28.3 C
Jakarta

Memahami Toleransi Beragama dalam Kerangka Filsafat Politik Abad Pertengahan

Artikel Trending

KhazanahOpiniMemahami Toleransi Beragama dalam Kerangka Filsafat Politik Abad Pertengahan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Konsep toleransi menjadi diskursus spesifik dalam kajian ilmu politik. Ia berasal dari pemikiran politik atau filosof politik yang berusaha membentuk formula terbaik untuk menciptakan masyarakat yang utopis. Konsep toleransi sering dibahas dalam pemikiran filsafat Barat yang kental akan ideologi liberalisme.

Namun menurut saya pemikiran akan toleransi turut dapat kita kaji dan lacak dalam pemikiran dan implementasinya dalam filsafat politik Islam khususnya kerajaan Ottoman dan filsafat politik abad pertengahan.

Namun sebelum melihat realita dan pemikiran mengenai toleransi pada era Ottoman dan abad pertengahan perlu kita pahami definisi dari toleransi menurut kajian ilmu politik yang disampaikan Andrew Heywood, akademisi politik masyhur yang terkenal di kalangan akademisi politik lokal.

Sikap toleran menurut Heywood didefinisikan sebagai pembatasan diri untuk tidak mengintervensi perilaku atau kepercayaan seseorang walaupun terdapat ketidaksetujuan atau ketidaksukaan terhadap kepercayaan atau perilaku tersebut. Sedangkan sikap permisif cenderung kurang peduli terhadap suatu tindakan atau kepercayaan yang ada.

Sehingga dalam budaya liberalisme secara moral toleransi bukanlah perilaku netral melainkan ketidaksetujuan yang dipendam atas nama penghormatan terhadap kebebasan yang ada. Sehingga toleransi dapat dijelaskan sebagai sebuah penghormatan terhadap kepercayaan dan perilaku suatu individu yang berbeda dengan cara tidak mengintervensi dan memaksakan pandangan sesuai dengan apa yang kita pahami.

Dalam filsafat abad pertengahan yang dikenal sebagai era kegelapan sudah dikenali berbagai pemikiran filsafat politik yang mengarah kepada toleransi. Dalam literaturnya yang berjudul “William of Ockham and Medieval Discourses on Toleration” Takashi Shogimen menjelaskan bahwa pada era abad pertengahan terdapat beberapa gagasan yang membahas mengenai konsep toleransi secara eksplisit.

Sebagai contoh John of Salisbury menyebutkan, keterbatasan pemikiran manusia terbatas sehingga perbedaan opini dan perbedaan pendapat menjadi suatu hal yang fundamental dalam kehidupan manusia.

Apabila John of Salisbury menyebutkan konsep toleransi terhadap perbedaan pendapat, maka Nicholas of Cusa secara spesifik menjelaskan konsep eksplisit terkait toleransi dalam konteks ras, yang menyebutkan apabila konflik yang terjadi sering kali berkaitan dengan perbedaan ras. Untuk itu Nicholas of Cusa menggagas apa yang disebut sebagai universalitas Kristen yang mana toleransi disatukan atas nama Kristen.

Selain itu pada akhir abad pertengahan terdapat filosof terkemuka yang dengan jelas memikirkan mengenai toleransi beragama yakni John Locke. Walaupun dianggap sebagai filsuf era Renaisans atau modern namun John Locke hidup pada masa kegelapan.

Vicki Spencer dalam literaturnya yang berjudul “Human Fallibility and Locke’s Doctrine of Toleration” mengatakan, situasi yang terjadi secara umum di Eropa adalah tendensi untuk menjadi pihak yang menduduki kursi hegemoni antara Protestan dan Katolik. Hal tersebut terutama terjadi di Perancis yang sebenarnya telah mengeluarkan maklumat Nantes yang secara umum menjamin praktik keagamaan antara kaum Katolik dan Huguenots di Perancis.

Namun realita yang terjadi adalah masih adanya tendensi masing masing untuk menciptakan dominasi antara satu sama lain, yang dibuktikan dengan adanya migrasi massal ke Belanda. Berdasarkan hal tersebut John Locke mengemukakan bahwa toleransi tidak bisa bersifat minimal atau yang sifatnya formal.

Toleransi harus diinstitusionalisasikan ke dalam diri sendiri menjadi kebijaksanaan pribadi dan diinstitusionalisasikan pada gereja, yang dibuktikan dengan perkataan John Locke bahwa “I esteem that toleration to be the chief Characteristic Mark of the True Church”.

BACA JUGA  Bahaya Brainwashing Radikalisme di Dunia Maya dan Strategi Penanganannya

Diskursus mengenai toleransi selain dibahas di dalam budaya filsafat abad pertengahan, turut digagas kajian filsafat politik Islam. Pada bagian ini saya akan memberikan contoh filsafat politik Islam dengan latar belakang kerajaan Ottoman. Hal tersebut saya pertimbangkan karena kekaguman Voltaire terhadap toleransi yang terjadi di Ottoman yang diekspresikannya dalam “Treatise on Toleration (1763)” yang berbanding terbalik dengan situasi Eropa kala itu.

Dalam literaturnya yang berjudul “The Ottomans and the Toleration” karya Karen Barkey disebutkan bahwa ketika kerajaan Ottoman menganeksasi wilayah Balkan (wilayah dengan mayoritas beragama Kristen), terdapat sebuah kebijakan yang disebut sebagai kebijakan istimalet.

Kebijakan ini secara umum merupakan kebijakan yang menunjukkan komitmen kerajaan Ottoman untuk mengakomodasi serta mengakui umat Kristiani dengan berbagai bentuk kebijakan. Salah satunya adalah memberikan keleluasaan bagi pemimpin agama lokal untuk menjalankan pemerintahannya secara otonom.

Hal tersebut juga berkaitan dengan kebijakan fiskal, dimana pajak masyarakat pada suatu wilayah diberikan kepada pemerintahan lokal. Hal tersebut juga dibuktikan dengan studi yang dikemukakan Elias Kolovos dalam kajiannya yang menjelaskan bahwa di bawah kekuasaan Ottoman, pemuka agama Kristen Yunani Ortodoks tetap mendapatkan privilege atas ekonomi properti serta didapatkannya jaminan atas praktik keagamaannya secara penuh.

Hal tersebut juga tercermin di dalam kata-kata yang dilontarkan Sultan Suleyman 1 atau yang biasa dipanggil sebagai “Suleiman the Magnificent” yang menyebutkan bahwa ketika ditanya apakah orang-orang Yahudi harus dimusnahkan dari kerajaannya karena mereka adalah rentenir.

Ia menjawab dengan meminta para anggota dewannya untuk mengamati vas bunga yang beraneka warna dan beraneka bentuk, sambil memperingatkan mereka bahwa setiap bunga dengan bentuk dan warnanya masing-masing ditambahkan ke dalam vas tersebut akan menciptakan keindahan yang lain.

Dia kemudian melanjutkan dengan menegaskan bahwa ia memerintah banyak etnis yang berbeda: Turki, Moor, Yunani, dan lain-lain. Masing-masing negara berkontribusi terhadap kekayaan dan reputasi kerajaannya, dan untuk melanjutkan situasi bahagia ini, dia mengambil sikap dengan bijaksana untuk terus menoleransi mereka yang sudah hidup bersama di bawah pemerintahannya.

Berdasarkan hal tersebut menurut saya kita dapat mengambil pelajaran dari filsafat politik kedua era tersebut bahwasanya diskursus mengenai toleransi merupakan hal yang selalu terjadi pada setiap peradaban yang tercatat oleh sejarah. Bahkan pada masa kegelapan pun, yang dianggap sebagai era keterkungkungan umat manusia, terdapat pembahasan mengenai toleransi sebagai nilai yang dibutuhkan dalam masyarakat.

Di sisi lain, dalam filsafat politik Islam, khususnya pada masa kerajaan Ottoman terlihat bagaimana toleransi dapat menciptakan harmoni sosial yang berdampak pada kemajuan sebuah peradaban. Bahkan filsuf Barat seperti John Locke dan Voltaire beberapa kali mengungkapkan kekagumannya terhadap implementasi toleransi di dalam kerajaan Ottoman. 

Untuk itu menurut saya, dengan fakta masih banyaknya kasus intoleransi di Indonesia dalam berbagai bentuk, pengalaman empiris yang kita temukan di dalam filsafat abad pertengahan dan filsafat politik Islam pada masa kerajaan Ottoman dapat kita refleksikan dan resapi untuk dijadikan resolusi ke depan.

Sebuah bangsa yang lebih baik dan menerima perbedaan secara prosedural dan substansial sebagaimana vas bunga akan semakin indah apabila memiliki keragaman warna. Begitu pun juga bangsa dengan kolaborasi antaretnis. Agama akan menciptakan harmoni yang indah sebagaimana warna-warni bunga di dalam vas sebagaimana yang disampaikan Suleiman the Magnificent.

Revo Linggar Vandito
Revo Linggar Vandito
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta yang tertarik dalam berbagai kajian kajian politik terkait multikulturalisme dan politik identitas.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru