31.5 C
Jakarta

Mengkritisi Seruan Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMengkritisi Seruan Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul: Islam Kita Nggak ke Mana-mana Kok Disuruh Kembali, Penulis: Ahmad Khadafi, Penerbit: Buku Mojok, Cetakan: IV, April 2021, Tebal: xii + 219 Halaman, ISBN: 978-623-7284-01-7, Peresensi: Fathorrozi, M.Pd.

Harakatuna.com – Slogan ‘kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis’ masih ramai digaungkan. Berkat bantuan media sosial yang masif, seruan tersebut terus berulang disuarakan hingga booming di mana-mana. Hampir setiap kita berjumpa dengan ‘pendakwah instan’ atau ‘ustaz baru’, kita akan dengar slogan itu.

Rasulullah Saw bersabda: “Aku telah tinggalkan kepada kalian dua perkara. Selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, kalian tidak akan tersesat, (yaitu) kitab Allah dan sunah Rasul-Nya.” (HR. Al-Baihaqi).

Sebagai seorang muslim kita memang harus merujuk kepada kitab pedoman, yakni Al-Qur’an dan hadis. Namun, ajakan ini perlu diluruskan agar tidak terjadi kesalahpahaman dan ketimpangan. Dalam urusan ibadah kita memang dituntut untuk mengikuti sebagaimana telah digariskan oleh Allah Swt dalam Al-Qur’an, juga yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw dalam hadis.

Namun, jika tiba-tiba langsung kembali kepada Al-Qur’an dan hadis, kita akan kebingungan. Sebab kapasitas kemampuan kita berbeda-beda dan tidak bisa dipukul rata. Jika dengan daya pemahaman yang segitu-segitu saja, lalu dipaksa untuk beribadah sesuai Al-Qur’an dan hadis menurut pemahaman masing-masing, tentu akan kacau.

Dalam buku Islam Kita Nggak ke Mana-Mana Kok Disuruh Kembali ini, sebagian bahasannya mengangkat perihal slogan ‘kembali ke Al-Qur’an dan hadis’ yang dikemas oleh Ahmad Khadafi, selaku penulis, dengan sangat menarik. Bagaimana tidak, materi berat itu menjadi ringan, kocak dan mengalir sebab dituturkan dengan gaya percakapan yang intens antara Mas Is dan Gus Mut.

Mulanya, Mas Is ingin mengajak Gus Mut untuk ikut aksi bela agama, tapi karena waktu Gus Mut terbentur dengan jadwal mengajar, akhirnya ia menolak ajakan Mas Is secara halus. Lalu muncullah pertanyaan dari Mas Is, “Kenapa kalian tidak marah saat agama Islam dihina?”

Dengan tegas Gus Mut menjawab, “Karena mungkin pengalaman agamaku berbeda denganmu, Is. Terserah mereka mau bilang agamaku kayak apa karena kepercayaanku kepada Allah dan agama Islam tidak akan segampang itu jadi hina. Keyakinanku tidak akan nambah atau berkurang hanya gara-gara ada orang yang menghinaku atau kepercayaanku. Kalau bisa jadi rendah atau tinggi hanya karena omongan orang, ya bagiku perhitungan secara komunal saja, bukan keyakinan.”

Mendengar jawaban demikian, Mas Is tiba-tiba mengajak Gus Mut untuk kembali ke Islam yang kafah, yaitu kembali ke Al-Qur’an dan hadis. Sebab dengan begitu, menurut Mas Is, kita bisa menyatukan persepsi dan menunjukkan kepada dunia luar bahwa Islam Indonesia itu kuat karena bersatu.

Sontak Gus Mut menimpali, “Lah, memang kita selama ini hidup harus selalu pakai itu. Kita memang tidak pernah dan tidak boleh ke mana-mana. Lah, masa tidak ke mana-mana kok disuruh kembali. Rumahku itu, ya, Al-Qur’an dan As-Sunah. Ngapain aku disuruh kembali kalau aku sudah di dalam rumah? Jangan-jangan justru yang mewanti-wanti itu yang sebenarnya belum kembali?”

BACA JUGA  Menangkal Overdosis Beragama

“Belum kembali ke masyarakat, belum kembali berjemaah di masjid kampung sendiri, belum kembali ke orangtua untuk berbakti, belum kembali ke keluarga untuk menafkahi, dan belum kembali ke anak-anak untuk kasih waktu ke mereka. Karena yang begitu-begitu juga ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunah. Jadi, Al-Qur’an dan As-Sunah itu ada di sekitar kita, tidak pernah jauh. Ngapain kembali?” imbuh Gus Mut yang membuat Mas Is diam mematung (hlm. 68).

Percakapan antara Gus Mut dan Mas Is di atas merupakan contoh kasus yang memang kerapkali terjadi di sekitar kita. Hanya soal perbedaan paham dan kepentingan, lalu serta-merta mengajak untuk menceburkan diri dalam lautan ayat dan hadis yang memiliki kedalaman makna.

Sangat sulit jika kita hanya mengandalkan semangat ‘kembali ke Al-Quran dan hadis’ tanpa mendapat bimbingan dari seseorang yang benar-benar memahami syariat. Maka, yang benar menurut kami, harusnya kita ‘kembali kepada ulama’, sebab sesungguhnya ulama itu telah mengerti bahkan menguasai Al-Qur’an dan hadis secara mendalam. Sementara kita tidak semudah membalik telapak tangan untuk bisa memahami makna ayat dan hadis.

Meminta bimbingan kepada ulama agar benar dalam beribadah serta agar dapat memahami makna dan kandungan ayat dan hadis ini, telah sesuai dengan perintah Allah sebagaimana yang tertuang dalam Al-Qur’an surah An-Nahl ayat 43:

“Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”

Jadi, kurang tepat jika seseorang mengatakan ‘cukup bagiku Al-Qur’an dan hadis’, sedangkan ia tidak tahu harus lewat mana untuk bisa memahami makna dan maksud ayat serta hadis tersebut. Sebab ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi tidaklah seperti teks bahasa Arab biasa yang jika kita sudah temukan terjemahannya, langsung dapat kita pahami.

Sejak 13 abad yang lalu para ulama mengerahkan segenap pikiran dan tenaganya dalam menulis kitab-kitab tafsir Al-Qur’an juga kitab-kitab syarah hadis, hingga kurang istirahat di malam hari serta menggunakan waktu siangnya untuk meneliti, semata agar kita dapat memahami dengan benar maksud ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi Saw.

Kemudian jika dikatakan, “Ulama itu kan manusia, berarti bisa salah juga dong. Jadi, kita kembali saja kepada Al-Qur’an dan As-Sunah!”

Maka, jalan keluarnya begini, katakan saja kepadanya, “Kalau ulama saja bisa salah, lalu siapa Anda yang dengan sesumbar berkoar pendapat Anda yang paling benar dan harus diikuti.”

Fathorrozi, M.Pd
Fathorrozi, M.Pd
Pegiat literasi dan pengasuh Qarnul Islam Ledokombo Jember

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru