27 C
Jakarta

Potensi Ujaran Kebencian Menuju Pilpres 2024

Artikel Trending

KhazanahTelaahPotensi Ujaran Kebencian Menuju Pilpres 2024
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Kenyataan tentang keputusan Cawapres pada masing-masing Capres, satu persatu sudah diumumkan. Fakta bahwa politik adalah sebuah ruang yang cukup licin, dan tidak mudah ditebak, merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan sosial. Setelah diumumkannya Cak Imin (Muhaimin Iskandar), Ketua Umum Partai PKB, ada banyak kemungkinan yang bisa ditebak dalam kehidupan sosial, termasuk potensi ujaran kebencian yang mengarah pada perpecahan bangsa Indonesia.

Momentum 5 tahunan untuk memilih pemimpin, baik pemimpin negara maupun daerah, menjadi salah satu pesta rakyat yang tidak hanya dimaknai sebagai pemilihan saja. Masyarakat perlu diberikan pemahaman bahwa, Pemilu bukan sekedar memilih dan dipilih. Akan tetapi juga berkaitan dengan harapan untuk Indonesia di masa yang akan datang. Adanya pendidikan politik, diharapkan tidak menjadi kegiatan seremonial saja.  Justru menjadi ruang bagi masyarakat dari akar rumput untuk lebih reflektif memaknai Pemilu.

Berkenaan dengan kondisi politik di Indonesia beberapa waktu belakangan ini, salah satu masalah yang bisa dilihat adalah potensi ujaran kebencian. Politik identitas menjadi suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari oleh para politisi yang memiliki kepentingan untuk merebut suara rakyat. Sementara mereka adalah kelompok yang paling diuntungkan karena memperoleh suara agar mampu menjadi pemimpin. Masyarakat biasa, rakyat awam, jika ikut campur dalam rasa dendam, amarah terhadap suatu politisi, akan berdampak keberlanjutan terhadap kehidupan sosial.

Secara sederhana, sebagai masyarakat kita tidak perlu saling sikut, ikut berperang bahkan saling bermusuhan hanya untuk urusan politik. Kalau kata Gus Dur, ada yang lebih penting dari politik yakni kemanusiaan. Jangan sampai, urusan politik menciderai kemanusiaan dengan perilaku pertengkaran, diskriminasi, perundungan, hingga saling konflik antar kelompok.

Apakah ini Tugas Rakyat?

Sebagai masyarakat yang bukan bagian dari kelompok terjun langsung dalam dunia politik praktis, kehadiran kita sangat penting karena suara yang diberikan menentukan nasib bangsa yang akan datang. Maka atas nama loyalitas kepada seorang figur, ataupun kecintaan terhadap suatu bendera, jangan sampai menciptakan segregasi antar kelompok.

Potensi ujaran kebencian yang diciptakan oleh antar kelompok karena perbedaan pilihan politik, merasa dikhianati ataupun dicurangi dalam dunia politik Indonesia, akan mengantarkan kita pada rasa saling membenci satu sama lain. Masalah ini adalah musuh kebangsaan yang harus dilawan agar bangsa tetap utuh dan tidak terpecah belah.

BACA JUGA  Idulfitri: Rajut Silaturahmi dengan Sikap Toleran Antarumat Beragama

Kesadaran masyarakat untuk tidak menjadikan Pemilu sebagai ajang pemilihan semata, harus dibudayakan oleh kaum elit politik untuk memaknai Pemilu itu sendiri. Para pelaku politik perlu menanamkan dan memberi contoh budaya demokrasi yang baik kepada masyarakat. Ujaran kebencian, hoax, kampanye negatif untuk menyerang pihak tertentu, perlu dijauhi oleh para elit politik sebagai ruang pendidikan politik untuk masyarakat.

Elit politik perlu menanamkan budaya demokrasi yang berintegritas untuk menciptakan bangsa yang baik. Kelompok elit politik yang menjatuhkan lawan, menebar kebencian, menjatuhkan lawan politik dan menjadi provokator agar masyarakat bersuara untuk mendukung perpecahan, perlu dijauhi oleh masyarakat. Kesadaran ini yang perlu kita tanam sebagai masyarakat.

Menciptakan demokrasi yang berkualitas, perlu kerja sama kolektif antara masyarakat dengan kelompok elit politik sendiri. Kedua unsur ini sangat penting dalam dinamika demokrasi yang ada di Indonesia. Upaya yang paling bisa kita lakukan saat ini adalah jangan mudah terprovokasi oleh narasi yang menyudutkan dan menjelekkan suatu kelompok. Apalagi ketika membawa nama agama, suku, ras dan budaya. Kita perlu belajar untuk menahan diri agar tidak ikut memberikan komentar terhadap suatu isu yang sedang viral, dan berpotensi merusak persatuan dan kesatuan. Cukuplah menjadi pendengar dari setiap informasi yang dihadirkan oleh media sosial atau media massa.

Sebab dalam suatu persoalan yang tersebar di media sosial ataupun media massa, kita tidak tahu persis perkara yang sebenarnya terjadi. Melihat dan memahami dari berbagai narasi yang ditampilkan oleh berbagai kanal, tidak masalah. Upaya itu bisa diartikan sebagai bagian dari pendidikan politik. Namun, turut memberikan komentar buruk yang bisa menciptakan perpecahan, sebaiknya tidak perlu dilakukan. Jangan sampai bangsa ini rusak hanya karena perbedaan pilihan politik atau hanya karena momentum 5 tahunan. Sebagai bangsa yang besar, sudah saatnya kita perlu kritis dan cerdas menyikapi Pemilu yang akan datang. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru