29.5 C
Jakarta

Resiliensi Keluarga Teroris: Bertahan dari Luka atas Stigma Masyarakat

Artikel Trending

KhazanahTelaahResiliensi Keluarga Teroris: Bertahan dari Luka atas Stigma Masyarakat
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com-Tidak hanya mantan Napiter yang mendapat stigma dari masyarakat, keluarga teroris juga kerap mendapatkan pengasingan. Para keluarga teroris akan mengalami fase krisis di mana keluarga akan mengalami stres berkepanjangan dengan rasa rendah diri, malu, minder, takut dan cemas bahkan sedih berkepanjangan. Berdasarkan kondisi ini, penting untuk melihat sikap resiliensi dari keluarga teroris. Seni beradaptasi dengan baik dan positif di tengah keadaan yang tidak menguntungkan dan penuh resiko, penting untuk diketahui agar kita mampu bersikap bijak terhadap keluarga teroris.

Keluarga teroris adalah orang yang paling dekat dengan teroris itu sendiri. Namun, kedekatan tersebut tidak berarti memberikan jaminan bahwa, setiap anggota keluarga mengetahui sepak terjang teroris dalam proses ideologisasi yang dijalaninya. Ketidaktahuan itu nyatanya tidak berpengaruh terhadap beban psikologis yang diberikan oleh masyarakat. Sebab ketika ada salah satu anggota keluarga menjadi teroris, anggota keluarga lain menanggung beban stigma yang menyebabkan stress, keputusasaan, kesedihan, kecemasan, dan perasaan tidak karuan lainnya.

Keluarga, Support Sytem Utama

Bagaimana seharusnya sikap seorang istri yang tidak mengetahui suaminya adalah seorang teroris? Sedangkan suaminya sudah ditangkap bahkan tewas dalam operasi Densus 88. Ketidakpercayaan kepada aparat yang sudah membunuh suaminya sangat tinggi. Di sisi lain, sang istri belum percaya sepenuhnya kepada aparat sehingga kebencian dan rasa balas dendam sangat tinggi. Namun, ia tidak bisa mengonfirmasi kepada sang suami lantaran sudah tewas terbunuh oleh Densus 88.

Di waktu yang sama, masyarakat sudah memberikan label negatif sebagai keluarga teroris. Stigmatisasi yang didapatkan dari masyarakat membuat keluarga teroris stres dan trauma. Bagaimana pertanyaan dari keluarga? Keluarga besarnya sendiri terkait perilaku sang suami dan pertanyaan dari keluarga sang suami. Jawaban apa yang bisa diberikan oleh sang istri ketika dirinya sama sekali tidak mengetahui gerakan yang dilakukan oleh suaminya. Disinilah posisi dilematis dan kebingungan yang dimiliki oleh seorang istri. Rumah tangga yang tidak dibangun dengan keterbukaan, salah satunya perihal paham keagamaan yang dilakukan satu sama lain, menyisakan misteri ketika ternyata sang suami terjerat kasus terorisme. Mengetahui kondisi semacam ini, upaya preventif yang harus dilakukan oleh kita adalah menciptakan hubungan yang terbuka satu sama lain, utamanya dalam persoalan paham keagamaan dan tugas sosial kemanusiaan sebagai khalifah di bumi.

BACA JUGA  Feminis Leadership: Melihat Keberhasilan Pemimpin Perempuan dalam Pencegahan Radikalisme

Beban ganda seorang istri yang berdiri di antara keluarga besarnya dan keluarga sang suami, membutuhkan sikap resilien yang tinggi. Maka dari itu, kesadaran penuh untuk keluar dari kondisi tersebut sangat penting. Kesadaran ini tentu tidak dimiliki secara langsung. Sebab luka yang dialami oleh dirinya sangat berat. Maka dari itu, pendampingan psikologi sangat penting diberikan oleh keluarga teroris agar bisa memahami kondisi dirinya di tengah situasi kesulitan. Pada situasi semacam ini, faktor eksternal, yakni masyarakat berpengaruh besar dalam memberikan semangat hidup bagi keluarga teroris.

Dukungan moral untuk terus semangat dalam menjalankan kehidupan, sangat penting diberikan. Sebab seperti yang kita ketahui bahwa, sakit mental lebih parah dibandingkan dengan sakit fisik yang bisa dilihat secara kasat mata, sehingga dapat diketahui secara cepat, pengobatan yang akan diberikan. Namun, sakit mental seperti rasa trauma, luka, membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk menyembuhkan.

Tidak hanya itu, keluarga berpengaruh besar dalam membentuk sikap resilien. Resiliensi keluarga dapat dipahami sebagai kemampuan anggota-anggota dalam keluarga untuk beradaptasi dan pulih selama krisis dan selama menjalani fase kehidupan yang berisi tantangan dan permasalahan.

Bentuk resiliensi keluarga dapat mencakup bagaimana anggota keluarga saling menguatkan satu dengan yang lainnya dengan berbagai macam bentuk support, usaha membangun kembali kestabilan aktivitas sehari-hari setelah adanya krisis, serta usaha mengintegrasikan pengalaman-pengalaman menakutkan menjadi kekuatan dan motivasi untuk meneruskan kehidupan. Setiap anggota keluarga perlu memiliki kesadaran utuh untuk saling bahu membahu keluar dari luka yang tumbuh akibat peristiwa tidak terduga itu. Bagaimanapun, keluarga merupakan satu tubuh, di mana ketika ada satu bagian tubuh yang luka, semua anggota tubuh yang lain merasakan sakit. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru