26.1 C
Jakarta

Ramadan, Toleransi dan Wujud Kebangkitan Islam

Artikel Trending

KhazanahTelaahRamadan, Toleransi dan Wujud Kebangkitan Islam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Memasuki ramadan yang dimulai hari ini, bahagia dan syukur tidak terhingga kita panjatkan kepada Allah Swt. Sebab kesempatan yang diberikan oleh Allah Swt kepada kita untuk terus berbuat baik dan beribadah, memiliki kesempatan yang panjang. Tentu, kesempatan ini adalah sebuah kesempatan yang istimewa dan perlu dimanfaatkan dengan penuh semangat.

Ramadan tahun ini, ada yang menarik dalam pelaksanaannya. Bertepatan dengan pertama pelaksanaan tarawih, umat Hindu sedang merayakan ritual keagamaan terpenting, yakni Hari Raya Nyepi.  Salah satu praktiknya, di Bali, misalnya. Masyarakat Muslim yang akan melaksanakan tarawih pertama bisa dilakukan di rumah atau berjalan kaki menuju masjid terdekat untuk menghormati umat Hindu yang sedang menjalankan Nyepi.

Selain itu, terlihat sebuah video singkat yang viral di instagram ketika ada perayaan semacam tarian, ataupun pawai dari masyarakat Hindu, sedangkan di waktu yang sama justru ada rombongan ibu-ibu yang sedang melakukan pawai dengan bacaan sholawat menyambut ramadan.

Potret kerukunan dan saling menghargai perayaan keagamaan semacam ini sebenarnya hal biasa terjadi di Indonesia. Namun, sangat jarang dua momentum penting dalam agama yang berbeda ini secara bersamaan, sehingga menjadi sebuah keistimewaan ketika terjadi secara bersamaan. Di sinilah kita memahami bahwa kejadian ini bukan tentang kebetulan saja. Akan tetapi, ada pesan toleransi yang sudah digariskan oleh Tuhan untuk memberikan penyadaran kepada manusia agar saling mengasihi satu sama lain.

Toleransi Perayaan Nyepi dan Ramadan

Kata siapa melihat kebangkitan Islam terjadi ketika Indonesia menegakkan khilafah? Kata para aktivis khilafah yang menyuarakan pendirikan negara Islam dan sedang mengalami demam terhadap sejarah kejayaan Islam, serta belum move on dari segala hal yang melatarbelakangi.  Padahal kita mampu melihat kebangkitan Islam dalam praktik keberagamaan yang begitu istimewa dengan corak kebudayaan yang mengakar pada jati diri bangsa Indonesia.

Mengapa demikian? Indonesia yang kaya akan suku, budaya dan agama, mampu memposisikan perbedaan tersebut dalam sebuah wilayah yang bisa mempersatukan perbedaan. Perayaan nyepi dan ramadan adalah sesuatu berharga yang dimiliki oleh Indonesia. Keberagamaan yang dilandasi dengan kemanusiaan, akan tercipta saling menghargai dan mengeratkan persatuan.

BACA JUGA  Pasca Pemilu: Potensi Ekstremisme Menguat

Seperti yang kita ketahui bahwa, egoisme kelompok sebagai umat Muslim menjadi mayoritas, sikap superior yang tercipta dalam diri kelompok, jika didahulukan, menjadi akar dari perpecahan. Namun ternyata, egoisme superior tersebut mampu diredam dengan kedewasaan bersikap dan menjalankan keyakinan agamanya. Hal ini juga menjadi sebuah identitas bagaimana Islam Indonesia berkembang.

Di tengah konflik perbedaan yang menjadi kehancuran bagi sebuah negara, khususnya negara-negara Islam, realitas di atas justru menjadi sebuah antitesis bahwa masyarakat muslim yang mayoritas, dengan mempertimbangkan persatuan dan kesatuan yang berlandaskan nilai-nilai Islam dalam menjalankan kehidupan berbangsa, justru memperkuat hubungan yang tercipta dari perbedaan itu. Masih butuhkah khilafah jika negara yang menerapkan khilafah menciptakan kehancuran?

Saya pikir justru peristiwa ini merupakan sebuah kesadaran berpikir bahwa, Islam Nusantara-Berkemajuan yang digagas oleh dua organisasi, NU dan Muhammadiyah dapat menjadi teladan bagi negara Islam di seluruh penjuru dunia. Masyarakat Muslim di Indonesia dengan corak keislaman yang diterapkan, mampu menerima perbedaan dan menghargai kebebasan beragama orang lain. Pada titik inilah, Indonesia mampu menjadi kiblat toleransi atas keberagaman yang dimiliki. Indonesia juga bisa menjadi pusat dari kebangkitan Islam itu sendiri. Jika sudah menjadi kiblat, untuk apa kembali kepada masa lalu yang justru hanya sebuah euforia dan taktik politik yang mengatasnamakan Islam semata?

Merupakan sebuah virus ketika datang sekelompok orang yang mudah menuding, mengafirkan dan menyalahkan perbedaan karena tidak sejalan dengan apa yang diterapkan oleh Arab. Virus itu yang menjadi bibit kehancuran. Hal itu juga menjadi alasan, mengapa narasi-narasi untuk menolak ajaran khilafah. Sebab dalam kondisi apapun, narasi khilafah akan terus masif, seiring dengan wacana kebangkitan Islam yang diusung oleh para pengasong khilafah.

Sekeras apapun wacana khilafah yang diusung oleh para aktivis itu, penolakan harus terus dilakuan. Berbagai propaganda yang sudah dilakukan, mulai dari kampanye hitam, menebar kebencian terhadap pemerintah, dll, perlu kita lihat sebagai taktik licik. Sedikitpun kita memberi ruang bagi para aktivis khilafah, berarti kita memberikan peluang khilafah tegak di Indonesia. Wallahu a’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru