28.2 C
Jakarta

Pesan untuk Anak Muda: Tren Kampanye Tiktok Perlu Disikapi dengan Kritis

Artikel Trending

KhazanahTelaahPesan untuk Anak Muda: Tren Kampanye Tiktok Perlu Disikapi dengan Kritis
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Beberapa waktu lalu, ramai konten TikTok yang berisi kampanye pasangan calon (Paslon) Prabowo-Gibran. Pasca debat presiden, misalnya. Tren gemoy membanjiri FYP TikTok. Tidak tanggung-tanggung, template CapCut juga menambah keramaian tren tersebut. Konten juga ramai dengan isak tangis netizen sebagai sikap empati kepada Prabowo.

Mengapa hal itu menjadi tren? Setidaknya kita melihat bahwa pasangan Prabowo-Gibran didukung oleh para influencers ataupun artis yang memiliki basis massa sangat besar di media sosial. Sontak ini akan memicu para followers dari setiap influencers akan ikut. Namun, apakah kita sebagai warga negara, anak muda, ikut membuat konten dari template hanya untuk FYP dan akan viral? Apa kita tidak mikir? Rugi dong!

Indonesia Darurat Kenegarawanan

Lain dari pada yang sedang ramai di TikTok, di kehidupan nyata justru terjadi sebaliknya. Para akademisi dari perwakilan beberapa kampus, menyatakan kekecewaan terhadap Jokowi karena sikap yang ditujukan tidak seperti Presiden, melainkan sikap seorang bapak yang sedang mendukung anaknya.

Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (UI) menyampaikan deklarasi damai atas kekhawatiran dari rusaknya kondisi hukum dan demokrasi Indonesia saat ini. Deklarasi dilakukan di depan Gedung Rektorat UI Jumat (2/2). Tidak hanya di UI, deklarasi serupa juga dilakukan oleh Universitas Islam Indonesia (UII) dan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Di UII, melalui deklarasi yang disampaikan oleh Rektor UII Prof. Fathul Wahid menyatakan jelang pemungutan suara Pemilu 2024 pada 14 Februari 2024 perkembangan politik nasional menunjukkan tanpa rasa malu praktik penyalahgunaan kekuasaan.

Di UGM, Petisi Bulaksumur dibacakan oleh Guru Besar Fakultas Psikologi, Prof. Koentjoro, Ph.D, yang didampingi oleh sejumlah pilihan Guru Besar, akademisi dan alumni serta aktivis.

“Kami menyesalkan tindakan-tindakan menyimpang yang justru terjadi  dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang juga merupakan bagian dari Keluarga Besar Universitas Gadjah Mada. Pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi, keterlibatan sejumlah aparat penegak hukum dalam proses demokrasi perwakilan yang sedang berjalan dan pernyataan kontradiktif Presiden tentang  keterlibatan pejabat publik dalam kampanye politik antara netralitas dan keberpihakan merupakan wujud penyimpangan dan ketidakpedulian akan prinsip demokrasi,” ungkapnya.

BACA JUGA  Cyber Terrorism: Ketika Media Sosial Menjadi Alat Penyebaran Terorisme

Dari beberapa sikap tegas para akademisi di atas, mampukah kita bersikap kritis dengan membaca dan memahami kondisi demokrasi di Indonesia saat ini?

Bagaimana dengan Kita?

“Capek-capek kuliah hukum, milih 02, rugi dong.” Kalimat itu merupakan salah satu konten yang bisa kita lihat di TikTok atas respons kritis dari konten menangis karena Prabowo dan konten pembelaaan kepada gemoy. Dari konten tersebut, saya kira sejalan dengan alasan kehadiran Gibran sebagai Cawapres dari Prabowo yang sudah sejak awal melanggar konstitusi. Selain itu, mendekati hari-hari Pemilu, masyarakat dihadapkan dengan sikap Jokowi sebagai presiden dengan pernyataan-pernyataan yang mengarah untuk mendukung. Tentu, ini tidak lepas dari hubungan antara dirinya dengan anaknya, yang sedang maju sebagai Cawapres.

Kalimat di dalam konten di atas sebenarnya bukan sekedar konten, melainkan sebuah sikap singkat kritis untuk kita lebih reflektif memahami persoalan demokrasi di Indonesia. Praktik politik yang terjadi pada Indonesia menjelang Pemilu, membawa pada kondisi kemunduran demokrasi karena semakin jauh dari nilai kebajikan dan tidak lagi dibingkai sebagai sarana melayani kepentingan bangsa dan negara, melainkan kepentingan pribadi.

Kalau kita pahami pada masa saat ini, setidaknya yang paling bisa dilihat adalah terciptanya tirani. Tirani tidak selalu berarti pemerintahan yang buruk, namun adalah kekuasaan yang dipegang seseorang yang klaimnya atas kekuasaan tidak berdasarkan keturunan.

Tren TikTok dengan FYP sebagai acuan agar banyak yang meniru, setidaknya harus sejalan dengan hati nurani kita sebagai bangsa Indonesia.

Sebagai pemilih cerdas, lahir dari ruang perkuliahan dan ruang akademis yang membantu menajamkan cara pikir kritis, kita menolak politik dinasti yang sudah diciptakan oleh rezim Jokowi. TikTok yang kita manfaatkan buat kampanye harus sejalan dengan sikap bijak kita sebagai masyarakat Indonesia. Tentu, ini perlu kita terapkan pada akun TikTok kita masing-masing sebagai pengguna. Meski begitu, siapapun yang menjadi pilihan kita pada 14 Februari mendatang, persaudaraan, perkawanan, bahkan kekeluargaan jangan sampai putus. Kita tetap satu, di bawah naungan NKRI. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru