31.1 C
Jakarta

Idulfitri dan Iptek

Artikel Trending

KhazanahOpiniIdulfitri dan Iptek
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Di antara problem umat Islam di dunia saat ini, termasuk di Indonesia, adalah lemahnya penguasaan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi). Sementara menurut Prancis Bacon (w 1626), knowledge is power, ilmu pengetahuan adalah kekuasaan (terjemahan bebas dari scientia est potential). Baginya, kunci kedigdayaan suatu bangsa/negara adalah penguasaan iptek, sebagaimana dialami negara-negara di Eropa Barat dan juga Amerika Utara dengan basis agama Protestan atau ateisnya.

Belakangan, sebagaimana yang ditunjukkan Jepang dan Korea Selatan dengan basis agama Budhanya. Sementara dilihat dari sisi publikasi ilmiah tertinggi di Asia pada periode 1996-2014, peringkat pertama adalah Tiongkok (4.595.249) yang juga Budha. Yang terjadi kemudian, tingkat perekonomian negara-negara Muslim di dunia juga rendah, sebagaimana tampak dari PDB (Produk Domestik Bruto)-nya. PDB negara-negara anggota IDB hanya 6,1% saja dari total PDB Dunia.

Penekanan Iptek

Meski secara sosiologis kontemporer seperti di atas, iptek dalam Islam dipentingkan, sebagaimana ditunjukkan masyarakat Muslim periode klasik (abad VII-XIII). Menurut Briffault: “Orang-orang Yunani mengadakan sistematisasi dan generalisasi serta menyusun teori, tetapi ketekunan untuk mengadakan pengamatan dan penyelidikan eksperimental yang seksama bukanlah watak mereka. Apa yang kita sebut ilmu pengetahuan muncul sebagai akibat metode eksperimen baru diperkenalkan orang Arab kepada orang Eropa. Ilmu pengetahuan modern merupakan sumbangan paling penting peradaban Islam”. Secara ajaran salah satunya, bisa ditunjukkan oleh Idulfitri dan Ramadan.

Sebagaimana umum diketahui, penentuan datangnya Idulfitri dan awal Ramadan dalam Islam dilakukan dengan bukti terlihatnya hilal/bulan sabit (ru’yatul hilâl). Hanya saja, hingga kini ada dua kalangan. Ada kalangan yang menyebut terlihatnya hilal harus dengan mata kepala telanjang sebagaimana yang diyakini NU sebagai organisasi tradisional Islam. Namun, terutama Muhammadiyah sebagai organisasi modernis Islam, melihat hilal cukup dengan teknologi, meski dengan mata kepala tak terlihat, apalagi saat hilal berada di bawah 3 derajat yang tak bisa dilihat dengan mata kepala.

Ini artinya, Idulfitri dan Ramadan mementingkan teknologi dalam pengertian produk berbasis sains dalam pemanfaatan alam untuk kesejahteraan, kenyamanan, dan kemudahan hidup manusia, terutama dalam melakukan banyak pekerjaan. Teknologi untuk melihat hilal dalam Idulfitri sama dengan kompas untuk melihat kiblat dalam salat dan juga pelayaran untuk mengarungi samudera, di mana umat Islam jauh lebih unggul dalam pelayaran sebelum Barat modern, sehingga luas kekuasaannya pada abad VII-XIII belum ada preseden sebelumnya, yaitu dari Pakistan di timur hingga Spanyol di barat, dan dari Asia Tengah di utara hingga Yaman di selatan.  

Teknologi untuk melihat hilal Idulfitri juga sebanding dengan teknologi dan strategi yang digunakan Nabi dalam Perang Badar, yaitu perang pertama untuk menangkis serangan kaum pagan Arab Mekah dengan berbasis pertahanan wilayah dengan sumber mata air yang melimpah (Badar). Peristiwa ini terjadi di bulan Ramadan pada tahun kedua Hijriah. Juga Pembebasan/Penaklukan Mekah sebagai basis kaum pagan Arab yang memerangi Nabi berkali-kali akibat mereka membatalkan Perjanjian Hudaibiah secara sepihak. Ini juga terjadi di bulan Ramadan. Tepatnya pada tahun ke-8 H. Menariknya, berkat ilmu strategi dan teknologinya, dalam Pembebasan Mekah ini tak ada satu tetes pun darah yang ditumpahkan Nabi Muhammad.

Pentingnya teknologi juga tampak dari tradisi pulang kampung sebagai perwujudan silaturahmi sebagai ajaran Islam, meski berlaku hanya di Asia Tenggara, khususnya Nusantara, India dan Cina. Dalam pulang kampung saat Idulfitri ini tentu saja dibutuhkan teknologi transportasi yang bisa membuat jarak jauh menjadi pendek dan juga teknologi pembangunan infrastruktur jalan, meski hingga kini kemacetan masih dirasakan dalam setiap tahunnya.           

Namun, Idulfitri dan Ramadan juga mengingatkan bahwa teknologi hanya lahir jika penguasaan sains/ilmu pengetahuan kuat, karena basis teknologi adalah sains, yaitu pengetahuan sistematis (terorganisasi) mengenai sifat dasar (prinsip-prinsip) objek-objek indrawi/fisik (dalam istilah August Comte positif), yang berasal dari observasi dan eksperimen, yang karena itu bersifat empiris, eksak (pasti), dan mudah untuk diukur.

BACA JUGA  Apakah Dakwah Harus Mengislamkan non-Muslim?

Sebab itu, hanya negara yang mampu mengembangkan sains sebagai basis teknologi yang bisa membuat teknologi tandingan dari teknologi yang sedang berlaku. Dalam teknologi mobil misalnya, Jepanglah yang menandingi Eropa dan Amerika Utara lewat mobil yang dikembangkannya. Di antaranya Toyota, Honda, Suzuki, Mitsubishi. Salah satunya karena Jepang dimulai pada masa Meiji berkuasa mengirim para pemudanya ke Eropa dan Amerika untuk belajar sains yang menjadi basis teknologi.

Isyarat itu tampak dari puasa/Ramadan sebagai madrasah, meski madrasah rohaniah. Idulfitri dan Ramadan menggemakan pembelajaran/pengkajian ilmu pengetahuan. Hampir setiap masjid saat Ramadan yang berakhir dengan Idulfitri menyediakan kajian kultum, minimal di malam-malam di mana besoknya hari libur, kajian Subuh, minimal Ahad pagi, dan juga khotbah Jumat dan Idulfitri.

Bahkan, juga ada pesantren Ramadan. Ini artinya ilmu pengetahuan sebagai basis dari teknologi hanya akan berkembang, jika dilakukan pengkajian, penelitian, dan pengajaran ilmu pengetahuan. Ramadan yang berakhir dengan Idulfitri juga menekankan bahwa capaian teknologi tak akan didapat kecuali melalui proses “puasa” (bersedia menolak berbagai kenikmatan material untuk sementara) dengan melakukan pengkajian dan riset ilmiah terlebih dahulu. Puasa dalam pengertian luas menjadi kunci suksesnya kehidupan, termasuk dalam penguasaan sains dan teknologi.

Pentingnya penguasaan sains sebagai basis teknologi juga bisa dilihat dari diturunkannya Al-Qur’an secara sekaligus pada malam Lailatulqadar, malam lebih baik dari 1.000 bulan, yang diyakini terjadi pada malam terutama tanggal 27/29 sebelum Idulfitri. Tentu saja turunnya ke bumi secara berangsur-angsur yang pertama kali terjadi pada malam tanggal 17 Ramadan, sebagai malam nuzulul Qur’an.

Pada malam 17 Ramadan itu turunlah wahyu pertama yang berbunyi: “Iqra (bacalah) dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan manusia dengan pena. Dan mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. al-‘Alaq:1-5).

Dalam lima ayat ini, Allah menyebut dua atau bahkan tiga metode: metode observasi (empiris/tajrîbî), rasional/burhânî, dan intuitif/‘irfânî. Alasannya karena kata iqra memiliki arti antara lain: bacalah, telitilah sesuai fakta, dalamilah apa saja, selama atas nama Tuhanmu (bermanfaat untuk manusia). Dan itu harus dilakukan secara berulang, karena penemuan baru/teknologi hanya bisa diperoleh, jika pembacaan terhadap objek yang menjadi bahan bacaan/riset dilakukan secara berulang dan seksama.

Ini berarti pengakuan atas ilmu empiris dan rasional, dua ilmu yang kini diakui masyarakat modern. Kedua metode ini selain disebut dengan kata iqra, dalam QS al-‘Alaq itu juga disebut dengan kata pena (qalam), sebagai lambang ilmu empiris dan rasional sebagai ilmu kasbî (ilmu yang diperoleh lewat usaha). Ilmu yang dikembangkan dalam Islam sebisa mungkin didasarkan pada empirisme dan rasionalisme. Sementara metode intuitif terdapat dalam ayat paling akhir “Dan (Tuhanmu) yang  mengajarkan (secara langsung tanpa pena) kepada manusia (pilihan tertentu lewat pancaran) apa yang tidak diketahuinya”.

Intuisi/wahyu inilah yang harus membimbing ilmu empiris dan rasional yang ditekankan dalam puasa Ramadan/Idulfitri, di mana hanya hati/keimananlah yang membuat seseorang bisa berpuasa dengan benar dan baik. Ini juga sesuai dengan pendapat Einstein: “Ilmu tanpa agama adalah buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh”. Juga QS. Al-Mujadalah/58: 11: “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang yang memiliki ilmu pengetahuan di antara kalian”.

Karenanya, dengan sains saja tidak cukup, tetapi harus dibarengi dengan keimanan, dengan kemampuan menjaga nilai-nilai etis kemanusian, sebagaimana diungkap juga Peter F. Drucker. Baginya, orang yang berilmu, tetapi tidak punya keimanan (integritas) akan merusak dirinya, kelembagaan, dan masyarakat sekitarnya. Juga seperti disampaikan Seyyed Hossein Nasr. Melalui dominasi fakta empiris dan logika, manusia modern telah kehilangan jiwa dan spiritualitasnya sebagai fitrahnya, karena menganggap rendah intuisi yang menjadi basis etika, spiritualitas, nilai-nilai ketuhanan, dan agama. Mereka pun mengalami kenestapaan. Wallâh a’lam bisshawâb.

Prof. Sukron Kamil
Prof. Sukron Kamil
Guru Besar FAH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru