29.5 C
Jakarta

Serial Pengakuan Eks Napiter (C-LI-XXXV): Eks Napiter Mahmudi Kini Memilih Jalan Hidup Sebagai Pengusaha

Artikel Trending

KhazanahInspiratifSerial Pengakuan Eks Napiter (C-LI-XXXV): Eks Napiter Mahmudi Kini Memilih Jalan Hidup...
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Isu terorisme terus bergulir bagai bola salju. Meski segala ikhtiar telah dilakukan tetap saja warga negara Indonesia yang bersikukuh dalam paham radikal yang membawanya menjadi seorang teroris. Tentu, ini menjadi ancaman terhadap eksistensi bangsa ini.

Ikhtiar yang dilakukan pemerintah dalam mencegah radikalisme sedikit banyak telah membuahkan hasil yang cukup membanggakan. Buktinya, ada beberapa teroris yang telah hijrah ke jalan yang benar (kembali ke pangkuan NKRI). Satu di antara mereka adalah Mahmudi Haryono (berikutnya disebut “Mahmudi”).

Mahmudi pernah mendapatkan didikan dan pelatihan di Filipina. Namun sebelum itu sekitar tahun 1998 hingga 1999 Mahmudi pindah tempat untuk belajar ke Lamongan. Di tempat tersebut, ia bertemu dengan keluarga besar Amrozi. Ia belajar di sana selama dua tahun. Dalam satu minggu terdapat tiga kali pertemuan untuk belajar. Di tempat tersebut ia mulai didoktrin dengan ajaran keras.

Di tempat belajar itu, Mahmudi diajarkan soal jihad melalui VCD yang berisi soal laskar jihad dan konflik di Ambon. Selama dua tahun, Mahmudi masih dalam proses pengkaderan, hingga pada suatu hari, tepatnya pada tahun 2000, ia mendapat tugas untuk berangkat jihad ke Poso.

Karena merasa senang, Mahmudi rela menjual sepeda motornya seharga Rp7 juta untuk bekal perjalanan menuju Poso. Meskipun saat itu tiket, makan, dan segala keperluan sebenarnya sudah ditanggung. Menuju daerah konflik untuk ikut perang adalah bagian dari cita-citanya.

Di tengah perjalanan rencana berubah. Mahmudi bukan dibawa ke Poso melainkan ke Filipina. Saat itu, ia dan teman-temanya transit di Palu menuju Nunukan dan Malaysia. Dari Malaysia, ia menempuh jalur darat menuju Filipina. Mahmudi dan rombongannya dibawa ke sebuah daerah pegunungan. Rombongan Mahmudi saat itu dipecah menjadi dua kelompok untuk dibawa ke dua gunung yang berbeda.

Di Filipina, Mahmudi ikut memborbadir perkampungan di daerah target. Saat itu, ia mulai memegang M16 hingga roket. Selain melakukan kontak langsung, ia mempunyai tugas khusus untuk memetakan daerah-daerah target dan lalu lintas pejuang jihad saat berperang.

Hingga akhirnya pada Mei 2002 Mahmudi mendapatkan perintah untuk kembali ke Indoneia. Tak mudah baginya pulang ke Indonesia. Ia harus menyamar sebagai TKI agar identitasnya tak diketahui. Setibanya di Indonesia ia tak mendapat perintah untuk membuat konflik atau bom di Indonesia. Ia hanya diberi pesan untuk menghubungi Abu Tholut di Kudus jika membutuhkan pekerjaan.

Akhirnya, Mahmudi memutuskan untuk bertemu dengan Abu Tholut. Setelah bertemu, ia diberi uang sebanyak Rp20 juta secara cuma-cuma. Ia langsung manfaatkan uang tersebut untuk bisnis dan sewa kontrakan di daerah Lamper dan Pedurungan Kota Semarang. Saat itu ia jualan sandal, sepatu, dompet dan protector berbahan dasar kulit.

BACA JUGA  Serial Pengakuan Eks Napiter (C-LI-XXXVIII): Eks Napiter Poso Mie Kembali ke Pangkuan NKRI

Hingga satu tahun berikutnya pada bulan April 2003, Mahmudi tiba-tiba menerima kiriman dari Abu Tholut di kontrakannya. Saat itu ia tak berani bertanya. Satu mobil penuh isinya peluru dalam koper-koper. Ada juga buku-buku bom dan dokumen lain, termasuk kartu nama Spanyol. Jika ia hitung, barang-barang tersebut datang sebanyak tiga kali. Barang itu berupa amunisi, senjata dan bahan peledak tersebut merupakan barang sisa dari Bom Bali.

Pada tahun yang sama, Mahmudi terpaksa kembali ke jeruji besi lantaran ketahuan mempunyai barang berbahaya di kontrakannya. Ia ditangkap karena imbas tertangkapnya Abu Tholut di Jakarta. Saat itu ia ditangkap karena menyimpan bom rakitan, 750 kilogram bahan peledak, 88 TNT serta 20 ribu peluru.

Pada bulan Januari 2009 Mahmudi dinyatakan bebas dari hukuman. Setelah bebas masih banyak godaan untuk kembali ke jalan yang pernah ia tempuh sebelumnya. Namun saat itu, ia sudah bertekad untuk menempuh jalur jihad yang baik dengan cara membahagiakan keluarga dan bermanfaat untuk orang lain. Pada 1 Januari 2009 Mahmudi menempuh hidup baru. Ia memutuskan untuk menikah.

Mahmudi mencoba mencari kerja yang berhubungan dengan makanan. Kebetulan, ia sudah terlatih membuat makanan. Akhirnya ia diterima sebagai karyawan warung makan di Semarang. Ia senang apalagi saat masakannya dipuji enak. Namun nahas, pekerjaan tersebut tak berjalan lama. Tiba-tiba ia dipecat oleh juragan warung makan tempat ia bekerja. Alasannya, karena Mahmudi pernah menjadi napi terorisme.

Setelah itu, Mahmudi memilih untuk membuka warung makan sendiri yang bernama Dapoer Bistik. Dengan berjualan makanan ia bisa menyambung hidup keluarganya. Selain itu, ia juga buka bisnis catering. Ia pernah mengirim makanan ke kantor polisi. Beberapa polisi sempat pesan cateringnya.

Seiring berkembangnya waktu, Dapoer Bistik sempat membuka cabang di Solo. Beberapa teman sesama manta napi teroris sengaja ia ajak agar mempunyai penghasilan yang baik. Namun, karena keterbatasan biaya dua warung makan tersebut terpaksa tutup untuk sementara. Biaya sewanya tambah naik setiap tahunnya.

Sebagai penutup, kisah perjalanan Mahmudi dapat dijadikan pelajaran bagi kita semua agar lebih berhati-hati dari radikalisme. Agar tidak menjadi korban radikalisme yang kedua setelah Mahmudi. Cerita ini bisa dijadikan cambuk bagi para teroris untuk kembali hijrah ke jalan yang benar sebagaimana yang dilakukan Mahmudi.[] Shallallahu ala Muhammad.

*Tulisan ini disadur dari cerita eks napiter Mahmudi yang dimuat di media online Suarajawatengah.id

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru