31.3 C
Jakarta

Memosisikan Akal dalam Beragama: Menolak Narasi Pembodohan atas Nama Agama

Artikel Trending

KhazanahTelaahMemosisikan Akal dalam Beragama: Menolak Narasi Pembodohan atas Nama Agama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Akal dan agama seperti dua mata koin yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Keberadaan akal akan membantu manusia untuk lebih rasional dalam menjalankan setiap ketentuan yang sudah diperintahkan oleh Tuhan. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan fungsi secara secara optimal. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya ayat dalam Al-Qur’an yang menyerukan kepada manusia untuk berpikir. Apabila seseorang kehilangan akal, maka hukum-pun tidak berlaku baginya.

Di dalam Islam, penggunaan akal semestinya mengikuti kaedah-kaedah yang ditentukan oleh wahyu supaya akal tidak terbatas, tidak digiring oleh kepentingan sehingga tidak menghalalkan yang haram ataupun sebelumnya. Mengapa penting memosisikan akal dalam persoalan agama?

Kisah Nabi Ibrahim A.S dalam pencarian Tuhan, membuktikan bahwa teologi Islam dibangun atas rasionalitas. Satu-satunya media untuk mencari tahu tentang Tuhan adalah akal yang difungsikan untuk bertanya keberadaan matahari, bulan ataupun benda-benda langit sebagai Tuhan. Pemanfaatan akal yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim membuktikan bahwa, pencarian Tuhan dibangun dengan pondasi akal.

Melalui akal, lahirlah kemampuan untuk menjangkau pemahaman terhadap sesuatu, yang pada gilirannya mengantarkan pada seseorang berbudi luhur. Tidak benar apabila orang yang beragama menggunakan akal, akan menjadi orang yang akan jauh dari ajaran agama itu sendiri. Akal digunakan untuk memperhatikan dan menganalisis sesuatu guna mengetahui rahasia-rahasia yang terpendam, sehingga seseorang yang menggunakan akal dalam beragama, akan menembus batas yang nyata.

Selain kisah Nabi Ibrahim, pemanfaatan akal dalam beragama ini, mengantarkan pada kejayaan emas umat Islam, salah satunya masa Abbasiyah. Komunikasi umat Islam dengan pemikiran Yunani, dikuasasi oleh Islam. pada zaman inilah banyak muncul filosof Muslim seperti al-Kindi, Ibn Sina, al-Razi, Ibn Rusyd, Ibn Baja, Ibn Tufail, dll. Beragam karya keilmuan yang dihasilkan oleh para filosof Muslim tersebut, menjadi sebuah representasi bahwa, penggunaan akal untuk pemanfaatan pengetahuan, berdampak besar terhadap perkembangan umat Islam.

Populasi Muslim di Dunia

Dilansir dari Tempo, jumlah umat Islam di dunia akan mampu melebihi umat Kristen dalam beberapa dekade yang akan datang. Berdasarkan laporan pewforum.orf, jumlah orang Islam diperkirakan meningkat sebanyak 73 persen dari total populasi saat ini. Kedua agama ini, merupakan agama yang paling banyak dipilih oleh masyarakat untuk dijadikan sebagai pedoman hidup. Meskipun demikian, kita harus melihat berbagai perkembangan teknologi, arus informasi yang semakin pesat, dan kehidupan yang semakin transparan, berdampak terhadap perkembangan keberagamaan, termasuk pada Islam itu sendiri.

BACA JUGA  Kawal Pasca Pemilu: Hidupkan Persatuan, Hentikan Perpecahan!

Penggunaan akal dalam memahami fenomena keberagamaan, bisa dilihat dari dua fungsi, analisa logika dan pengetahuan intuisi tanpa kontradiksi, yakni fungsi kognitif dan intuitif secara bersamaan. Akal juga berperan untuk menjadi pemandu terhadap pilihan dan keputusan moral manusia.  Dari sekian banyak fenomena sosial yang terjadi, setidaknya kita perlu melihat dan menelaah narasi-narasi pembodohan yang begitu banyak tersebar di media sosial atas nama agama.

Posisi akal dalam konteks ini, bukan berarti meniadakan empati, hal yang absurd di mana akal tidak bisa menjangkau atau menuhankan akal itu sendiri sehingga tidak percaya pada Tuhan. Akan tetapi, lebih menekankan pemanfaatan akal untuk memperoleh pengetahuan terhadap keberagamaan. Penggunaan akal dalam Islam bisa dilihat dari bagaimana cara manusia untuk memahami Al-Qur’an dan melakukan ibadah dengan memanfaatkan akal sebagai rumusan tujuan atas peribadatan yang sudah dilakukan. Bahkan yang membedakan manusia dengan makhluk lain, adalah kepemilikan akal pada manusia.

Era saat ini, mau tidak mau, umat Islam dituntut untuk memiliki kemampuan akal yang rasional untuk memilah dan memilih informasi dari berbagai kanal untuk berpihak terhadap informasi yang bisa dipertanggungjawabkan. Ajaran Islam harus mampu menembus batas fenomena modern dengan kemampuan para penganutnya untuk mendudukan akal dan rasionalitas. Sebab dalam perkembangan masyarakat modern, ajaran agama yang paganistik tidak memberikan ketertarikan bagi masyarakat modern yang sudah menghamba pada teknologi dan informasi. Umat Islam harus mampu melihat korelasi ajaran Islam dengan masalah lingkungan, alam polusi udara, serta masalah populer lainnya, agar ajaran Islam bisa dilihat sebagai agama yang bisa menjawab perkembangan zaman. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru