26.7 C
Jakarta

Pseudo-Nasionalisme dan Mindset Intoleran Kita dalam Sepakbola

Artikel Trending

Milenial IslamPseudo-Nasionalisme dan Mindset Intoleran Kita dalam Sepakbola
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Timnas U-23 Indonesia tumbang 0-2 di tangan Uzbekistan dalam semifinal Piala Asia U-23 2024. Laga Timnas U-23 Indonesia vs Uzbekistan dalam jadwal Piala Asia U-23 2024 bergulir di Stadion Abdullah bin Khalifa, pada Senin (29/4), tadi malam. Sepasang gol Uzbekistan yang bersarang ke gawang Timnas U-23 Indonesia dikemas oleh Husain Norchaev (68’) dan Pratama Arhan (86’) sebagai gol bunuh diri.

Laga juga berjalan dengan sangat sengit, di mana pemain Indonesia dihujani kartu kuning dari wasit Shen Yinhao yang memimpin jalannya pertandingan tersebut. Tak hanya kartu kuning, kapten Timnas Indonesia Rizky Ridho juga diganjar kartu merah setelah menendang selangkangan pemain Uzbekistan. Kekalahan Garuda Muda di semifinal ajang paling bergengsi di Asia tersebut menjadi kabar pahit untuk seluruh masyarakat di tanah air.

Kendati begitu, Indonesia masih memiliki kesempatan untuk memperebutkan posisi ketiga dan berpeluang untuk lolos ke Olimpiade Paris 2024. Usai pertandingan semalam, Ketua Umum PSSI Erick Thohir juga langsung mendatangi para pemain Timnas Indonesia di ruang ganti untuk memberi semangat. Erick Thohir memberikan motivasi kepada skuat Shin Tae-yong agar tidak menyerah bangkit untuk pertandingan selanjutnya. Lalu apa yang terjadi?

Masyarakat tidak terima begitu saja. Banyak story WhatsApp yang mengolok-olok wasit yang dianggap curang, juga mencemooh Arhan yang dianggap tolol karena gol bunuh dirinya. Semua prestasi dan perjuangan Arhan seolah tidak berarti karena sesuatu yang, kita semua tahu, dia juga tidak mau melakukan gol bunuh diri itu. Apa yang kita saksikan bersama menyiratkan satu hal, yaitu nasionalisme semu dan mengakarnya mindset intoleran dalam masyarakat Indonesia.

Pseudo-Nasionalisme yang Berbahaya

Ekspresi kekhawatiran tentang pseudo-nasionalis di negara ini ialah ancamannya terhadap kesatuan negara yang selama berabad-abad tetap menjadi masyarakat pluralistis. Pseudo-nasionalisme, yang muncul dengan seruan-seruan kebangsaan yang sempit dan eksklusif, mengancam kebhinekaan. Karenanya, kita harus waspada terhadap bahaya dari pandangan sempit ini yang berpotensi mengoyak persatuan tersebut, terutama dalam konteks sepak bola.

Pseudo-nasionalisme mencoba memaksakan satu pandangan tentang identitas nasional yang didasarkan pada pemikiran sempit dan tidak inklusif. Ia mendorong pandangan yang memihak pada satu kelompok atau ideologi tertentu, sehingga tidak hanya menciptakan polarisasi di masyarakat, tetapi juga membahayakan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan. Salah satu bahaya terbesar dari pseudo-nasionalisme adalah merusak keberagaman Indonesia—kekuatan utama bangsa.

Selain itu, pseudo-nasionalisme juga menghalangi upaya pembangunan inklusif dan berkelanjutan. Dengan mengutamakan kepentingan satu kelompok tertentu, pseudo-nasionalisme dapat mengabaikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat beragam yang menciptakan ketidakadilan sosial, meningkatkan ketegangan, dan menghambat kemajuan bangsa secara keseluruhan. Di sinilah peran semua pihak dibutuhkan untuk mengantisipasinya.

BACA JUGA  Polarisasi dan Disintegrasi: Residu Pemilu yang Harus Diantisipasi

Indonesia adalah negara yang besar dengan potensi luar biasa. Dengan menangkal pseudo-nasionalisme, kita dapat membangun masa depan yang lebih cerah untuk Indonesia yang kita cintai. Timnas Indonesia telah memberikan yang terbaik, maka sikap nasionalis sejati adalah suportif dan memberikan kritik konstruktif untuk perbaikan performa Timnas ke depan. Menang diapresiasi, kalah ditoleransi. Kalau tidak begitu, nasionalismenya masih semu.

Mindset Intoleransi

Islam tidak pernah mengajari pemeluknya untuk bersikap intoleran. Baik dalam Al-Qur’an maupun hadis, nasnya sudah jelas bahwa perbedaan adalah sunatullah. Tidak ada hak untuk setiap Muslim berseteru lantaran berbeda. Apalagi perbedaan dengan outsider, bahkan perbedaan sesama umat Islam pun tak patut untuk dipolemikkan. Kristen pun, seperti juga agama-agama yang lain, tidak pernah mendoktrinkan intoleransi.

Kitab suci mereka mengajarkan belas kasih antarumat manusia. Lantas apa sebenarnya yang membuat kita bersikap intoleran? Untuk menjawabnya, kita perlu menelisik tiga hal penting. Pertama, fanatisme. Kedua, kecemburuan sosial. Ketiga, kesenjangan ekonomi. Kecemburuan sosial dan kesenjangan ekonomi barangkali tidak signifikan. Sebab, intoleransi tersebut tidak terjadi dalam solidaritas mekanik, juga dalam ekonomi setara: sama-sama menengah ke bawah, misalnya.

Tetapi fanatisme benar-benar menjadi problem utama. Dalam contoh intoleransi yang terjadi, ketika merasa terganggu dengan peribadatan orang lain, maka ada yang absen dalam diri kita: kemanusiaan. Kemanusiaan itu tak akan hadir, kecuali fanatisme keberagamaan sudah hilang dari dalam diri kita. Sayangnya, kemanusiaan itu sendiri sering kali dianggap sesuatu yang tabu, sehingga memberangus fanatisme artinya mengharapkan kemanusiaan.

Musuh terbesar toleransi adalah fanatisme. Fanatisme sendiri tidak inheren dalam agama, melainkan murni penyakit para pemeluk agama. Karenanya, ketika intoleransi terjadi, merekalah yang mesti ditegur, bukan agamanya. Lalu bagaimana caranya? Pelurusan doktrin dan peneguhan moderasi beragama. Fanatisme memantik eksklusivisme dan absolutisme, di samping absennya humanisme. Itu yang harus dilawan bersama dulu.

Dalam konteks sepak bola tadi malam, kita merasa paling benar hingga merasa berhak menghakimi Arhan—dan para pemain Timnas sejak dulu yang pernah melakukan kesalahan. Sikap nasionalis kita hanya memuncak ketika Timnas Indonesia menang, seperti saat melawan Korea Selatan beberapa waktu lalu. Ketika kalah, tidak hanya nasionalisme yang hilang, tetapi juga sikap toleran kita. Itulah kenapa saya berkesimpulan, kita cenderung semu dalam spirit nasionalisme itu sendiri.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru