29.5 C
Jakarta

Feminis Leadership: Melihat Keberhasilan Pemimpin Perempuan dalam Pencegahan Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahTelaahFeminis Leadership: Melihat Keberhasilan Pemimpin Perempuan dalam Pencegahan Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com Seperti yang sudah disinggung pada tulisan sebelumnya, Fatayat NU Jawa Barat adalah organisasi yang mencatat sebagai gambaran keberhasilan kepemimpinan perempuan dalam upaya pencegahan radikalisme-terorisme. Upaya yang mereka lakukan dengan menggunakan pendekatan whole of government approach and whole of society approach, pendekatan di mana antara pemerintah dan sipil itu bekerja sama.

Dalam persoalan terorisme, para Napiter perempuan adalah kelompok yang termarginalkan ketika memperoleh pendampingan, bukan dengan pendamping perempuan. Karena dalam konteks persoalan ini, para perempuan memiliki perasaan yang hampir sama dengan perempuan lain, sehingga fungsi pendamping perempuan, mampu melihat secara mendalam, masalah, latar belakang, dan alasan mengapa perempuan tersebut terjerat dalam terorisme.

Maka dari itu, ruang bagi perempuan untuk terlibat secara aktif dalam pencegahan, bahkan pendampingan sangat penting. Oleh karena itu, apa yang sudah dilakukan oleh Fatayat NU Jawa Barat, kiranya mampu untuk memberikan penyadaran kepada semua pihak untuk terus memberikan ruang bagi perempuan agar terus terlibat.

Kepemimpinan perempuan dalam konteks ini bisa dikatakan sebagai feminis leadership. Meskipun tokoh dalam feminis leadership tidak harus perempuan, laki-laki juga bisa, namun titik poin yang perlu kita pahami adalah karakteristik pada gerakan yang dilakukan.

Di sisi lain, pemimpin perempuan dapat dikategorikan sebagai ikon feminis jika memiliki rekam jejak yang dekat dengan upaya perlindungan hak-hak perempuan. Hak-hak tersebut antara lain meliputi hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, hak keterwakilan dalam politik, hak mendapatkan perlindungan dari kekerasan, hak untuk mendapatkan pendidikan yang setara, hak mendapatkan perlindungan di wilayah konflik dan bencana, serta kebebasan beragama dan perlindungan hukum.

Dalam gerakan yang dilakukan oleh Fatayat NU Jawa Barat, adalah upaya pencegahan agar perempuan tidak jatuh dalam jeratan radikalisme, seperti yang dikhawatirkan oleh banyak pihak. Ada beberapa karakteristik yang dipahami dari gerakan yang dilakukan oleh Fatayat NU Jawa Barat, di antaranya:

Pertama, courage (keberanian). Ada banyak ide yang out of the box, di mana tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Kalau dalam upaya yang dilakukan oleh Neng Hannah, sebagai bagian dari Fatayat NU Jawa Barat, cerita tentang baik motor, mengetuk pintu satu-satu kepada warga untuk mengobrol dengan masyarakat, ke warung atau ke kafe, atau bahkan sekedar makan bakso, merupakan salah satu wujud keberanian dalam feminis leadership.

Kedua, need (kebutuhan). Pemimpin yang feminis berbicara tentang kebutuhan yang ditemukan. Mereka tidak mengawang-awang berbicara konsep, akan tetapi karena melihat secara langsung di akar rumput, berarti sudah memahami kondisi yang terjadi pada masyarakat.

BACA JUGA  Halal Bihalal: Cara Merawat Persatuan Melalui Tradisi

Ketiga, fairness (keadilan) dan memiliki curiosity (keingintahuan) yang tinggi. Berangkat atas dasar pengalaman dan bergabung dengan masyarakat. Kepemimpinan feminis merasakan secara nyata, apa yang terjadi pada masyarakat.

Atas dasar pengalaman itu, maka tindakan yang muncul adalah menciptakan keadilan dari semua pengalaman yang dirasakan. Tidak hanya itu, pengalaman-pengalaman tersebut memunculkan keingintahuan yang tinggi karena selalu mendapatkan temuan baru dalam setiap gerakan yang dilakukan.

Keempat, confidence (kepercayaan diri). Dalam konteks pemimpin perempuan, tidak banyak masyarakat yang memberikan kepercayaan penuh terhadap perempuan untuk mengambil keputusan atau melakukan gerakan yang lebih besar untuk menciptakan perubahan. Maka ketika, seorang perempuan menjadi pemimpin dan mendapatkan ruang tersebut, kepercayaan diri tersebut selalu tumbuh untuk terus bergerak dan memberikan dampak lebih besar.

Kelima, pendekatan inklusif. Feminis leadership tidak bersikap otoriter. Ia melibatkan semua pihak untuk melakukan perubahan pada masyarakat melalui kerja sama multisektor, di mana setiap lembaga/individu/kelompok menjalankan perannya untuk mewujudkan perubahan.

Dengan begitu, pendekatan inklusif ini juga mempertimbangkan setiap kelompok (utamanya kelompok rentan, terpinggirkan), menjadi sasaran objek dari kebijakan yang akan dirubahnya atau sasaran dari perubahan yang sedang diperjuangkan.

Ciri-ciri di atas setidaknya menunjukkan gerakan yang dilakukan Fatayat NU Jawa Barat dalam upaya pencegahan radikalisme-terorisme. Tentu, sasaran paling utama dalam gerakan tersebut adalah perempuan, di mana sebagai kelompok yang paling rentan terpapar radikalisme.

Dengan pendekatan multisektor yang diterapkan, pada faktanya mampu membuat perubahan di masyarakat. Fakta tersebut juga harus menjadi PR pemerintah untuk terus melibatkan perempuan dalam aksi pencegahan radikalisme-terorisme. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru