Harakatuna.com-Bulan Rabi’ul Awal merupakan salah satu bulan istimewa bagi umat Muslim karena hampir seluruh umat Muslim di dunia, merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Perayaan yang dimaksud bukan seperti perayaan ulang tahun pada umumnya. Akan tetapi, dengan pembacaan kitab Al-Barzanji, sebuah kitab yang berisi pujian kepada Nabi Muhammad SAW serta berisi sejarah panjang perjalanan hidupnya. Umat Muslim berkumpul dengan penuh gembira ketika membacakan kitab Al-Barzanji bersama.
Momentum perayaan maulid di Indonesia khususnya, memiliki banyak keragaman dalam praktiknya. Tidak jarang, perayaan ini kerapkali membuat masyarakat justru lupa akan esensi atas perayaan yang digelar sehingga membuat beberapa kelompok Muslim menentang adanya perayaan maulid karena dianggap berlebihan dan keluar dari nilai-nilai ajaran Islam.
Perdebatan tentang perayaan maulid sebenarnya tidak pernah selesai bagi kalangan umat Muslim sendiri. Namun jika kita memahaminya sebagai bagian dari perbedaan wacana atau cara pandang, kita akan kembali pada kenyataan bahwa Islam agama universal, di mana setiap orang memiliki pemahaman berbeda-beda antara yang satu dengan lainnya, termasuk persoalan perayaan maulid.
Menariknya dari perayaan maulid adalah, budaya yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Di Padang, Sumatera Barat, misalnya. Ada tradisi bunga lado, pohon hias yang berdaun uang kertas dengan beragam nominal. Tradisi ini memberikan ruang bagi para perantau, atau masyarakat untuk berbagi kepada orang lain. Di Aceh, ada tradisi Meuripee, memasak bersama kuah seperti kari dengan bahan utama daging sapi sebagai menu utama. Semua persiapan tersebut dilakukan secara bersama-sama/ gotong royong.
Di Sidoarjo, Jawa Timur, ada tradisi Maudu. Tradisi ini dilakukan oleh pemilik rumah menyimpan telur di pohon pisang yang dihiasi dengan bunga-bunga kertas. Anak-anak berlomba mengambil terus setelah pembacaan syair Barzanji. Di Lombok Utara, ada tradisi Gerantung, di mana membunyikan alat musik tradisional selama 24 jam tanpa henti sebagai perayaan maulid.
Akulturasi Budaya dan Islam
Geertz, dalam konsep tentang agama, menyebut bahwa agama merupakan bagia dari sisten kebudayaan. Geertz melihat bahwa agama sebagai pola untuk melakukan tindakan dari sistem kebudayaan. Dengan demikian, agama merupakan pedoman yang dijadikan kerangka interpretasi tindakan manusia yang kompleks.
Islam hadir di Nusantara bukan dalam ruang hampa yang kemudian diterima sepenuhnya oleh masyarakat tanpa kehadiran budaya, tradisi yang berkembang sebelum Islam datang. Aktualisasi Islam dalam lintasan sejarah perkembangan tradisi dan budaya yang dimiliki oleh masing-masing daerah di Nusantara, mencerminkan nilai-nilai ketauhidan sebagai unity yang mengikat secara kokoh satu sama lain. Islam yang beragam, merupakan penerjemahan Islam universal ke dalam realitas kehidupan umat manusia.
Sebagai negara Muslim terbesar di dunia, dengan beragam suku, Indonesia memiliki sebanyak 1.072 suku derivativ besar dan kecil. Setidaknya ada beberapa suku yang kita kenal, di antaranya Melayu, Jawa, Sunda, Batak, Bugis dan suku Melanesia. Dari segi bahasa, terdapat ratusan bahasa yang digunakan oleh seluruh wilayah di Nusantara, serta sebaran pulau sebanyak 13.000 lingkungan di kepulauan.
Pertemuan Islam dengan tradisi lokal, merupakan wujud dari ajaran Islam yang universal, tidak kaku dan benar-benar sebagai rahmat bagi alam semesta. Jika ditelisik dari perbedaan perayaan maulid, akulturasi budaya dengan ajaran Islam, menjadi salah satu kenyataan yang tidak terbantahkan. Menyikapi konteks ini, setidaknya ada dua hal yang bisa disorot, di antaranya: pertama, Islam sebenarnya hadir sebagai produk lokal kemudian diuniversalitaskan dan ditransendensi. Dalam konteks Arab, Islam berkembang dengan budaya dan peradaban Persia. Melalui proses dinamisasi kebudayaan dan peradaban, ajaran Islam menjadi universal.
Kedua, Islam adalah wahyu Tuhan yang universal, dipersepsikan oleh pemeluknya masing-masing sesuai dengan pengalaman, problem, kapasitas, intelektual, sistem budaya dan segala keragaman yang dimiliki oleh si pemeluk. Dengan demikian, kedua dimensi ini menjadi sisi Islam sebagai universal dengan kehadiran budaya lokal pada tiap daerah, mewujudkan suatu keluasan pemahaman ajaran Islam pada masing-masing pemeluknya. Atas dasar ini, perayaan maulid yang berbeda-beda pada masing-masing daerah, wujud keniscayaan ajaran Islam dengan benturan lokalitas. Keberadaan ini perlu dirayakan sebagai universalitas ajaran Islam. Wallahu A’lam.