26.7 C
Jakarta

Perempuan dan Ancaman Ekstremisme: Upaya Preventif

Artikel Trending

KhazanahPerspektifPerempuan dan Ancaman Ekstremisme: Upaya Preventif
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dalam kehidupan, perempuan mengalami pengalaman biologis yaitu menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Pengalaman biologis yang dialami perempuan adalah kodrat, dan siapa pun tidak akan mampu mengubah kodrat, termasuk kodrat perempuan. Kalau ada yang memaksakan perubahan itu, akibatnya akan fatal. Sayangnya, dalam pandangan kelompok radikal, perempuan seringkali dijadikan sebagai alat reproduksi.

Perempuan tidak memiliki otoritas untuk menentukan kapan dia harus melahirkan dan berapa kali dia harus melahirkan. Lagi-lagi perempuan hanya dipandang sebagai objek, bukan subjek. Kelompok radikal meyakini bahwa memiliki anak dengan jumlah banyak merupakan salah satu cara berjihad bagi kaum perempuan. Hal ini sejalan juga dengan prinsip mereka yang menolak keadilan dan kesetaraan gender, anti KB dan semua unsurnya, termasuk menolak penggunaan alat-alat kontrasepsi.

Lebih berbahaya lagi, kelompok mereka juga menolak pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi sehingga para perempuan tidak mengerti hak-hak seksualitas dan kesehatan reproduksi. Menolak penderita HIV/AIDS dan kelompok “ODHA” serta mengganggapnya sebagai kutukan, menolak kelompok LGBT, menolak korban perkosaan, dan tidak kurang bahayanya adalah mereka suka menganjurkan pernikahan anak dan poligami.

Lantas, bagaimana sebenarnya Islam memandang reproduksi perempuan? Sejatinya agama Islam hadir pada prinsip yang menjunjung tinggi kesehatan dan keselamatan bagi seorang hamba. Itu artinya kesehatan reproduksi bagi perempuan merupakan hak perempuan sebagai pengemban amanat reproduksi.

Keterlibatan Perempuan dalam Aksi Ekstremisme

Perempuan adalah korban. Itulah hal utama yang harus kita sadari. Terlepas dari seberapa penting peran mereka dalam berbagai aksi ekstremisme. Para perempuan dalam kelompok radikalisme tanpa sadar ada dalam lingkaran kekerasan, selain dimanfaatkan untuk dinikahi agar lebih banyak mencetak tentara Allah (jundullah) perempuan seringkali memainkan peran sebagai fighter atau bomber. Itu artinya kelompok terorisme memanfaatkan perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri.

Sebut saja kasus Dian Yulia Novi, ia adalah salah satu contoh perempuan yang divonis sebagai pelaku bom bunuh diri ke Istana Negara. Ia mengaku terindoktrinasi secara online yang banyak dilakukan oleh sel propaganda teroris dan calon suaminya saat itu, Nur Solihin. Kasus lain, dilakukan oleh Santoso yang melibatkan tiga istri pemimpin di kelompok tersebut untuk dibawa dan ikut bergerilya di dalam hutan guna melakukan perlawanan.

BACA JUGA  Golput Bukan Solusi untuk Demokrasi NKRI, Hindari!

Ada beberapa penyebab mengapa keterlibatan perempuan dalam aksi ekstremisme semakin masif. Pertama, mereka dianggap mampu untuk menjadi pengabdi yang patuh serta loyal. Kedua, mereka rentan untuk percaya serta patuh terhadap nuansa yang berbalut ajaran agama. Dan perempuan memiliki jalan yang lebih mudah terhadap media sosial namun sangat minim literasi. Keterlibatan perempuan juga dianggap sebagai suatu cara yang mudah untuk mengelabuhi aparat penegak hukum.

Selain itu, ada juga faktor-faktor yang begitu berpengaruh bagi perempuan, seperti faktor religius yang mereka yakini bahwa: umat Islam sedang diserang, keinginan kuat untuk membangun sebuah masyarakat baru, bebas dari thaghut (musuh-musuh Tuhan), kewajiban agama sebagai perempuan Muslim untuk membela Islam, dan menjadi dari bagian dalam “persaudaraan perempuan khalifah”.

Dan ironisnya, kemelut yang tengah terjadi di Timur Tengah digunakan oleh kelompok ekstremis sebagai momentum untuk terus melakukan propaganda. Alih-alih menyuarakan perdamaian dan solusi bagi dua negara, kelompok mereka justru menawarkan jihad dan eksistensi negara khilafah.

Mitigasi dan Upaya Preventif

Perempuan menjadi salah satu dari tiga kelompok yang rentan terhadap proses radikalisasi. Sebab dilakukan secara sistematif, masif dan terencana dengan memanfaatkan simbol-simbol keagamaan baik melalui media online maupun offline. Padahal perempuan sangat berperan penting dalam pembinaan keluarga, perempuan adalah basis penguatan dalam keluarga dari segala ancaman ekstremisme.

Pemerintah setidaknya harus terus berupaya hadir untuk melindungi perempuan dengan melaksanakan program-program prioritas yang dapat memperkuat upaya pencegahan ekstremisme dan aksi-aksi terorisme. Selain itu, meski perempuan dianggap rentan terpapar ekstremisme, namun di satu sisi perempuan memiliki peran penting untuk mencegah kegiatan yang bersifat ekstremisme.

Perempuan sejatinya mempunyai peran besar dalam menangkal ekstremsime di dalam keluarga maupun masyarakat bahkan berpotensi menjadi woman human right defender (perempuan pegiat perdamaian). Kaum perempuan bersama dengan elemen masyarakat sipil lainnya didorong untuk terlibat aktif dalam penanggulangan masalah terorisme terutama sebagai penggerak di komunitas.

Melalui media online, perempuan juga bisa mengkonter narasi-narasi radikal dengan kontra-narasi. Sehingga keterlibatan perempuan sebagai agen perdamaian harus terus diupayakan dan diikutsertakan dalam setiap agenda, agar upaya preventif dalam pencegahan dan penanganan ekstremisme berbasis kekerasan dapat terwujud secara nyata.

Fatmi Isrotun Nafisah
Fatmi Isrotun Nafisah
Anggota Puan Menulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru