34.4 C
Jakarta

Haruskah Mencintai Pasangan Apa Adanya?

Artikel Trending

KhazanahPerempuanHaruskah Mencintai Pasangan Apa Adanya?
image_pdfDownload PDF

Jangan cintai aku, apa adanya

Jangan… Tuntutlah sesuatu, biar kita jalan ke depan

Harakatuna.com – Penggalan lirik lagu yang dipopulerkan oleh Tulus ini sejak awal menarik perhatian saya karena menjadi angin segar dan anti-mainstream. Betapa tidak, di saat semua nasihat, quote, kalimat bijak menasihati dan memberi wejangan agar relasi cinta kasih laki-laki dan perempuan selalu didoktrin untuk menerima apa adanya pasangan, yang tentu kita sudah mafhum maknanya: “ya inilah aku apanya.” Jangan menuntut dan memintaku menjadi seperti kemauanmu meskipun itu dengan dalih demi kebaikan bersama.

Saya katakan menjadi angin segar, sebab biasanya lagu-lagu yang menye-menye tentang luapan cinta, permohonan, patah hati didominasi oleh suara perempuan. Saat Tulus membawakan lagu ini, tidak kita pungkiri kita bergumam, “Akhirnya, ada juga laki-laki yang menyuarakan ini.”

Relasi Resiprokal Laki-laki dan Perempuan

Selama ini tuntutan bagi perempuan bisa dibilang tidak adil. Perempuan dikatakan idaman jika setia, cantik, langsing, putih, glowing, cerdas, pintar memasak, dan kriteria sempurna lainnya. Dan semua tuntutan itu, diwariskan turun-temurun seolah menjadi hukum tak tertulis yang pamali untuk dilanggar.

Jika ada satu saja yang luput beragam label buruk disematkan: durhaka, tidak tahu diri, tidak pintar menjaga diri, wajar jika ditinggalkan, dan seterusnya. Budaya patriarki turun temurun kian melanggengkan situasi ini.

Padahal perempuan umumnya hanya menuntut dua hal dari pria bertanggung jawab dan setia. Bertanggung jawab artinya mempunyai kapabilitas dan kapasitas keberlangsungan hidup keluarga secara finansial dan mental. Tapi apa lacur, justru jika ada perempuan mapan yang menyuarakan keinginannya untuk mendapatkan lelaki yang sepadan justru diolok: matre dan mata duitan.

Ironisnya, mayoritas yang mengatakan itu juga perempuan. Istilah women supporting women masih jadi utopia karena internalisasi stereotip dan pandangan negatif tentang perempuan lain, yang menghambat kemampuan mereka untuk saling mendukung. Internalisasi ini bisa berasal dari media, budaya populer, atau pengalaman pribadi.

Jangan cintai aku apanya justru seharusnya membawa energi dan misi positif bagi relasi lelaki-perempuan. Ini bukan tentang bersyukur atau tidak. Justru adanya pernyataan hingga diskusi yang berkembang pada satu frame pemahaman, bahwa kita memang layak dan seharusnya menjadi yang terbaik versi kita untuk kemudian, akhirnya menjadi sosok yang saling melengkapi kebahagiaan pasangan.

Menjadi pasangan, istri, ibu, menantu yang baik bukan hanya kewajiban perempuan. Lelaki juga memikul tanggung jawab yang sama. Jika dia menginginkan kehidupan rumah tangga yang harmonis dan bahagia, dia juga punya andil untuk menjadi pasangan, suami, ayah, dan menantu yang baik juga.

BACA JUGA  Hak Asasi Perempuan dalam Perspektif Islam

Menuntut Pasangan Sempurna?

Lalu apa dengan ini kita harus menuntut pasangan sempurna dalam suatu hubungan? Tentu saja tidak. Frasa “jangan cintai aku apa adanya” berarti seseorang tidak ingin pasangan mereka mencintai mereka tanpa syarat atau tanpa perubahan.

Ini menunjukkan adanya keinginan untuk diterima dan dicintai hanya ketika mereka mencapai standar atau harapan tertentu yang mereka miliki untuk diri mereka sendiri. Sebab saling mencintai adalah perihal tumbuh bersama, jangan berpaku diri dan puas dengan capaian yang sekarang baik yang terukur secara material maupun kedewasaan spiritual.

Harapan dan keinginan yang realistis yang disampaikan pasangan akan jadi penyemangat untuk terus bertumbuh lebih baik dari waktu ke waktu dan tidak berhenti di satu titik. Komunikasi yang terbuka dan jujur dalam hubungan sangat penting.

Jika ada kekhawatiran tentang kebiasaan atau perilaku yang merugikan, lebih baik untuk berbicara secara terbuka dengan pasangan dan mencoba mencapai pemahaman bersama. Bekerja sama untuk mengatasi masalah atau perbedaan tersebut dapat membantu memperkuat hubungan dan menciptakan ikatan yang lebih dalam.

Setiap hubungan lelaki dan perempuan adalah unik, dan penting untuk membangun hubungan berdasarkan saling pengertian, kompromi, dan kepercayaan. Penting juga untuk menyadari bahwa setiap individu memiliki perbedaan, dan hubungan yang sehat melibatkan penerimaan dan penghormatan terhadap perbedaan tersebut.

Akan tetapi penerimaan pasangan yang berlebihan juga menimbulkan sisi mudarat di antaranya dapat mengakibatkan ketergantungan emosional, hilangnya identitas individu, dan potensi hubungan yang tidak sehat.

Apa Jalan Tengahnya?

Jadi apa jalan tengahnya? Tumbuh bersama. Pasangan seharusnya bertumbuh bersama melalui komunikasi terbuka, komitmen, kerja sama, dan saling dukung mewujudkan impian masing-masing. Pasangan juga bisa saling berbagi tanggung jawab, belajar bersama, dan menghargai progres yang sudah dilakukan pasangan, sekecil apa pun itu.

Ingat, bahwa setiap hubungan adalah unik, dan jalan untuk tumbuh bersama dan tidak menerima pasangan apa adanya akan berbeda-beda. Yang terpenting adalah menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan positif dan saling pengertian dalam hubungan. Jadi, masih haruskah kita mencintai pasangan apa adanya? Anda sudah punya jawabannya.

Nur Kasanah
Nur Kasanah
Anggota Puan Menulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru