32.5 C
Jakarta

Keluarga Mubadalah: Pendekatan dalam Pencegahan Ekstremisme pada Anak

Artikel Trending

KhazanahTelaahKeluarga Mubadalah: Pendekatan dalam Pencegahan Ekstremisme pada Anak
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com-Muhammad Ibnu Dar (20 tahun) adalah sosok anak muda yang bergabung dengan JAD (Jamaah Ansharut Daulah). Bergabungnya dengan JAD karena terpengaruh dengan konten yang ada di internet. Ia juga direkrut melalui internet. Pada April 2017, Ibnu Dar menyerang polisi dengan menabrakkan motor di Mapolres Banyumas, Jawa Tengah.

Selain Ibdu Dar, ada pula Nana Ikhwan Maulana (28 tahun) adalah pelaku bom bunuh diri di Hotel Ritz-Carlton pada 17 Juli 2009. Nana pernah bekerja di Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Labuan selama 3 bulan. Pasca bekerja di tempat tersebut, ia mencari pekerjaan di Jakarta dan pamit kepada keluarganya. Namun ternyata, ia justru melakukan peledakan bom bunuh diri. Sebelum melakukan aksinya, ia pernah melakukan survei di lokasi tersebut.

Cerita yang lain juga terjadi pada Dani (17 tahun). Ia juga merupakan pelaku bom bunuh diri di Hotel Ritz-Carlton pada 17 Juli 2009. Sebelum melakukan aksinya, ia sempat menghilang tanpa kabar kepada keluarganya dan akhirnya baru terlihat ketika melakukan peledakan di tempat tersebut.

Aksi yang dilakukan oleh ketiga anak tersebut, adalah anak muda yang sedang mengalami pencarian jati diri. Mereka bergabung dalam kelompok teroris dengan berbagai motif. Internet menjadi salah satu jembatan yang cukup mumpuni untuk mempengaruhi pola pikir anak muda. Selain itu, pada umur yang seharusnya masih dalam pantauan orang tua, sudah semestinya pendidikan keluarga perlu dilihat sebagai ruang kaderisasi yang cukup mumpuni untuk mencegah seorang anak dipengaruhi oleh paham radikalisme-ekstremisme.

Berkaitan dengan pengaruh keluarga, prinsip kesalingan dalam keluarga, sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Diana Baumrid, yang disempurnakan oleh Maccoby dan Martin, ada beberapa pola yang diterapkan dalam keluarga, di antaranya: pertama, authoritative (terdapat tuntutan dan komunikasi). Kedua, authoritarian (terdapat tuntutan namun tidak terdapat komunikasi). Ketiga, permissive (tidak terdapat tuntutan/membebaskan). Keempat, unvilvolved (mengabaikan dan egois).

Pola komunikasi semacam ini akan berpengaruh besar terhadap perkembangan anak. Misal dalam pola authoritarian. Anak akan mengalami depresi yang cukup besar karena terdapat tuntutan dari orang tua. Tuntutan ini kadang juga disertai pemaksaan yang membuat anak tidak bisa memilih terkait kemauan dan tidak memiliki keputusan sendiri terhadap hidupnya. Orang tua terkadang juga bersikap acuh terhadap pengalaman dan keinginan yang dimiliki anak, karena tidak menjadikan anak sebagai subjek atas relasi yang dibangun dalam keluarga.

BACA JUGA  Demokrasi Layak Dikritik Namun Sistem Khilafah Bukan Solusi!

Sementara itu, dalam konteks bergabungnya anak dalam gerakan teroris, informasi semacam ini tidak akan sampai kepada orang tua, karena anak tidak memiliki kesempatan untuk berkomunikasi dan menyatakan pendapat dengan orang tua. Selain itu, ada pula pola komunikasi authoritative. Melalui pola komunikasi ini, anak memiliki kesempatan untuk berpendapat dan berkomunikasi dengan orang tua.

Dalam pola asuh ini, terdapat relasi kesalingan, di mana anak didorong menjadi bebas namun masih terdapat komunikasi dengan tukar pendapat dan bimbingan. Masyarakat kita hari ini, belum banyak menerapkan pola asuh semacam ini.

Pengalaman penulis, misalnya. Komunikasi orang tua terkadang mengharuskan anak untuk melakukan sesuatu tanpa meminta pendapat dan masukan dari anak. Pola asuh semacam ini, tidak memberikan ruang bagi anak untuk menyampaikan keinginan dan impian yang dimiliki dalam meraih tujan hidup. Akhirnya, orang tua yang memiliki keputusan besar terhadap kehidupan seorang anak.

Akan tetapi, berbeda seandainya apabila orang tua menerapkan pola authoritaritative. Mereka bukan meniadakan kritik, akan tetapi memberikan kehangatan ketika terdapat kesalahpahaman antara orang tua dan anak. Posisi anak bukan sebagai objek tunggal. Dalam konteks perilaku radikalisme-ekstremisme, berdasarkan komunikasi yang dilakukan oleh orang tua, anak-anak akan bertukar pendapat dengan orang tua tentang kegiatan yang dilakukan, ataupun organisasi yang diikuti.

Dalam penerapan komunikasi authoritative, anak akan terbuka dengan pilihan hidup yang sedang dijalaninya karena berpikir bahwa, orang tua adalah ruang aman untuk bertukar pikiran tentang kehidupan yang dijalaninya, termasuk komunitas sosial yang saat ini sedang diikuti. Dengan demikian, pendekatan kesalingan yang diterapkan oleh keluarga, menjadi salah satu faktor pencegah anak terpapar radikalisme-ekstremisme. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru