31.5 C
Jakarta

Takjil War: Antara Harmoni Kemanusiaan dan Kerukunan Beragama

Artikel Trending

KhazanahPerspektifTakjil War: Antara Harmoni Kemanusiaan dan Kerukunan Beragama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sudah menjadi kebiasaan, bahwa pada saat bulan Ramadhan di setiap sorenya akan selalu menjamur dan meningkat jajanan-jajanan yang nikmat untuk santapan menu buka puasa. Mulai dari es cendol dawet, es buah, sosis Solo atau lumpia. Baik jenis jajanan lokal hingga jajanan jenis impor misalnya mochi, kebab, thai tea, es boba, mixue, dan lainnya.

Semua itu adalah jenis jajanan. Tetapi kalau sudah masuk bulan Ramadhan ragam jenis jajanan itu akan dinamakan sebagai takjil. You know takjil? Itu adalah bahasa kearifan budaya kita sebagai bentuk kemesraan kita dengan bulan puasa. Tak heran kalau tiap sore jalanan-jalanan akan macet karena saking banyaknya kendaraan orang-orang yang sedang berburu takjil.

Lazimnya yang berburu takjil (takjil war) adalah umat Muslim yang menjalankan ibadah puasa, akan tetapi Ramadhan 2024 ini lain. Jagat media sosial justru ramai dengan takjil war yang dilakukan oleh orang non-Islam, dengan segala jenis kamuflase yang mereka lakukan demi ambil bagian untuk merayakan datangnya bulan suci Ramadhan. Tak jarang kadang-kadang takjil sudah habis diborong oleh orang non-Islam, yang orang Islam malah hanya kebagian sisa.

Fenomena yang unik sekaligus menarik. Akan tetapi, yang lebih menarik menurut saya, adalah bahwa tidak adanya sentimen yang muncul dari orang-orang Islam itu sendiri, misalnya yang diwakili oleh kelompok Islam versi kaku. Suasana mesra dan penuh keakraban yang justru terjadi.

Ini menunjukkan bahwa memang ada sesuatu yang lebih penting dari sekadar memenuhi nafsu (egoisme) pribadi, yakni adalah nuansa kehidupan yang sangat toleran dan penuh kemesraan. Bahwa kehidupan yang indah dan membahagiakan adalah kehidupan yang saling membaur dan saling melengkapi satu sama lain, tanpa harus sinis dengan mereka yang tidak sama dengan kita.

Mungkin sebagian dari Anda ada yang menyimpan pertanyaan demikian, kalau fenomena takjil war Ramadhan 2024 adalah bentuk toleransi kemanusiaan, tapi kok mereka yang non-Islam malah menghabiskan takjil dengan membelinya lebih awal dan banyak, sedangkan mereka yang Islam hanya kebagian sisa? Tentu, berpikir tidak linier adalah hal yang mesti dikembangkan di tengah kehidupan yang sangat kompleks ini supaya tidak sempit cara berpikirnya. Ada banyak sudut pandang, sisi pandang dan cara pandang yang juga mesti kita tumbuhkan.

Bagi saya, justru mereka (non-Islam) sangat toleran karena mereka ikut menyemarakkan keberkahan Ramadhan dengan ikut melariskan jajanan-jajanan takjil yang dijual oleh orang Islam itu sendiri. Laba ekonomi orang Islam yang berjualan takjil kan jadi meningkat di bulan Ramadhan ini. Atau juga, di sisi lain, orang non-Islam yang juga turut menyemarakkannya dengan ikut berjualan takjil bagi orang Islam yang sedang berpuasa, misalnya.

Ramadhan tahun kemarin, saya pernah beli es buah yang ternyata penjualnya adalah non-Islam. Saya kemudian tanya, “kok ibu juga ikut jualan es buah?” Ibu itu lalu memberikan jawaban yang sangat memuaskan saya sebagai orang Islam, “iya, Mas, biar saya juga ikut membantu mereka yang ingin beli es buah untuk berpuasa.” Singkat cerita, ibu tersebut malah jadi langganan saya beli es buah tiap sore sampai akhir Ramadhan tahun lalu.

BACA JUGA  Mensterilkan Generasi Muda dari Jeratan Paham Radikal

Sama kasusnya dengan fenomena takjil war yang ramai di jagad media sosial yang dilakukan oleh orang-orang non-Islam. Benang merahnya adalah, kesatu, bahwa kita hidup sebagai sesama manusia yang saling melengkapi dan saling membutuhkan satu sama lain.

Kedua, bahwa memang bulan Ramadhan itu bukan hanya bulan suci yang sangat eksklusif untuk umat Islam saja, tetapi juga untuk seluruh umat manusia. Ini semakin membuktikan bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, yang akan selalu baik dan toleran terhadap mereka yang kendati non-Islam.

Takjil War dan Nuansa Kerukunan Beragama

Fenomena takjil war di bulan Ramadhan yang melibatkan non-Muslim dalam berburu takjil memang menimbulkan berbagai pertanyaan menarik terkait prinsip kerukunan beragama dan penghormatan terhadap keyakinan dan praktik keagamaan masing-masing individu. Dalam konteks ini, kita dapat menganalisis fenomena tersebut dengan pendekatan filosofis yang mencakup prinsip-prinsip toleransi, kerukunan, dan penghargaan terhadap perbedaan.

Satu, terkait prinsip toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan. Prinsip ini jelas sangat menekankan pentingnya menghormati perbedaan keyakinan dan praktik keagamaan antarindividu. Dalam konteks takjil war, partisipasi orang non-Muslim menunjukkan kesediaan untuk menghargai tradisi dan kegiatan keagamaan orang lain, meskipun mereka sendiri tidak mengamalkannya. Ini mencerminkan pengakuan akan pluralitas dalam kehidupan masyarakat dan keberagaman budaya serta agama sebagai suatu kekayaan kultural yang harus selalu dilestarikan.

Kedua, prinsip kerukunan beragama. Prinsip kerukunan beragama juga sangat menekankan pentingnya hidup berdampingan secara damai di antara komunitas-komunitas agama yang berbeda. Dalam konteks takjil war, partisipasi orang non-Muslim menunjukkan kemauan untuk berinteraksi dan berbagi momen-momen penting dengan komunitas Muslim tanpa menyebabkan ketegangan atau konflik. Hal ini memperkuat hubungan antaragama dan menciptakan lingkungan sosial yang harmonis sekaligus damai.

Ketiga, tentang prinsip penghormatan terhadap kebebasan beragama. Prinsip ini menekankan pentingnya memberikan kebebasan kepada individu untuk memilih dan mempraktikkan agama atau keyakinan mereka tanpa adanya tekanan atau diskriminasi.

Dalam konteks takjil war, partisipasi orang non-Muslim menunjukkan bahwa mereka memiliki kebebasan untuk ikut serta dalam tradisi keagamaan orang lain tanpa takut akan diskriminasi atau stigmatisasi. Dengan demikian, fenomena takjil war yang melibatkan orang non-Muslim sebenarnya dapat dipandang sebagai contoh dari prinsip-prinsip toleransi, kerukunan, dan penghargaan terhadap perbedaan dalam konteks keagamaan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa meskipun masyarakat kita terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan, kita dapat hidup bersama secara damai dan saling menghormati satu sama lain tanpa mengorbankan identitas atau keyakinan kita sendiri. Ditambah karena memang kita adalah manusia, maka kita juga harus memegang teguh nilai kemanusiaan itu sendiri.

Ahmad Miftahudin Thohari
Ahmad Miftahudin Thohari
Peminat kajian filsafat, kebudayaan dan sosiologi. Aktif di komunitas Dianoia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru