31.3 C
Jakarta

Politik Perubahan Yes, Politik Dinasti No!

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanPolitik Perubahan Yes, Politik Dinasti No!
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Dulu semenjak wafatnya Nabi orang-orang Syi’ah mendambakan penerus Nabi adalah Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib karena Ali sendiri masih termasuk keluarga Nabi. Tapi, setelah melalui kesepakatan beberapa pihak ternyata yang diangkat sebagai penerus Nabi dalam pemerintahan adalah Abu Bakar dan yang jelas dia bukan dari keluarga ahlul bait.

Apalagi, setelah itu dilanjutkan oleh dua sahabat yang tidak punya ikatan kekeluargaan dengan Nabi juga, yaitu Umar Ibn Khattab dan Ustman Ibn Affan.

Pengikut Syi’ah jelas tidak sepakat dengan kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan Utsman. Karena, yang semestinya meneruskan Nabi adalah keluarga beliau sendiri, bukan orang lain. Penentangan Syi’ah terkait imamah terus bergulir hingga sekarang. Bahkan, ada kelompok Syi’ah yang fanatik mengekspresikan kebenciannya kepada sahabat Abu Bakar dan Umar dengan menafsirkan ”yada Abi Lahab” dengan Abu Bakar dan Umar. Mereka diklaim sebagai orang yang celaka.

Model penolakan Syi’ah tersebut memperlihatkan gerakan politik dinasti (keluarga). Syi’ah tidak peduli penerus dalam keluarga itu mampu atau tidak. Yang terpenting penerus dan pemegang tongkat kepemimpinan adalah orang yang ada dalam lingkaran kekeluargaan.

Model politik dinasti ini terus bergulir pasca Khulafaur Rasyidin. Buktinya, pada masa Dinasti Umayyah pemerintahan masih berkutat dalam ranah kekeluargaan yang diawali dengan Muawiyah Ibn Abi Sufyan.

Karena kepemerintahan Dinasti Umayyah dikendalikan oleh pemimpin yang tidak mampu dalam mengatur negara, maka pemerintahan suatu negara mengalami kemunduran. Baru terlihat perkembangannya hanya ketika dipimpin oleh Umar Ibn Abdul Aziz.

Pada masa Umar ini terlihat prestasinya dalam kodifikasi hadis. Ini suatu prestasi yang tetap dikenang sampai sekarang. Kemudian, kegagalan pemerintahan Dinasti Umayyah selain kepemimpinan Umar disebabkan para pemimpinnya sibuk dalam kemegahan duniawi. Mereka tidak peduli dengan prestasi.

Melihat efek negatif politik dinasti, negara-negara berkembang tidak lagi menerapkan politik semacam itu. Mereka lebih menegakkan politik liberal yang memberikan kebebasannya bagi siapapun untuk memimpin suatu negara selama mereka memiliki kemampuan di bidang itu.

BACA JUGA  Shalat Tarawih dan Hikmah yang Tersirat di Dalamnya

Indonesia termasuk salah satu di antara negara yang menerapkan politik liberal itu. Maka, tidak heran semenjak tahun 2004 dilakukan Pemilihan Umum yang dilakukan oleh semua rakyat yang punya hak memilih.

Dengan penegakan politik liberal berbasis pemilihan umum itu, negara mengalami perkembangan ke arah yang lebih baik. Jika Soekarno-Hatta mampu mengakhiri kolonialisme, maka pada pemerintahan Jokowi-Ma’ruf radikalisme selangkah demi selangkah diamputasi. Ini suatu prestasi yang patut dibanggakan.

Maka, rasanya tidak rela jika saat menjelang Pemilihan Umum 2024 ada sekian rakyat Indonesia yang menolak gerakan politik perubahan yang diusung oleh Calon Presiden Anies Baswedan dan Calon Wakil Presiden Muhaimin Iskandar. Gerakan perubahan ini bukan menghapus gerakan sebelum-sebelumnya. Tapi, gerakan perubahan ini lebih menghadirkan politik yang lebih berwarna sehingga negara mampu lebih berkembang lagi.

Gerakan politik perubahan merupakan suatu keniscayaan dalam hidup ini. Sangat disayangkan jika ada orang yang menolak perubahan sedang zaman sudah berkembang. Semestinya orang ini menyadari bahwa mereka harus beradaptasi dengan perkembangan ini dengan melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

Gerakan perubahan ini senada dengan adagium yang seringkali didengungkan oleh generasi milenial, ”Al-Muhafadatu ala qadimi al-shalih wa al-akhdu bi al-jadidi al-ashlah.” Maksudnya, kita hendaknya tetap berpegang pada tradisi lama yang relevan dan tradisi baru yang lebih relevan.

Sebagai penutup, dalam menegakkan perubahan hidup ke arah yang lebih baik sebagaimana yang disinggung pada adagium tadi, hindari politik dinasti yang mengebiri bangsa ini menuju perubahan itu.

Lakukan perubahan dari sekarang dengan mendukung dan mengajak siapapun untuk memilih pemimpin yang menyuarakan visi perubahan tersebut. Katakan pada politik perubahan ”Yes” dan pada politik dinasti ”No”.[] Shallallahu ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru