27.2 C
Jakarta

Apakah Dakwah Harus Mengislamkan non-Muslim?

Artikel Trending

KhazanahOpiniApakah Dakwah Harus Mengislamkan non-Muslim?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Agama senantiasa memuat suatu ajakan untuk mengikuti atau masuk dalam komunitas ideologi yang dianutnya. Secara beriringan hal tersebut juga membuahkan benih superioritas atas paham yang dianutnya. Agama, selain didaku sebagai kepercayaan atau keyakinan juga menyimpan identitas sebagai ideologi yang di dalamnya memiliki visi tertentu.

Pada era tak terbatas ini yang dicirikan dengan leburnya batas-batas agama mengimplisitkan pengertian bahwa terdapat keyakinan lain yang hidup beriringan. Namun, setiap agama memiliki klaim kebenaran yang secara tidak langsung menumbuhkan keinginan untuk mewujudkan masyarakat yang homogen—satu iman.

Akan tetapi, upaya pewujudan masyarakat ‘satu iman’ itu tampaknya bernada kontradiktif dengan hukum alam atau sunatullah yang menjaga keselarasan melalui keragaman; pluralitas. Umat Islam secara umum menganggap dakwah adalah upaya untuk mengislamkan non-Muslim. Tentu upaya tersebut dilakukan dengan cara yang begitu beragam dan pada akhirnya tak mengherankan jika terjadi banyak konflik, permusuhan, pembunuhan, bahkan peperangan. 

Untungnya, dalam sejarah, dakwah di Indonesia berjalan dengan damai dan cerdas (A. Hasjmy, 1981). Pasalnya, Walisongo melakukan dakwah dengan tanpa menafikan kultur lokal setempat. Justru lokalitas tersebut digunakan sebagai senjata Walisongo untuk mengenalkan Islam di tanah Jawa.

Namun seiring dengan perkembangan zaman, umat Islam di Indonesia tidak hanya dihadapkan melulu berbicara seputar islamisasi. Persoalan pelik seperti kebangsaan, perdamaian, kemiskinan, moralitas, dan pendidikan perlu diselesaikan dengan baik.

Dakwah Komprehensif-Kontekstual

Secara etimologi, dakwah berasal dari bahasa arab yang dikembangkan dari kata da’a-yad’u-da’watan yang berarti mengundang, mengajak, memanggil, dan memohon. Mufasir kontemporer Indonesia, Quraish Shihab menyebut dakwah sebagai ajakan atau seruan kepada keinsyafan atau upaya mengubah keadaan menuju lebih baik dan sempurna, baik secara pribadi maupun masyarakat (Quraish Shihab, 1992). Namun, jika diperhatikan dalam nas Al-Qur’an tidak ditemukan ayat yang berbicara tentang perintah dakwah atau mengajak orang untuk memeluk agama Islam (Muttaqin, 2020).

Sebut saja surah al-Nahl ayat 125 yang memerintahkan seruan kepada jalan Tuhan (sabīl Rabb), bukan kepada agama Islam. Namun, kebanyakan umat Islam dan para mufasir memaknai jalan Tuhan adalah Islam. Begitu pula surah al-Anam ayat 161 yang berisi seruan Tuhan kepada ‘agama yang lurus’ dengan menggunakan kata shirāt. Pun, kata shirāt dalam penggalan ayat 6 surah al-Fatihah juga memiliki makna serupa.

Banyak cendekiawan Muslim yang berusaha memosisikan dakwah secara lebih kontekstual, khusus pada persoalan sosial-kemasyarakatan. Dalam hal ini, sebut saja Kuntowijoyo dengan melakukan penafsiran ulang pada surah Ali Imron ayat 110 tentang amar makruf nahi mungkar. Ia berupaya merumuskan dakwah sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas hidup manusia melalui konsepsi ilmu sosial profetik.

BACA JUGA  Isra Mi’raj: Antara Etika dan Spiritualitas

Ilmu sosial profetik lahir dari rahim ilmu sosial transformatif yang mana tidak hanya fokus pada perubahan sosial saja namun juga mengemban visi transformasi secara jelas arah mana yang akan dituju. Maka dari itu, ilmu sosial profetik sarat dengan nilai cita-cita etik dan profetik (Kuntowijoyo, 1991). Terdapat empat irisan dalam konsepsi yang dibangun Kuntowijoyo: humanisasi, emansipasi, liberasi, dan transendensi. Dari keempatnya, irisan terakhir yang membedakannya dengan ilmu sosial tranformasi pada umumnya.

Secara lebih lanjut, Kuntowijoyo menjelaskan bahwa humanisasi tersebut perlu diupayakan karena saat ini telah mengalami krisis kemanusiaan. Kebanyakan manusia ditempa pada kehidupan industrial yang juga jatuh pada mekanisme politik dan ekonomi. Sedangkan liberasi ialah upaya pembebasan manusia dari kemiskinan, eksploitasi, dan belenggu kekejaman lainnya.

Sementara itu transendensi, bagi Kuntowijoyo merupakan tawaran baru yang diaplikasikan pada dimensi kebudayaan. Manusia saat ini jatuh pada perangkat materialisme dan hedonisme secara umum. Hal ini dirasa penting karena umat manusia perlu kembali pada fitrah yang terhubung dengan-Nya. Manusia perlu untuk lepas dari ruang dan waktu ketika bersentuhan dengan kebesaran Tuhan.

Keempat irisan tersebut merupakan suatu upaya pembangunan kualitas manusia melalui emansipasi. Pembebasan dan transendensi yang notabene merupakan penyebarluasan atas rahmat Tuhan seperti halnya penegasan bahwa Islam merupakan rahmatan lil alamin.

Benang merahnya ialah, seperti yang ditegaskan Kuntowijoyo melalui konsepsi amar makruf nahi mungkar. Sehingga esensi dakwah termaktub dalam konsepsi tersebut. Tidak melulu pemaksaan untuk memeluk Islam, namun melalui penyebaran rahmat yang diwujudkan dalam empat irisan tersebut.

Spirit dakwah sangat perlu untuk memengaruhi beragam lapisan seperti masyarakat, negara, dan bangsa guna memenuhi cita-cita bersama yang termaktub dalam transendensi-profetik Kuntowijoyo. Dengan lini kehidupan yang semakin kompleks wacana-wacana tabu yang berbau kemanusiaan seperti kesetaraan gender, hak asasi manusia, hak-hak minoritas, kaum-kaum tertindas perlu diangkat dan dijadikan tujuan dari dakwah.

Upaya ini tentunya perlu untuk memosisikan teologi Islam menuju teologi kritis yang memiliki kecenderungan sosiologi dan antropologis dalam memahami wahyu. Insitusi-institusi Islam seperti masjid, musala, dan langgar selayaknya menjadi agen dan roda penggerak yang mampu mengubah paradigma masyarakat ke arah yang lebih baik. Jadi, kembali ke judul, apakah dakwah harus mengislamkan non-Muslim? Jawabannya: tidak sama sekali. Wallahu a’lam.

Satrio Dwi Haryono
Satrio Dwi Haryono
Pegiat Komunitas Dianoia. Minat pada kajian kefilsafatan, keislaman, dan kebudayaan.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru