27.5 C
Jakarta

Agama Kerap Jadi Dalang Ekstremisme, Mengapa?

Artikel Trending

KhazanahOpiniAgama Kerap Jadi Dalang Ekstremisme, Mengapa?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – “Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan” begitulah jawaban orang-orang untuk menjadi penenang bilamana terdapat ekstremisme mengatasnamakan agama yang dilakukan oleh mereka yang mengaku beragama. Dengan kata lain untuk mengindari kemungkinan labelisasi agama tertentu sebagai agama yang melanggengkan kekerasan.

Sebenarnya pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar namun tidak  juga dapat disebut salah. Hanya saja membayangkan agama tanpa kekerasan seperti halnya mengandaikan kehidupan tanpa kekerasan. Kalau mau jujur, sebenarnya adakah agama yang bisa lepas dari ekstremisme? Jawabannya tidak ada. Bahkan Karen Amstrong dalam bukunya Fields of Blood: Religion and the History of Violence (2015) menyebut secara tegas bahwa agama apapun tidak dapat lepas dari kekerasan dan kesemuanya bersentuhan.

Untuk menelaah bagaimana ilustrasi logika keagamaan yang digunakan oleh sejumlah pelaku teror dengan latar belakang berbagai agama; seperti Islam, Kristen, Sikh, dan Yahudi bisa anda lihat dalam karya yang ditulis Mark Jurgenmeyer yang berjudul Teror in The Mind of God (2000)

Dari literatur lain misalnya, Jay Lifton, “Destroying the World to Save It” juga memberi gambaran yang cukup rinci tentang proses pembentukan pemikiran berlandaskan agama yang mendorong tokoh aliran agama di Jepang, Aum Shinrikyo, melakukan aksi kekerasan dengan melemparkan gas beracun di kereta bawah tanah di Jepang.

Dalam konteks agama Hindu dan Buddha, beberapa contoh buku yang dapat memberi ilustrasi penggunaan logika keagamaan untuk kekerasan adalah Bartholoeusx,  In Defense of Dharma (2002), Bruce Kaferrer, Legends of People, Myths of State (1988), tentang praktik kekerasan penganut Buddha di Sri Lanka, Danield Gold, Organised Hinduism (2011), dan Laurence Tamatea, Ajeg Bali Discourse, tentang militansi penganut Hindu di India dan Bali. (Muhammad Iqbal Ahnaf, 2016: 95).

Diakui atau tidak, agama Budha yang disebut-sebut mengidealkan keseimbangan kosmis juga turut terlibat, Kristen yang mengedepankan cinta kasih juga sama, begitu pula Islam yang mengidealkan keadilan, kesemuanya pernah mengalami peristiwa berdarah-darah. Bahkan agama samawi (monoteis) menorehkan tinta sejarah sebagai agama yang jauh lebih berdarah-darah dibanding agama-agama non-monoteis.

Ekstremisme dan agama seolah menjadi dua kutub yang berbeda dan tapi saling berkaitan. Untuk meneropong keterlibatan agama dalam bingkai kekerasan, paling tidak ada lima faktor yang melatarbelakanginya (Nur Ichwan: 2018, xv-xvii); pertama, terdapat doktrin tentang pengorbanan. Ajaran ini meniscayakan akan adanya pengorbanan sebagai bukti iman kepada Tuhan dan kecintaan terhadap-Nya.

Contoh terbaik dipetik dari pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail—dalam konteks Kristen, yakni Ishak. Secara tidak langsung hal tersebut sedikit menggambarkan bahwa ada ekstremitas yang dianjurkan agama, meskipun Tuhan menggantinya dengan domba. Hal ini kemudian menjadikan pengorbanan hewan (qurban) menjadi kekerasan yang sakral.

Kedua, agama selalu mengasumsikan logika baik-buruk dan logika benar-salah. Dengan kata lain menempatkan yang religius dalam baris kebaikan dan kebenaran, sementara yang non-religius acapkali disebut sebagai keburukan dan kesalahan.

Kalau dalam bahasa Prof. Aksin Wijaya hal tersebut terjadi lantaran cara mereka “menalar Islam” dan “nalar keislaman” yang mengideologi. Atau bilamana “cara menalar Islam” itu sebagai metode untuk memahami Islam dengan benar, maka “nalar keislaman yang  mengideologi” membuat mereka meyakini bahwa apa yang mereka anutlah satu-satunya cara memahami Islam yang paling benar. (Aksin Wijaya: 2018, 2) Sehingga tidak menutup kemungkinan menilai mereka yang berseberang paham akan mendapat justifikasi salah.

BACA JUGA  Radikal-Terorisme Sasar Medsos, Akankah Kita Diam Saja?

Logika hitam putih ini turut serta mewarnai melahirkan kekerasan epistemik yang lambat laun akan berbuah menjadi kekerasan fisik. Diakui atau tidak, itu menjelma sistem ortodoksi yang mengklaim kebenaran pemahaman sepihak yang menganggap interpretasi mainstream sebagai yang paling benar dan menegasikan penafsiran dan pemahaman minoritas yang sudah pasti salah. Dari situ muncullah sekte-sekte dan lembaga fatwa yang menilai pemahaman keagamaan di luar golongan mereka sebagai menyimpang dan sesat, bahkan halal darahnya.

Ketiga, Misi dakwah dan ekspansi agama yang terkadang menempuh jalur kekerasan. Saat Hindu dan Budha menjadi agama negara di sejumlah negara di Asia. Ia tidak lepas dari kekerasan dalam penyebarannya. Begitupun Kristen saat bergandeng erat dengan kekuasaan Romawi/Bizantium, ekspansi agama berjalan seiring dengan ekspansi negara. Dengan kata lain ekspansi negara (politik) dimotivasi keinginan menyebarkan dakwah agama ke daerah-daerah lain. Ekspansi Kristen, baik Katolik maupun Protestan, sejalan dengan spirit kolonialisme yang terjadi di abad 18-20.

Termasuk juga Islam tanpa pengecualian. Hal ini disampaikan oleh seorang sejarawan De Lacy O’leary dalam karyanya Islam at the Cross Road: A Brief Survey of the Present Position and Problems of the World of Islam menjelaskan bahwa Islam telah menjelajahi seluruh dunia dan memaksakan agama Islam dengan pedang. Bahkan hingga saat ini negara yang melabelkan dirinya sebagai negara Islam tidak kunjung henti melakukan peperangan. Lihat bagaimana Suriah, Taliban, Afganistan, dan beberapa negara mendaku dirinya sebagai negara Islam begitu dekat dengan konflik yang berkepanjangan.

Keempat, memandang kitab suci yang secara eksplisit maupun implisit mengandung narasi yang membolehkan dan menganjurkan, bahkan mewajibkan kekerasan. Mereka menggunakan Alquran dan Hadis yang bernada keras seperti ayat-ayat jihad, qital, dan nahi mungkar dengan menafsirkannya secara tekstual. Hal ini juga disokong oleh ragam pemahaman keagamaan yang saling berseberangan. Bila saja sudah terjadi pertentangan menurut Syahrur, maka digunakanlah teori nasakh untuk mengatasinya.

Contoh kecilnya seperti ayat yang berbunyi “tidak ada paksaan dalam agama” (QS. Al-Baqarah: 256) telah di-nasakh oleh al-Taubah: 73 “bersikap keras terhadap orang kafir dan munafik”; ayat yang menyerukan “seruan untuk bersabar” (QS. al-Kahfi: 28) telah dinasakh al-Taubah: 29 “seruan berperang melawan orang kafir”; dan anjuran untuk “berdakwah dengan hikmah dan pelajaran yang baik” (QS. al-Nahl: 125) dinasakh oleh al-Taubah: 5 “perintah berperang melawan orang musyrik” (Syahrur: 2018, 59).

Sehingga peperangan yang semula bersifat historis dan sosiologis dijustifikasi secara teologis sebagai jihad fi sabilillah yang nantinya akan beroleh surga sebagai ganjarannya.

Kelima, hampir selalu ada orang beragama dalam agama tertentu yang berpaham radikal, yang memperkenankan penggunaan kekerasan, baik secara individual maupun komunal. Betapa pun jumlah partisipan penganut ajaran radikal ini sedikit, tapi mereka menguasai panggung wacana lantaran kegaduhan yang didendangkannya.

Begitu pula kaum teroris adalah mereka yang bukan hanya radikal secara pemikiran, tapi juga gestur serta tindakannya. Dan menjadikan agama sebagai alat justifikasi keabsahan kekerasan yang dilakukan. Melakukan bom bunuh diri berarti melaksanakan ritual pengantin untuk menjemput bidadari sebagai pendamping di surga untuknya kelak.

Ali Yazid Hamdani
Ali Yazid Hamdani
Mukim di Yogyakarta, Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru