32.5 C
Jakarta

Cara Nalar Kritis-Humanis Pemuda Menangkal Terorisme

Artikel Trending

KhazanahOpiniCara Nalar Kritis-Humanis Pemuda Menangkal Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Masyarakat global kerap kali digetarkan oleh ancaman terorisme maupun radikalisme, terutama menjelang Natal ini. Selain dengan trik yang lihai dalam dunia digital, mereka juga sangat cerdik dalam merogoh lingkungan sosial, terlebih anak muda. 

Mereka menumpahruahkan protes anarkis yang membuat nilai kemanusiaan terkikis. Apalagi aksi pembelokan norma agama yang semula ramah menjadi wajah suram mengerikan. Hal tersebut sangat memudarkan Islam rahmatan lil ‘alamin yang diajarkan Nabi Saw. Di lingkup Indonesia khususnya, hal tersebut sangatlah mengubur nilai keragaman yang bernafaskan Bhineka Tunggal Ika. 

Kita perlu kembali meruncingkan nalar kritis yang telah lama tumpul karena keengganan. Kemalasan turut andil dan ketidakcakapan bahayanya aksi radikalisme dan terorisme.

Analoginya, membludaknya konten, narasi, informasi dan celah digital itu sebagai makanan keseharian kita. Jika kita sebagai umat Nabi Saw tidak bernalar kritis, tentu akan menyantap semua makanan itu tanpa memandang suguhan itu bernutrisi atau malah beracun. 

Nalar kritis berfungsi sebagai filter yang memilah berbagai pasokan makanan itu layak atau tidaknya dikonsumsi. Dengan meniadakan nalar kritis sama halnya kita membuka mulut lebar untuk ajaran mereka. Tentunya mereka akan merasa disambut dengan kehangatan.

Pemanfaatan akal kritis sebagai penunjang sekaligus penyempurnaan ciptaan diantara hewan lainnya adalah suatu keniscayaan. Hal yang tidak boleh kita lupa bahwasannya nalar kritis dapat membantu manusia menemukan kebenaran.

Jika kita dengan mudahnya mengambil mentah-mentah berbagai informasi tanpa melihat efek negatifnya, tentu kita mudah terjangkit radikalisme dan terorisme. 

Banyak ulama, cendekiawan dan tokoh-tokoh publik yang hadir di tengah-tengah masyarakat. Salah satunya membebaskan dirinya atau kalangannya dari belenggu intoleransi. Sebagai umat Nabi Saw, kita selalu diajarkan untuk menjunjung tinggi nilai kemanusiaan sebagai bentuk agama yang ramah tanpa marah. 

Nilai-nilai kemanusiaan yang telah dibangun, layaknya kita lestarikan sampai akhir hayat. Semakin tinggi intelektualitas seseorang, semakin tinggi pula nalar kritis dan nilai kemanusiaannya. Karena ia memiliki pemahaman agama yang dalam. Ia menyadari hakikat Islam bukanlah agama yang kaku dan memaksa, melainkan agama yang mengalirkan keteduhan bagi pemeluknya. 

Bahkan kanjeng Nabi Saw saja tidak pernah membeda-bedakan umatnya. Semua tampak istimewa di hadapan beliau. Beliau sebagai manusia pilihan dituntun Allah agar selalu meluhurkan nilai kemanusiaan.

Di samping itu, dalam menapaki dakwah, beliau tidak hanya bertumpu pada metode dakwah dengan ceramah semata. Beliau juga menggunakan metode dialog dan diskusi. Di sinilah beliau mengajari kita untuk saling berpikir kritis menuangkan ide dan aktif mencari solusi dalam setiap problematika. 

BACA JUGA  Rekonsiliasi Pasca-Pemilu: Jalan Menjaga Solidaritas Kebangsaan

Dalam kancah keilmuan atau melihat realitas sosial, diskusi ataupun musyawarah juga dapat merangsang anak muda turut andil dalam mengeluarkan pendapat dan nalar kritisnya untuk menemukan solusi yang bertumpu pada kebenaran. Tentunya hal ini dibarengi dengan intelektual, emosional, dan spiritual.

Salah satu tokoh bangsa yang sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan adalah Abdur Rahman Wahid, alias Gus Dur. Tidak heran jika ia dijuluki bapak pluralisme. Sikap mengayomi tanpa pandang bulu, memberi keteduhan tanpa pilih-pilih dan dapat merangkul semua jenis keragamanan.

Bahkan kaum minoritas saja sangat diperhatikan olehnya agar kaum termajinalkan bisa hidup berdampingan dengan masyarakat lainnya.

Selain itu, Gus Dur juga mempunyai nalar kritis yang tinggi. Salah satu pernyataannya yang tertuang dalam arsip yang ditulis pada 1986. Ia menyatakan bahwa wajah kegiatan pemuda Muslim masih sangat berwatak sektarian.

Mereka masih belum bisa melepaskan diri dari “kelompok belitan”, artinya masih belum menemukan “wajah Indonesia” sebagai identitas mereka. Dengan kata lain, kegiatan baru mereka terasa positif bagi kaum Muslim belaka, dan belum terintegrasi ke dalam kegiatan bangsa secara penuh.

Dengan demikian, dapat kita lihat bahwa Gus Dur merasa adanya penyempitan solidaritas yang menjadi efek adanya wawasan yang sempit serta orientasi partikularistis yang tentunya belum bisa mengintegrasikan keagamaan dan kebangsaan. Masih masif dalam jangkauan kepentingan Muslim semata, belum merambah kepentingan bersama untuk kebangsaan. 

Contoh lain, nalar kritis BJ Habibie yang mencengangkan. Ia sempat ditawarkan untuk memberdayakan diri di negara asing tempat, ia belajar dengan jaminan yang luar biasa. Namun dengan nalar kritisnya, ia memilih untuk menuangkan segala kepiawaiannya demi tanah air tercinta. 

Suguhan-suguhan luar biasa tidaklah menjadikan BJ Habibi takluk. Keruncingan nalar pikir menjadikannya bijak dalam memutuskan sesuatu. Di samping itu, ia senantiasa meluhurkan nilai kemanusiaannya untuk orang-orang tercinta yang telah menanti, yaitu keluarganya dan seluruh rakyat Indonesia. 

Masih banyak lagi tokoh-tokoh moderat lain yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Mereka juga menggunakan nalar kritisnya untuk memilah hal yang maslahat dan manfaat untuk diambil, dan hal yang mudarat untuk ditolak. 

Di tengah krisis nalar kritis kita menjaring suguhan digital, harusnya kita sebagai anak muda pengguna gadget terbanyak sama-sama menyadari. Jika semakin hari, kelompok teroris dan radikalis semakin lihai memainkan taktik dalam dunia digital maupun dunia sosial masyarakat.

Maka sudah seharusnya kita semakin meruncingkan nalar kritis dan meluhurkan nilai kemanusiaan. Demikian gar virus-virus negatif radikal-terorisme tidak bersemai dan berkembsang biak. Pemuda haram jadi teroris.

Hidayatun Qudsiyah
Hidayatun Qudsiyah
Alumni pesantren yang hobi nulis, bukan sastrawan namun pencinta sastra. Penikmat gemercik air.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru