28.8 C
Jakarta

Polarisasi Umat Islam, Preseden Buruk yang Mesti Diwaspadai

Artikel Trending

Milenial IslamPolarisasi Umat Islam, Preseden Buruk yang Mesti Diwaspadai
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Aroma perpecahan umat Muslim di Indonesia semakin menyengat. Menuju tahun Pemilu, arusnya seperti tambah kencang dan mengancam kerukunan antarumat Islam. Padahal, negara ini mayoritasnya adalah Muslim. Jika polarisasi kembali terulang sebagaimana Pemilu sebelumnya, maka stabilitas nasional pasti terganggu. Mungkin chaos memang tidak akan terjadi. Tapi yang jelas, negara ini akan terhambat untuk maju. Pasti.

Ada sejumlah faktor mengapa polarisasi umat Islam di negara ini sangat rentan. Kondisi sosial-ekonomi seperti merebaknya oligarki, geopolitik dan konflik internasional seperti penjajahan Israel atas Palestina, pendidikan dan kurikulum keagamaan yang eksklusif, dan identitas etnik-kultural boleh jadi menjadi pemicu perpecahan. Namun, selain empat factor tersebut, ada tiga hal lainnya yang paling memengaruhi polarisasi.

Pertama, perbedaan tafsir atas nas-nas utama: Al-Qur’an dan hadis. Umat Islam memiliki berbagai tradisi dan diskursus pemikiran, seperti Sunni, Syiah, Wahabi, dan lain-lain. Perbedaan dalam penafsiran Al-Qur’an dan hadis menjadi sumber konflik ketika dilandasi oleh tafsir tekstual. Maka tidak heran, sekalipun kitab sucinya sama, kelompoknya beragam. Dan masing-masing mengklaim kebenaran sembari memusuhi yang berbeda.

Namun sekali lagi, perbedaan penafsiran tersebut mempolarisasi umat hanya jika dibarengi dengan sikap agresif menyerang keragaman. Jika tidak dibumbui agresivitas, perbedaan tak jadi biang masalah dan menjadi pluralitas belaka. Kedua, politik kekuasaan. Para politikus yang menggunakan Islam untuk memperkuat basis kekuasaan mereka adalah biang keladi polarisasi umat Muslim. Ini yang selalu terjadi setiap Pemilu.

Ketiga, propaganda media sosial. Sebagai platform yang dapat memengaruhi opini public, media sosial kerap dijadikan sarana propaganda. Sebagai contoh, untuk menguatkan kelompok A dan mendiskreditkan kelompok B. Propaganda-propaganda tersebut memperkuat pandangan ekstrem dan memisahkan kelompok-kelompok dalam masyarakat. Polarisasi akibat media sosial ini sering terjadi.

Butterfly Effect Demokrasi?

Dalam sistem monarki, cukup raja yang adil dan bijak untuk membuat negara jadi maju dan berjaya. Namun dalam sistem demokrasi, keadilan dan kebijakan menjadi koleksi umum yang bisa dimanipulasi siapa saja. Demikian karena dalam demokrasi, kendali penuhnya ada di pengelola sistem itu sendiri, yang dalam hal ialah pejabat pemerintah. Sebagai contoh, di negara demokrasi, konstitusi bisa diubah kapan saja demi kepentingan tertentu.

Namun demikian, monarki bukanlah sistem yang cocok untuk Indonesia yang luas dan plural ini. Artinya, meminjam istilahnya Syafii Maarif, demokrasi menjadi pilihan terbaik di antara pilihan-pilihan yang buruk. Jika negara ini monarki, efeknya juga akan lebih parah daripada demokrasi. Banyak daerah akan memisahkan diri. Untuk Indonesia, demokrasi memang pilihan yang tepat. Namun, demokrasi seperti apa yang dimaksud?

BACA JUGA  Mega Korupsi: Penghalang Indonesia Maju, Pemantik Terorisme

Dalam suatu forum, Syafii Maarif pernah menyinggung bahwa peradaban politik kita rendah dan kumuh. Terlalu banyak dusta dan kepentingan pragmatisme elite politik. Politik menjadi ajang kompetisi kepentingan yang sempit dari kelompok-kelompok politik. Politik tidak lagi ditujukan untuk mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan seluruh rakyat sebagaimana dicita-citakan para pendiri NKRI. Pertanyaannya, mengapa ini bisa terjadi?

Agaknya tepat kalau itu disebut sebagai butterfly effect demokrasi. Dalam sistem yang demokratis, keadilan adalah cita ideal. Namun dalam perspektif yang berbeda, ruang demokratis memantik manipulasi hukum, ekonomi, dan politik. Yang terakhir ini kemudian berujung pada kekacauan sistem, lalu berakhir dengan perpecahan umat. Kekacauan sederhana yang berbuntut kekacauan setelahnya, dan seterusnya.

Butterfly effect sendiri merupakan teori kekacauan ala Edward Norton Lorenz, yang mempersepsikan kekacauan sebagai kelakuan stokastik dari sistem yang deterministik. Sistem yang deterministik: sederhana, bila ditumpuk-tumpuk akan menjadi sistem yang stokastik: rumit. Ibarat kepakan sayap kupu-kupu yang sebabkan badai tornado, manipulasi demokrasi berujung polarisasi umat. Muslim, dalam hal ini.

Masa Depan Umat

Dengan demikian, demokrasi harus dikembalikan ke cita-cita idealnya. Kepemimpinan yang berkualitas, partisipasi warga, keadilan sosial, sistem hukum yang tidak diintervensi, kebebasan media dan informasi, sistem perlindungan sosial, pengawasan terhadap kekuasaan, kemajuan ekonomi dan pembangunan, serta kerukunan sosial dan toleransi adalah hal-hal yang dirindukan di tengah ancaman polarisasi.

Umat Islam di negara ini, sebagai mayoritas, mesti memiliki kesadaran akan persatuan. Tidak ada yang diuntungkan dalam polarisasi—ruginya terbagi rata. Perbedaan pilihan politik tidak perlu disikapi dengan perpecahan, toh yang kaya raya pasca-Pemilu adalah para politikus itu sendiri. Umat Islam hanya komoditas suara, sementara pejabat dan politisi adalah orang yang minta menyingkir pakai strobo ketika nyalip di jalan raya.

Umat Islam di Indonesia mesti memelopori kemajuan, bukan menjadi aktor polarisasi setiap lima tahunan. Berkiprah dalam sains dan teknologi, misalnya. Masalah-masalah yang akan berujung polarisasi mesti dihindari bersama. SDM harus unggul, sehingga “Indonesia Maju” tidak hanya menjadi slogan belaka. Bagaimana negara ini akan mencapai kemajuan jika umat terpecah, bukankah marwah Islam ikut tercemar?

Sosial, politik, dan hukum, sudah ada relnya masing-masing. Umat Muslim tinggal mengikuti acuan. Begitu juga para politikus, harus tahu diri, sadar diri, harus bijak, dan amanah. Melakukan berbagai intrik memecah umat demi politik elektoral adalah ide buruk. Sebagai pihak yang mengemban tugas mengelola negara, para politisi harus bergerak untuk keadilan dan kesejahteraan nasional, bukan mengulang preseden buruk perpecahan umat Isam.

Wallahu A’lam bi ash-Shawb…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru