29.7 C
Jakarta

Memupuk Akar Moderasi Beragama di NKRI

Artikel Trending

KhazanahOpiniMemupuk Akar Moderasi Beragama di NKRI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
“Semua ajaran agama, pokoknya adalah memanusiakan manusia.” (Lukman Hakim Saefuddin, Mantan Menteri Agama RI)

Harakatuna.com – Pemeluk agama selalu menarik bila disorot dari berbagai perspektif. Kita kerap dibuat bingung atas tingkah laku pemeluk agama dalam, misalnya berlebihan, mengamalkan ajarannya. Pemahaman agama tak jarang dicatutkan melalui paham normatif, pragmatis, dan moderat. Sehingga satu agama berpotensi memunculkan paham bilateral dari pemeluknya.

Negara Indonesia berusaha memadukan peran agama dalam ketatanegaraannya. Hal itu terbukti dalam beberapa hukum Islam yang telah diundangkan (qanun) menjadi aturan konstitusi. Karena itu, negara Indonesia bercita-cita memberikan perlindungan pada umat; mayoritas dan minoritas. Sudah menjadi realita dan fakta bahwa keberagaman agama tak dapat diubah.

Indonesia menyatu dan berdiri kokoh di atas kemajemukan budaya dan masyarakat. Dalam konteks itu, paham apa pun yang menjurus pada radikalisme—membahayakan persatuan Indonesia—mesti diantisipasi bahkan perlu dicegah. Keberagaman beragama di Indonesia misalnya, sejak 1990-an sudah gencar mendapat ancaman dari paham radikalisme.

Lukman Hakim, mantan Menteri Agama, mengatakan, moderasi beragama adalah upaya serius tentang bagaimana beragama dijaga dan dipelihara. Tidak ditarik ke dalam hal yang mengarah pada esensi ajaran agama itu sendiri. Jelasnya, orang beragama tetap berada pada ajaran pokoknya, yaitu memanusiakan manusia dan tidak merendahkan sesama umat manusia.

Sebagai mayoritas, Islam mampu menjaga toleransi beragama. Sikap toleransi itu tak terlepas dari sejarah penyebaran Islam di Indonesia yang bisa dikatakan minim konflik. Penyebaran Islam di Nusantara diperkirakan sudah berlangsung sejak periode abad ketujuh atau kedelapan Masehi dan berlangsung tanpa konflik dengan mengadopsi akulturasi budaya.

Sejak dulu, sejarah telah mengajarkan masyarakat Indonesia arti keberagaman; baik budaya, bahasa, hingga agama. Setiap agama dan kepercayaan di Indonesia sejatinya punya relasi dan konsep keindonesiaan. Almarhum Azyumardi Azra seorang cendekiawan Muslim menggenapkan, bahwa bentuk negosiasi NKRI berdasar Pancasila tentu ada kaitannya dengan sifat Islam wasatiah yang inklusif dan akomodatif.

Menenun Persatuan

Di majalah Gatra edisi 18 Juli 2018, kita bisa mengingat tatkala Kedutaan Besar RI untuk Tahta Suci Vatikan mengadakan dialog antaragama masyarakat Indonesia di Eropa pada 30 Juli-1 Juli 2018. “Kerukunan Antarumat Beragama” menjadi tema yang diangkat menghasil deklarasi yang menempatkan kemajemukan sebagai anugerah.

Deklarasi berisi delapan butir, bila diringkas, isinya yaitu kemajemukan agama, suku, dan bahasa merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa bagi masyarakat Indonesia dan keniscayaan mesti dipelihara, dijaga, dan dikembangkan bersama.

Jalan moderasi pun digagas oleh ormas Muhammadiyah dalam Muktamar ke-47 di Makassar 3-7 Agustus 2015. Muktamar mengusung tema “Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan” dengan prinsip menjadi garda terdepan bagi citra Islam yang moderat, toleran, dan ramah. Melalui muktamar ini, Muhammadiyah memupuk semangat moderasi dengan menguatkan nilai-nilai kemajuan untuk membangun peradaban.

BACA JUGA  Harmoni Ramadhan: Antara Saleh Ritual dan Saleh Sosial

Yudi Latif, Direktur Sekolah Pancasila, dalam tulisannya berjudul Kaidah Moderasi Beragama di Gatra edisi 20 Juli 2016, membeberkan, kehendak untuk bersatu dan harmoni dalam perbedaan bisa diraih, manakala kita mampu mengembangkan hubungan welas asih dengan “Yang Mahasuci”.

Welas asih tersebut memancarkan semangat ketuhanan yang berkebudayaan, lapang, dan toleran. Selain itu, welas asih dalam hubungan dengan manusia dengan ruang hidup (tanah air) dan pergaulan hidupnya (kebangsaan), memancarkan semangat persatuan dalam keragaman bangsa.

Sementara, Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH. Said Aqil Siradj, menyodorkan gerakan moderasi beragama yang menggabungkan keislaman dengan nasionalisme dalam konsep Islam Nusantara. Islam Nusantara dibangun di atas insfrastruktur budaya. Pendek kata, Islam Nusantara didakwahkan tanpa peperangan, tanpa kekerasan. Musabab Islam Nusantara mengambil prinsip wasatiah atau moderat.

Kita bisa meniru langkah beberapa ormas Islam—seperti NU dan Muhamadiyah—di Indonesia dalam memanuver moderasi beragama. NU memegang Islam Nusantara, sedang Muhammadiyah membawa Islam Berkermajuan demi mewujudkan gagasan Islam moderat di Indonesia. Manakala moderasi sudah tercerap dalam setiap pemeluk agama di Indonesia, kiranya tak akan ada lagi radikalisme dalam beragama.

Konsep Beragama

Demikian itu, tak elok apabila sesama masyarakat sebangsa dan emata umat beragama atau tidak, masih mempersoalkan perbedaan yang menjadi sebuah anugerah. Arahan itu bisa kita simak dalam buku Meneguhkan Peradaban Islam Nusantara (2022) karangan KH. Said Aqil Siroj. Kiai Said menulis bahwa konsep beragama masyarakat Indonesia salah satunya ialah ukhuwwah wathaniyah (persaudaraan bangsa) mesti dikedepankan alih-alih ukhuwwah islamiyah.

Artinya, keberpihakan sesama umat agama mau tak mau mesti dikesampingkan manakala berhadapan dengan urusan kebangsaan. Melalui paradigma dan praksis moderasi, umat beragama Indonesia tercegah dari sektarianisme keagamaan, kesukuan, dan sosial-politik bernyala-nyala. Distingsi moderat perlu dipupuk oleh umat beragama guna mencipta sifat inklusif, akomodatif, dan toleran antarumat beragama.

Berbagai dinamika dan perubahan di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru, sampai Reformasi berusaha menggoyahkan sikap moderasi antarumat beragama. Hal tersebut, mesti disikapi dengan usaha antarumat beragama untuk menjunjung tinggi, memupuk lebih jauh, dan memegang teguh konsep moderasi beragama sesuai kondisi sosial zamannya.

M Baha Uddin
M Baha Uddin
Bergiat di Serambi Kata Solo. Kelahiran Majalengka, Jawa Barat.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru