keilmuan dan pengetahuan agama yang dimiliki. Akan tetapi, melihat gelar ‘habib’ yang diperjualbelikan, kemudian disalahgunakan oleh sebagian kecil masyarakat, maka kita bisa menyimpulkan bahwa gelar ‘habib’ dimanfaatkan hanya untuk mendapatkan pemujaan dari masyarakat. Ini sesungguhnya yang menjadi masalah.

Dalam perseteruan gelar ‘habib’ ini, kita bisa melihat ketegangan berbagai kelompok Arab mulai dari kalangan Al-Alawi, representasi dari Rabithah Al-Alawiyah, dengan Al-Irsyad. Terlepas dari gelar “habib” yang selalu jadi poin krusial untuk dibicarakan, di Indonesia sendiri, panggilan “kiai” menjadi sosok yang amat dimuliakan kedudukannya, apalagi ketika di pesantren, kiai merupakan sosok teladan, guru yang memberikan ilmu agama kepada para santri, ibarat orang yang memiliki cahaya dengan menuntun para santrinya menuju ilmu Allah.

Meski demikian, ada banyak sekali sosok tokoh teladan yang enggan disebut habib, ini bukanlah muncul dari tokoh sembarangan yang hanya memiliki modal pengetahuan agama dari YouTube, atau yang biasa kita kenal dengan pendakwah yang suka sekali mengkafirkan, menyalahkan, bahkan mengandung kebencian.

Beliau adalah sosok yang luar biasa kepunyaan Indonesia, mufasir yang dengan pengetahuan agamanya mampu melihat Al-Qur’an dengan konteks yang terjadi pada masa kini. Berbagai karyanya tidak hanya pada tafsir Al-Qur’an, buku yang menggambarkan bagian dari pemikirannya membuat para pembaca terpaku dengan pemahaman Islam yang ramah dalam konteks keindonesiaan, keanekaragaman yang ada.

Sosok Prof. Quraish Shihab

Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, yang dikenal sebagai mufasir Indonesia bahkan dunia. Laki-laki yang lahir pada 16 Februari 1944 asal Makassar. Trah keilmuannya bukan main, beliau mengenyam ilmu tafsir hadis di Mesir sejak usia 14 tahun hingga menempuh gelar doktor. Pernah juga mengenyam pendidikan pesantren di Jawa Timur, tepatnya di Pondok Pesantren Darul-Hadits Al-Faqihiyyah, Malang, Jawa Timur pada usia 12 tahun.

BACA JUGA  Pendidikan Demokrasi di Lembaga Pendidikan Islam: Upaya Preventif Penyebaran Khilafahisme untuk Anak Muda

Konsennya di bidang tafsir ditunjukkan melalui karya masternya yang begitu luar biasa yakni Tafsir Al-Misbah. Hal tersebut jarang sekali ditulis oleh orang lain, dimana tafsir tersebut ditulis secara utuh terhadap Al-Qur’an. Disusul dengan puluhan karya buku yang lain, seperti Membumikan Al-Qur’an, Islam Wasathiyah, Perempuan, Jilbab, Kaidah Tafsir, Lentera Hati, dll.

Tidak cukup dengan sosok teladan dengan berbagai karya yang dihasilkan, di luar karir intelektualnya, Prof. Quraish Shihab memiliki berbagai pengalaman dalam memimpin masyarakat. Beliau pernah menjadi Rektor IAIN Jakarta (UIN Jakarta) selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998), menjadi Menteri Agama RI (1998), Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Republik Arab Mesir.

Pada titik ini, kita melihat berbagai ragam pengetahuan, pengalaman yang begitu luar biasa dari sosok Prof. Quraish Shihab. Perjalanan tersebut juga menjadi suatu bekal yang amat penting terhadap perjalanan karir seorang mufasir dengan berbagai ragam konflik yang dialami selama dirinya menjadi pemimpin.

Masih belum cukup dengan perjalanan tersebut. Pada tahun 2004, beliau mendirikan Pusat Studi Al-Qur’an, dengan tujuan mulianya untuk memberikan wadah bagi mufasir agar menjadi mufasir Al-Qur’an yang profesional, disertai dengan pemahaman dalam melihat bangsa yang plural, beranekaragam, serta penuh dengan perbedaan.

Tidak Mau Dipanggil Habib

Dalam sebuah wawancara, Prof. Quraish Shihab menjelaskan, “Habib itu sebenarnya dahulu, diberikan oleh masyarakat, yang kagum pada orang-orang tertentu, yang memiliki tiga sifat utama: yang pertama dia keturunan Nabi Muhammad Saw.; yang kedua dia berilmu yang luas; dan ketiga dia berakhlak yang luhur,” jelas Prof. Quraish Shihab.

“Ilmu saya belum dalam, akhlak saya belum sesuai dengan apa yang diajarkan agama. Jadi tak usah panggil saya habib, tak usah panggil saya, biar saya berjuang dulu. Mudah-mudahan setelah saya meninggal, orang lihat, oh itu habib, tapi sekarang tidak,” imbuhnya.

Barangkali dari kalimat tersebut kita benar-benar melihat “sosok habib” dalam diri Prof. Quraish Shihab yang penuh dengan kerendahan hati, berbagai karya ditorehkan, pemikirannya yang amat luas yang disertai dengan pengetahuan agama luar biasa. Wallahu a’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru