29.9 C
Jakarta

Belajar dari Kasus Ahok: Hukum Negara Jangan Kalah Hukum FPI!

Artikel Trending

KhazanahOpiniBelajar dari Kasus Ahok: Hukum Negara Jangan Kalah Hukum FPI!
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Perseteruan antara Polisi dan FPI masih berlanjut. Bagi yang berada di barisan penonton, belum bisa memperoleh jawaban yang pasti terkait siapa yang dianggap sebagai pelaku dan/atau korban dalam peristiwa meninggalnya enam anggota pengawalan Imam Besar Front Pembela Islam (IB FPI) di kawasan Tol Jakarta-Cikampek KM 50 pada 7 Desember kemarin. Kini, bahkan Rizieq Shihab tersangka dan terancam hukuman. Tentu perseteruan akan semakin sengit.

Peristiwa itu bergulir begitu derasnya di media sosial. Dari kedua belah pihak, mengklaim memiliki perspektif dan tentunya didukung oleh data-data yang dianggap akurat. Akan tetapi, apakah data tersebut dapat dipertanggungjawabkan di hadapan hukum Indonesia?

Belum dibuktikan di hadapan hukum, polarisasi kebangsaan khususnya agama seakan menguat kembali. Pasalnya, pro dan kontra atas peristiwa meninggalnya 6 anggota IB FPI belum mampu mencairkan suasana, terutama bagi partisan FPI. Sehingga, perang narasi (berebut kebenaran dan keadilan) di media sosial pun tak dapat dielakkan. Alih-alih, ingin menunjukkan sebuah fakta dan menegakkan keadilan, yang ada justru saling menuding dan mengklaim kebenaran.

Sebagai negara hukum, Indonesia telah sepakat bahwa, pengadopsian ini dilakukan semata-mata karena untuk membatasi penguasa negara agar tidak menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power, abuse de droit). Meminjam istilah Jimly (2007), idealnya, hukum itu dijadikan sebagai panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan. Dalam istilah Satjipto Rahardjo (2009), hukum untuk manusia bukan sebaliknya.

Berangkat dari pandangan tersebut, dapat disepakati bersama bahwa tidak ada perbedaan antara penguasa dan rakyat, dalam kacamata hukum, semua adalah sama dan berhak memperoleh keadilan dan kesejateraan yang sama. Namun di bawah kasus ini, seolah-olah, tidak ada panorama ketidaksamaan itu di depan hukum.

Sebelum menjawab poin terkahir tersebut, penulis akan menguliti kasus Ahok. Mengapa kasus Ahok? Karena, kasus tersebut cukup unik dan tentunya bisa dijadikan parameter untuk mengukur problem hukum, terutama gerakan FPI.

Dua tahun silam, Ahok mendekam dibalik jeruji besi. Kala itu, Putusan Majelis
hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan nomor perkara 1537/Pid.B/2016/PN.Jkt.Utr, menyatakan Basuki Tjahja Purnomo alias Ahok terbukti secara sah melakukan tindak pidana Penodaan Agama. Majelis hakim menjatuhkan sanksi pidana kepada Ahok dengan pidana penjara selam 2 (dua) tahun.

BACA JUGA  Memahami Toleransi Beragama dalam Kerangka Filsafat Politik Abad Pertengahan

Terlepas dari hasil putusan dan pro-kontra yang mengitarinya, penulis lebih tertarik melihat gejalanya atau lebih tepatnya, faktor pendukung (bahkan utama) dalam pengeksekusian Ahok, yakni gerakan FPI.

Kala itu, kasus Ahok menjadi trending topik nasional. Tereksekusinya Ahok didukung oleh manajemen FPI. Melalui website FPI, mereka yang anti-Ahok menggunakan perspektif hukum sebagai bingkai yang utama dalam memberitakan kasus penistaan agama Ahok. Isu yang ditonjolkan dalam berita tersebut adalah Ahok anti UUD 1945 dan Pancasila. Tak hanya itu, berita sengat dipilah-pilah untuk menciptakan efek tertentu dalam pemberitaan, yang salah satunya, menekankan main hakim sendiri sebagai bentuk afdalul jihad (treatment recommendation).

Pada titik ini, website FPI mencoba melakukan propaganda dengan ketegasan atas nama agama. Di satu sisi, website FPI seolah berbicara di atas pembelaan terhadap hukum, berbicara soal penegakan hukum terhadap pelanggar hukum, namun pada praktiknya website FPI menekankan solusinya tidak taat hukum. Dengan kata lain, FPI berhasil mendesak majelis hakim untuk segera memutus perkara Ahok untuk segera diputuskan.

Ternyata, propaganda atas kasus Ahok tersebut tidak selesai di daring atau
di media online saja, melainkan ada gerakan aksi bela Islam jilid I dan jilid II. Aksi yang dilancarkan pada 4 November 2016 yang berakhir dengan unjuk rasa dan kerusuhan di beberapa lokasi di DKI Jakarta, ini didukung oleh sejumlah ormas Islam dan melakukan demonstrasi untuk menuntut Ahok atau Gubernur DKI Jakarta yang dianggap telah melakukan penghinaan terhadap kaum muslim karena pernyataannya di hadapan sejumlah masyarakat di Kepulauan Seribu pada bulan September 2016 dengan mengutip Surah Al-Maidah ayat 51.

Berdasar pada uraian tersebut, maka secara tersirat, panorama ketidaksamaan di hadapan hukum muncul kembali. Menarasikan bahwa penegak hukum telah menyelewengkan kekuatannya adalah narasi yang menjadi nomor wahid di media sosial. Akibatnya, polarisasi kebangsaan mulai menguat, sehingga sikap ketidakpercayaan terhadap hukum pun tak dapat dihindari, meskipun ada sebagian masyarakat yang pro terhadap tindakan Polri.

Kendati demikian, pernyataan sikap itu boleh saja. Itu adalah hak. Kenyataan belum terbukti. Itu adalah wilayah peradilan. Tinggal nunggu bagaimana endingnya. Wallahu A’lam..

Saiful Bari
Saiful Bari
Alumnus Program Studi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Juga, pernah nyantri di Ponpes Al-falah Silo, Jember. Kini menjadi Redaktur Majalah Silapedia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru