32.1 C
Jakarta

Memaknai Secara Reflektif tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Artikel Trending

KhazanahTelaahMemaknai Secara Reflektif tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com-Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Kebebasan beragama dan menganut kepercayaan juga diatur dalam Pasal 22 UU HAM yang berbunyi: Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan ini menjadi landasan bangsa Indonesia untuk saling menghargai pilihan keyakinan yang terdapat diri. Artinya, kita tidak bisa memaksa orang lain untuk memeluk agama sama seperti yang kita yakini.

Kebebasan yang dimaksud, tentu harus dipahami secara reflektif dengan tidak menganggu pemeluk agama lain. Dalam konteks menjalankan agama, kita perlu mengetahui dua hal: pertama, internum. Ruang ini adalah ruang pribadi yang dimiliki oleh manusia dengan Tuhan karena manusia lain tidak bisa mengetahui keyakinan sebenarnya dalam diri. Artinya, pilihan untuk menjadi ateis, agnostik, atau bahkan berpindah agama setiap hari, sesuai dengan jalan pikiran, adalah kebebasan hakiki yang tidak bisa ditentang oleh orang lain.

Kedua, eksternum. Ruang ini adalah ruang sosial yang berhubungan dengan orang lain. Salah satu praktik sederhana dalam konteks eksternum adalah menghargai orang yang melakukan ibadah berdasarkan keyakinan yang dipilih. Seperti beribadah di masjid, gereja, menghargai pembangunan rumah ibadah pemeluk agama lain, dll. Namun, penghargaan ini tidak boleh menganggu orang lain, seperti: melaksanakan sholat di tengah jalan. Praktik ibadah tersebut mengganggu ketertiban umum yang harus dipatuhi oleh masyarakat.

Dalam konteks eksternum, tidak semua umat beragama menyadari bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan ini, menyadari secara kompleks bahwa ada hal lain yang perlu dipahami, seperti hak orang lain yang tidak boleh dirusak, ataupun menghargai keberadaan agama lain yang diyakini tidak sesuai dengan ajaran yang dianutnya.

Berbagai peristiwa yang terjadi seperti: ujaran kebencian atas nama agama, persekusi dan kekerasan, serta pelarangan kegiatan suatu agama, memperlihatkan bahwa tindakan intoleransi dan pelanggaran beragama masih terus terjadi. Dalam konteks hukum, masalah semacam ini kerapkali memberikan dampak negatif terhadap minoritas karena dalam persoalan suara dan dukungan, serta opini publik, menyudutkan para minor yang tidak memiliki kuasa untuk mendapatkan keadilan dari sosial. Salah satu kasus yang pernah fenomenal adalah kelompok Syi’ah di Sampang yang mendapatkan pengusiran oleh masyarakat setempat.

BACA JUGA  Hari Santri: Memperkuat Nasionalisme di Kalangan Kaum Pesantren

Selama bertahun-tahun, kelompok Syi’ah tinggal di penampungan. Solusi akhir dari permasalahan tersebut, justru mereka harus berbai’at kepada NU agar bisa diterima oleh masyarakat dan bisa kembali. Pergolakan semacam ini perlu disadari oleh kita semua bahwa, pemerintah memiliki peran besar untuk menyelesaikan ketegangan sosial. Tugas pemerintah bukan untuk menolak kebenaran suatu paham agama yang dianut oleh masyarakat. Namun, melindungi hak rakyat yang memiliki kebebasan untuk memilih agama dan keyakinannya.

Peristiwa lain yang serupa terjadi di Medan. Ibadah Minggu di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Jemaat Filadelfia di Jalan Permasai 4, Blok 8, Griya Martubung, No.31, Kelurahan Besar, Kecamatan Medan Labuhan, Kota Medan, Sumatera Utara diwarnai kericuhan. Sekelompok warga datang pada lokasi tersebut menyerang masyarakat yang beribadah. Penyerangan ini adalah bagian dari tindakan yang bertentangan dengan perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan karena tidak menghargai kelompok agama yang lain.

Toleransi adalah Landasan Kehidupan Beragama

Landasan kehidupan beragama adalah toleransi. Serangkaian peristiwa yang dipaparkan sebelumnya, menunjukkan adanya sikap toleransi yang begitu rendah dalam masyarakat. Sikap religius yang dimiliki oleh seseorang seharusnya sejalan dengan sikap toleran kepada pemeluk agama lain. Praktik toleransi yang dimaksud tidak hanya tentang menghargai perbedaan. Akan tetapi juga ada sikap inklusif (menyertakan). Artinya, ketika memahami perbedaan, seseorang seharusnya belajar dari kesamaan yang universal demi tujuan lebih besar. Sikap ini sangat berguna memberikan rasa aman dan nyaman kepada orang yang memiliki perbedaan. Dari sinilah orang lain yang akan merasa aman dan tidak merasa terpinggirkan ketika menjadi minoritas. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru