27.3 C
Jakarta

Hari Raya Idulfitri Selamat dari Terorisme, Sinyal Baik untuk NKRI?

Artikel Trending

Milenial IslamHari Raya Idulfitri Selamat dari Terorisme, Sinyal Baik untuk NKRI?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Lebaran tiba. Umat Muslim telah menggelar salat Idulfitri pada Sabtu (22/4) kemarin. Masjid-masjid penuh, musala juga demikian. Di kota-kota, salat ied bahkan digelar di area terbuka. Semua berduyun sebagai simbol kembali ke fitrah, kesucian, setelah selama sebulan penuh beribadah Ramadan. Nabi bersabda, barang siapa berpuasa dengan penuh keimanan, akan diampuninya dosa yang terdahulu. Itulah kenapa Idulfitri punya kesannya sendiri.

Idulfitri merupakan hari kemenangan bagi seluruh umat Muslim di seantero dunia. Sangatlah disayangkan jika perayaan tersebut ternoda oleh aksi teror. Misalnya seperti yang terjadi di Bangladesh beberapa tahun lalu, ketika sebuah bom meledak di masjid menjelang Idulfitri. Juga seperti di Afghanistan tidak lama setelahnya, ketika sebuah masjid hancur berantakan oleh sebuah bom bunuh diri. Idulfitri terancam terorisme.

Terorisme selalu menjadi preseden buruk yang memilukan. Tidak hanya merugikan pelaku dan korban, ia selalu merugikan seluruh umat Islam. Demikian karena di luar peristiwa, ia menjadi berita nasional dan internasional. Dan yang terjadi setelahnya adalah buruknya citra Islam di mata masyarakat global. Sebagai contoh, islamofobia juga lahir sebagai buntut terorisme. Umat Muslim jadi tersudut dan semakin susah menjelaskan bahwa Islam menentang ekstremisme.

Maka, hari ini penting rasanya untuk bergembira. Idulfitri di negara ini berlangsung aman dari ancaman apa pun. Meskipun aparat menyiagakan operasi ketupat, dalam rangka sokongan keamanan-kelancaran mudik dan Idulfitri, tidak tampak kekhawatiran tentang aksi-aksi teror. Ini kemudian melahirkan pertanyaan lanjutan, apakah semua itu merupakan sinyal baik bagi NKRI? Apakah negara ini dan seluruh masyarakat boleh sesumbar tanpa merasa terancam apa pun?

Jangan Sesumbar!

Hal yang harus disadari bersama tentang terorisme adalah ia selalu memanfaatkan kelengahan-kelengahan kolektif. Di mana ada keramaian dan euforia, di situ aksi teror biasanya terjadi. Bom Bali dan Marriott biasa menjadi contoh bahwa teroris menjadikan keramaian dan kelengahan sistem sebagai basis gerilya dan aksinya. Radikalisasi di dunia maya hari ini juga bisa menjadi contoh lain bahwa ruang yang minim intaian merupakan lahan basah terorisme.

Untuk itu, sesumbar adalah keputusan yang buruk. Sekalipun hari ini Idufitri tidak terjadi teror, pada Idulfitri mendatang, terorisme tetap tidak bisa ditebak. Setiap hal memiliki potensi ancamannya sendiri, dan tugas masyarakat dengan aparat adalah membuat antisipasi atas kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Misalnya, dua bulan lagi umat Muslim akan merayakn Iduladha. Jangan sampai hari raya kurban menjelma sebagai momentum berjatuhnya korban teror.

BACA JUGA  Polarisasi dan Disintegrasi: Residu Pemilu yang Harus Diantisipasi

Sesumbar melahirkan euforia. Euforia melahirkan kelalaian. Kelalaian memancing teroris untuk beraksi. Artinya, waspada menjadi keharusan tanpa tawar agar terorisme tidak punya celah sedikit pun untuk terjadi. Syukur tanpa batas karena Idulfitri selamat dari aksi teror. Namun ini bukan sinyal matinya terorisme, melainkan berhasilnya para stakeholder dalam melakukan kontra-terorisme, sehingga teroris tidak lagi ada kesempatan untuk beraksi di semua penjuru.

Dalam konteks itu, apresiasi atas kontra-terorisme—sekali lagi—harus tetap dalam kontinuitasnya. Negara sudah aman, tetapi pengamanan harus tetap dilakukan tanpa henti. Bersamaan dengan itu, media sosial harus dalam pengamatan yang intens karena terorisme berkembang melalui itu. Intinya, Idulfitri bukan satu-satunya keramaian yang potensial diteror. Ada banyak keramaian lainnya yang karenanya, semuanya tidak boleh sesumbar.

Terorisme Masih Ancaman

Apakah kita akan selalu terancam? Boleh jadi sebagian orang akan bertanya demikian. Jawabannya adalah tidak. Spirit menegakkan khilafah yang melahirkan jihadisme atau takfirisme memang kekal, namun tidak selamanya dunia global dipenuhi ancaman teror. Ancaman tersebut kerap beriringan dengan situasi politik tertentu di satu sisi dan kesadaran masyarakat di sisi lainnya. Masyarakat yang permisif dengan radikalisme adalah sasaran empuk teroris.

Karena itu, ancaman terorisme bersifat fluktuatif. Pada kondisi kontra-teror menguat, ancaman terorisme adalah kecil. Sementara pada kondisi semrawutnya sosial-politik, ancamannya meningkat. Dan pada kondisi ketika masyarakat sangat tidak percaya dengan negaranya sendiri, seperti krisis integritas pemerintah, teroris akan menjadi ancaman yang sangat besar. Ruang-ruang untuk beraksi adalah keadaan ketika terorisme tidak dianggap ancaman.

Artinya, sekecil apa pun ancaman terorisme, ia harus tetap diantisipasi maksimal. Masing-masing stakeholders harus senantiasa di relnya masing-masing, untuk melakukan kontra-radikalisasi dan deradikalisasi. Tak ada ruang untuk sesumbar, kendati mayorita teroris dan kelompoknya sudah terpetakan rinci. Tidak ada ruang juga untuk enteng sekalipun kerentanan tertentu, seperti hari raya Idulfitri, menunjukkan sisi aman dari ancaman terorisme. Wapada selalu wajib.

Kewaspadaan melahirkan kegetiran di kalangan teroris setiap mereka hendak beraksi. Kesiagaan melahirkan ciutnya para aktor teror karena selain tidak akan berhasil, aksi mereka akan mudah terdeteksi dan misinya tidak berhasil. Dan yang terpenting, kewaspadaan melahirkan keselamatan untuk kita, seluruh masyarakat Indonesia, yang sistem politik dan pemahaman keagamaannya dituduh menyimpang. Kewaspadaan jugalah sinyal baik hilangnya terorisme.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru