31.9 C
Jakarta

Radikal-Terorisme Sasar Medsos, Akankah Kita Diam Saja?

Artikel Trending

KhazanahOpiniRadikal-Terorisme Sasar Medsos, Akankah Kita Diam Saja?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Tumbangnya Orde Baru menjadi titik awal tumbuhnya demokrasi. Demokrasi yang ditandai dengan adanya kebebasan berekspresi dan berpendapat disambut dengan riang gembira oleh seluruh masyarakat Indonesia. Semua menikmatinya, mulai dari politisi, jurnalis, kelompok agamawan sampai masyarakat biasa—buruh.

Namun, kebebasan ini juga menjadi momentum bagi kelompok tertentu untuk menyebarluaskan paham dan ideologinya masing-masing. Kelompok berpaham eksklusif dan radikal, sebagai contoh, malah jadi marak di negara ini.

Kelompok radikal memanfaatkan ruang kebebasan berekspresi untuk menyebarluaskan dan mengekspresikan paham yang mereka yakini. Berbagai tindakan yang kurang terpuji pun ditempuh, seperti ujaran kebencian, propaganda, aksi kekerasan, sampai tindak terorisme yang menyebabkan banyak korban berjatuhan.

Era demokrasi menjadikan kontestasi antarkelompok identitas keagamaan tidak terelakkan. Hal itu bertujuan untuk memperoleh massa dan simpatisan untuk menyebarkan pengaruh dan ideologinya. Mulai dari FPI dan HTI yang sudah bubar, atau JI dan JAD yang selnya masih ada. Dalihnya amar makruf nahi mungkar, mereka tak segan melakukan sweeping hingga aksi teror.

Tidak hanya itu, propaganda khilafah pun disebarkan secara masif. Sasarannya berasal dari kampus dan pendidikan tingkat menengah—masyarakat terpelajar. Mereka dituntut mengikuti paham mereka melalui indoktrinasi yang dilakukan. Kelompok tersebut menyasar mindset kelompok terpelajar dengan berbagai forum diskusi, literasi, dan seminar yang disebut “halaqah”.

Secara garis besar, gerakan dan diseminasi ideologi radikal-terorisme memanfaatkan kegiatan tatap muka yang membutuhkan tempat dan sarana-prasarana dengan biaya yang tidak sedikit. Namun, modernisme dengan digitalisasi menjadikan penyebarannya juga bergeser: dari media konvensional ke media digital seperti kanal-kanal YouTube, Facebook, Instagram, hingga website.

Hal tersebut disebabkan penggunaan digital yang masif oleh sebagian besar masyarakat. Terdapat 7,7 miliar penduduk yang dalam kesehariannya aktif di media sosial. Di Indonesia sendiri sekitar 175 juta jiwa yang setiap harinya berselancar di media sosial.

Maka tidak aneh apabila pola penyebaran radikal-terorisme masif dilakukan melalui media digital. Sebagaimana temuan International NGO Forum on Indonesian Development dan jaringan GusDurian, sebagian besar pesan dan narasi yang berkembang di media sosial tidak mengindikasikan moderasi Islam. Seperti penggunaan kata-kata kafir, sesat, jihad, musuh Islam, dan sebagainnya.

Selain itu, melalui kanal Facebook juga ditemukan bahwa terdapat 884 unggahan menggunakan narasi dan kata kunci radikal. Seperti halnya, narasi bahwa kapitalisme sekuler telah menghancurkan agama, demokrasi adalah sistem yang buruk, dan urgensi penegakan syariat Islam.

BACA JUGA  Manifesto Perbedaan Hari Raya Idulfitri, Masih Perlukah Penetapan?

Lalu bagaimana cara melawan semua itu? Caranya dengan menanamkan prinsip jihad moderasi pada setiap warga negara. Perlu upaya masif dalam memproduksi dan menyebarluaskan narasi moderat di berbagai kanal media sosial. Jihad di media sosial dapat menjadi langkah yang efektif dalam membendung penyebaran paham radikal-terorisme di era kekinian.

Media Sosial yang Destruktif

Perkembangan teknologi menjadikan arus informasi dan distribusi ilmu pengetahuan dapat tersalurkan dengan cepat. Hal itu mengakibatkan perubahan pola hidup, perilaku, sikap beragama dari para pengguna, terlebih generasi muda.

Bagaimana tidak, kemudahan akses informasi yang disediakan melalui media internet telah mengubah cara anak muda dalam belajar agama dan memperoleh ilmu pengetahuan. Literasi keagamaan saat ini tidak lagi hadir secara konvensional, melainkan beralih ke media daring.

Masuknya berbagai informasi ke media sosial mengakibatkan radikalisme semarak dan ajaran Islam destruktif merajalela. Misalnya, terjadinya pertarungan dan kontestasi wacana untuk mencari simpati dari para pengguna, termasuk para aktor keagamaan ekstrem dan radikal.

Kelompok ekstrem dan radikal yang diwakili menjadikan media sosial sebagai ajang dakwah dan jihad. Mereka menyebarluaskan cara pandang keagamaaan yang merusak tatanan kebhinekaan secara menyeluruh.

Dengan demikian, maka memenangkan dan mengisi algoritma media sosial dengan konten dan narasi moderat menjadi sebuah keharusan demi menjaga keutuhan NKRI dari kelompok berpaham radikal-terorisme.

Memasifkan Narasi Moderat

Keterbukaan arus informasi dan produksi konten di media digital yang tidak mengenal aliran ideologi tertentu menjadi ruang kontestasi yang terbuka dan berbahaya. Bayangkan saja, para radikalis-ekstremis-teroris semakin tak terbendung.

Karena itu, menjadi harga mutlak bagi kita untuk memenangkan media sosial dengan ajaran moderat. Itu bisa dilakukan, misalnya, dengan memproduksi dan menyebarluaskan paham moderat melalui konten dan narasi yang moderat di media sosial. Semuanya harus terlibat di sini.

Negara dan tokoh agama yang otoritatif juga harus turut aktif dan menjadi garda terdepat dalam upaya memasifkan produksi narasi moderat. Selain itu, untuk memenangkan kontestasi di media sosial, diperlukan adanya kolaborasi dan kerja sama berbagai elemen masyarakat mulai dari artis, dosen, mahasiswa, siswa, sampai konten kreator.

Upaya-upaya tersebut diharap dapat menjadikan media sosial bersih dari konten dan narasi-narasi radikal-terorisme, sehingga ketenteraman Indonesia dapat terealisasi secara maksimal. Wallahu a’lam.

Imam Syafi'i
Imam Syafi'i
Mahasiswa Magister Prodi Interdisiplinary Islamic Studies Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru