28.2 C
Jakarta

Fitnah di Kalangan Orang Alim, Umat Islam Harus Apa?

Artikel Trending

Milenial IslamFitnah di Kalangan Orang Alim, Umat Islam Harus Apa?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Beredar ceramah Gus Miftah terbaru yang menceritakan bahwa ketika hendak membangun pesantren pada 2012 silam, ia diberi suatu pesan oleh Habib Luthfi bin Yahya. Kala itu, ketika sowan, kata Gus Miftah, Habib Yahya mengatakan bahwa suatu hari ini akan ada fitnah di kalangan orang alim—meminta Gus Miftah hati-hati dengan keadaan itu. Apakah fitnah yang dimaksud sudah terjadi hari ini?

Beberapa bulan terakhir, ada sengketa yang cukup meresahkan di kalangan umat Islam, yaitu sengketa nasab. Andai hanya debat biasa, mungkin menanggapinya adalah sesuatu yang tidak perlu. Debat nasab itu tidak akan membuat negara ini jadi maju, tidak juga akan membuat Islam berjaya. Mereka yang saling berebut nasab hanya cekcok soal pamor belaka, tanpa sadar bahwa mereka telah membuat umat terpecah.

Hari ini di Indonesia ketokohan Islam seolah-olah terpecah jadi dua kubu. Kubu pertama adalah kubu zuriyah Walisongo. Kubu kedua adalah kubu Rabithah Alawiyah. Di media sosial, cekcoknya semakin meresahkan. Caci-maki yang dilakukan antara sesama orang alim jadi postingan harian. Umat Islam yang awam pun ikut mencemooh ulama. Fitnah macam apa ini dan umat Islam harus apa?

Sejak kapan nasab ini jadi pemecah-belah? Sejak kapan Rabithah Alawiyah dan zuriah Walisongo itu berseteru? Sejak kapan kiai dan habaib saling menyebarkan kebencian? Siapa dalang semua ini? Seorang qari asal Sidoarjo, Zulfikar Basyaiban, yang terkenal alim, misalnya, ikut membuat konten di YouTube yang merendahkan sesama zuriah. Konon karena sakit hati bahwa marganya terputus dan tak diakui Rabithah. Naif sekali.

Kalau sesama orang alim sudah cekcok seperti anak kecil rebutan mainan, umat mau dibawa ke mana? Ini harus dipikirkan bersama. Islam itu adalah agama rahmat, dan berbangga-bangga soal nasab tidak akan membuat agama ini disegani. Kajian ilmiah tentang nasab sudah banyak dilakukan, maka jika cekcok ini tidak juga selesai, pasti ini memang merupakan fitnah di kalangan orang alim. Umat harus waspada.

Debat Nasab dan Kebencian

Perdebatan soal nasab dimunculkan oleh penelitian ilmiah Imaduddin, seorang ulama dari Banten, yang mengaku sebagai zuriah Walisongo. Kajian Imad memiliki kesimpulan bahwa nasab Ba’alawy kepada Nabi Saw. terputus. Harus diakui, itu adalah kesimpulan yang berani, ibarat kata pepatah: mengencingi sumur Zamzam. Demikian karena seluruh struktur Rabithah Alawiyah runtuh seketika—klaim zuriah menjadi palsu.

Sebagai kajian ilmiah, antitesis terhadap Imad dilakukan oleh Rumail Abbas. Bedanya, Imad melalui buku, sementara Rumail menggunakan konten video di YouTube. Namun secara akurasi, riset Rumail jauh melebihi Imad, karena referensi yang digunakan jauh lebih kaya literatur. Artinya, antitesis Rumail tidak dapat Imad pandang sebelah mata. Jika Imad ingin mempertahankan argument, riset lanjutan wajib ia lakukan.

Namun apa yang terjadi sangat mengejutkan: Imad mengabaikan Rumail, tidak memperhitungkan kredibilitas risetnya, enggan menanggapi secara vis-à-vis, dan hanya membuat artikel ringan melalui website yang sama sekali tidak ilmiah dan tidak bermutu. Imad tetap paten dengan kesimpulan risetnya, menganggap riset dirinya paling benar, dan segala bantahan ditantang dengan kalimat ‘berani tes DNA?’. Sungguh naif dan pandir.

Padahal, jika memang debat nasab tersebut murni ilmiah, maka Imad tidak boleh menutup kemungkinan antitesis dari tesisnya sendiri. Penelitian itu kebenarannya tentative—bukan mutlak dan menjadi acuan tunggal. Apalagi, literatur yang Rumail gunakan jauh lebih kaya dari Imad. Sejujurnya, tesis Imad sudah terbantahkan. Dalam sudut pandang ilmiah sudah selesai; kesimpulan penelitian Imad terburu-buru dan miskin referensi.

BACA JUGA  War Takjil: Potret Kerukunan Antarumat yang Harus Dilestarikan

Sekali lagi, Imad tidak mau dengan fakta itu. Kebenaran risetnya dianggap paten dan tak tersanggahkan. Ia bahkan punya geng, ada Fuad Plered dari Yogyakarta dan Zulfikar Basyaiban dari Sidoarjo. Tokoh terakhir ini, jauh sebelum debat nasab ini meresahkan umat Islam, nasabnya tidak diakui Rabithah. Entah motif sakit hati atau apa, Zulfikar hari ini malah di front depan mencemooh para habaib.

Tidak berhenti di situ, Zulfikar sekeluarga menambahkan nama mereka dengan sebutan Sayyid dan Syarifah, sembari mengaku zuriah Nabi Saw. yang kauh autentik daripada klan Ba’alawi. Secara tidak langsung, ia mengaku lebih asli daripada Habib Umar, Habib Luthfi, dan lainnya. Bersama Fuad, ia menjadi orang alim yang ikut meramaikan debat nasab dengan bantahan-bantahan yang tidak islami, bahkan suul adab.

Antara debat nasab dan kebencian antarklan pun tidak ada bedanya. Masing-masing pihak mengaku zuriah Nabi, namun perangainya sangat memalukan. Jauh dari kata ilmiah, debat nasab menjadi adu pamor belaka dan memprovokasi umat Islam untuk ikut debat nasab berlumur kebencian tersebut. Ironisnya, umat Islam masih banyak yang tidak melihat kebenaran dan ikut-ikutan menyebar virus kebencian. Sungguh, ini fitnah yang besar.

Umat Harus Cerdas

Tidak sulit untuk memosisikan diri dalam perdebatan antarorang alim ini. Kuncinya adalah mengikuti ulama karena keteladanan mereka, karena keilmuannya. Bukan karena mereka keturunan Nabi atau siapa. Mengaku zuriah, namun akhlaknya seperti Firaun, umat harus jaga jarak dan menjauh. Umat Islam harus cerdas dan tidak dibodoh-bodohi oleh penggila nasab, apalagi jika mereka hanya menebar virus kebencian.

Zulfikar, misalnya, sebagaimana Imad, sebenarnya berangkat dari kesakithatian belaka. Riset ilmiah hanyalah tameng. Dan di atas seluruh kegaduhan ini, umat harus menyadari bahwa ini semua merupakan fitnah, atau cobaan. Sengketa orang-orang alim, seperti yang pernah didawuhkan Habib Luthfi. Ujung dari perdebatan nasab ini bukanlah kekayaan argumen dan perkembangan diskursus keilmuan, melainkan kebencian antarumat Islam.

Umat Islam baiknya mengikuti ulama teladan yang menyejukkan. Habib Lutfi, Gus Baha, Quraish Shihab, misalnya. Jika mereka bukan habaib, kita tidak akan rugi karena yang kita teladani adalah akhlak dan ilmunya. Jika mereka ternyata benar habaib, kita akan dapat dua kali, pertama karena mengikuti ulama dan kedua karena mengikuti zuriah. Umat harus cerdas, bahwa nasab itu bukan perkara penting selain bagi penggilanya.

Mengikuti Imad, Fuad, Zulfikar, umpamanya, apa untungnya? Jika mereka benar bahwa nasab habaib itu terputus, kita dapat apa? Apakah kita akan bertambah mulia? Dan jika mereka ternyata salah dan kita berada di barisan pendukung, bukankah kita ikut kena getahnya?

Di sinilah sikap bijak seluruh umat Islam diperlukan. Satu sisi, umat harus meneladani ulama karena keilmuan dan akhlak mereka, sementara di sisi yang lain mereka harus bijaksana memosisikan diri. Bagaimana jika ada habaib, oknum habib maksudnya, seperti Bahar Smith misalnya, yang juga hanya menimbulkan kontroversi? Jawabannya: tidak usah diteladani. Umat mesti meladani seseorang karena akhlak dan ilmu, bukan asal-usul ari-arinya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru