31.1 C
Jakarta

Refleksi Hardiknas: Melihat Potret Kelam Kasus Perundungan Anak di Indonesia

Artikel Trending

KhazanahTelaahRefleksi Hardiknas: Melihat Potret Kelam Kasus Perundungan Anak di Indonesia
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Setiap tanggal 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Selain itu, bulan Mei ini pula dicanangkan sebagai bulan Merdeka Belajar. Tema yang diangkat oleh pemerintah dalam perayaan Hardiknas tahun ini adalah “Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar”.

Jika kita melihat pidato Hardiknas yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, setidaknya dalam 5 tahun terakhir, kita merefleksikan penerapan Merdeka Belajar, di mana pada hari ini, setidaknya kita melihat banyak sekali perubahan yang terdapat pada pembelajar ataupun pendidik di sekolah. Optimalisasi SDM dengan berbagai karya dan inovasi di sekolah dan di masyarakat, menghidupkan optimisme bangsa Indonesia tentang pendidikan di masa yang akan datang.

Di media sosial, para pendidik/guru memanfaatkan ruang maya dengan sangat apik. Banyak sekali kita lihat para guru membagikan pengalaman mengajar yang sangat menyenangkan, bahkan media sosial menjadi ruang belajar yang mengasyikkan bagi anak-anak.

Namun, di balik banyaknya kelebihan yang kita rasakan itu, salah satu tantangan besar pendidikan saat ini adalah potret perundungan terhadap anak yang sangat besar. Kalau kita lihat berbagai fenomena yang terjadi di media sosial, potret perundungan anak yang dilakukan oleh teman sebaya, menjadi masalah utama pendidikan di Indonesia.

Dilansir dari databoks, menurut Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), terdapat 30 kasus bullying alias perundungan di sekolah sepanjang 2023. Angka itu meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 21 kasus. Data ini juga didukung oleh hasil Asesmen Nasional 2021 dan 2022 atau Rapor Pendidikan 2022 dan 2023, sebanyak 24,4% peserta didik mengalami berbagai jenis perundungan. Sementara itu, menurut Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), ada 30 kasus bullying sepanjang 2023. FSGI juga mencatat sepanjang 2023, ada 46,67% kekerasan seksual terjadi di sekolah dasar

Potret kelam ini, seharusnya menjadi perhatian lembaga pendidikan untuk menciptakan ruang belajar yang aman bagi anak-anak. Penindakan secara tegas terhadap pelaku perundungan, harus ditegakkan di sekolah. Artinya, jangan sampai anak-anak mengalami trauma berkepanjangan dalam proses belajarnya, sehingga merasa tidak nyaman bahkan berujung pada penghilangan nyawa secara paksa yang dilakukan oleh diri sendiri akibat perundungan yang dialami.

Pendidikan Keluarga: Basis Utama Pendidikan Anak

Tidak bisa dipungkiri bahwa, keluarga adalah basis pendidikan seorang anak dalam membentuk karakternya sebagai manusia utuh. Tentu, faktor lingkungan (masyarakat) dan lembaga pendidikan juga berpengaruh besar. Ungkapan al-ummu madrasatul ula artinya “ibu adalah madrasah (sekolah) pertama” bagi anaknya, bukanlah semboyan atau kata kiasan semata. Dengan tidak meniadakan peran ayah dalam pola pengasuhan anak, orang tua menjadi ruang belajar utama, karakter seorang anak dibentuk.

BACA JUGA  Pasca Pemilu: Potensi Ekstremisme Menguat

Kasus perundungan yang terjadi di sekolah, atau dilakukan oleh seorang anak terhadap teman sebaya, harus menjadi perhatian penuh oleh keluarga, dengan melihat alasan mengapa hal itu dilakukan oleh sang anak. Maka upaya pencegahan yang bisa dilakukan oleh keluarga adalah dengan memantau, menemani perkembangan serta aktivitas anak baik secara langsung ataupun aktivitas digital.

Mengapa aktivitas digital sangat penting untuk dipantau? Tontonan atau bahkan game yang dimainkan oleh seorang anak, akan berpengaruh terhadap tindakan seseorang. Maka orang tua perlu mengetahui, game apa saja yang dimainkan oleh anak, atau video apa saja yang ditonton oleh sang anak serta aktivitas apa saja yang dilakukan secara digital. Penanaman akhlak untuk anak, sangat penting dilakukan oleh keluarga mengingat bahwa, orang tua adalah contoh/panutan seorang anak. Maka pemberian ilmu agama, wajib dilakukan oleh orang tua sebagai bekal, ia menjadi manusia seutuhnya.

Seorang anak diyakini akan tumbuh sesuai dengan pendidikan yang dibentuk oleh orang tua. Selain memberikan dasar pengetahuan agama, orang tua juga perlu meluruskan tentang suatu realitas yang berkembang di masyarakat. Tentu, dalam konteks perundungan, para orang tua harus berefleksi terhadap diri sendiri, untuk tidak menjadi pelaku perundungan kepada anak orang lain.

Sebab fenomena yang sedang marak belakangan ini, melalui akun media sosial, cukup banyak akun yang dipegang oleh para ibu atau ayah, turut serta melakukan perundungan kepada anak dalam suatu video atau postingan. Jika orang tua tidak aware terhadap masalah perundungan, maka jangan menyalahkan sang anak apabila menjadi pelaku perundungan di dunia nyata.

Maka, orang tua perlu memiliki perhatian terhadap masalah perundungan, agar sang anak tidak menjadi korban bahkan pelaku perundungan. Dengan demikian, kesadaran ini akan membawa pada pembentukan karakter anak, yang bisa menghargai orang lain apa pun kondisinya. Wallahu a’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru