29.5 C
Jakarta

Persatuan Melampaui Kepentingan: Telaah Rekonsiliasi Politik Kebangsaan

Artikel Trending

Milenial IslamPersatuan Melampaui Kepentingan: Telaah Rekonsiliasi Politik Kebangsaan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Bersamaan dengan menangnya Prabowo Subianto dalam Pemilu 2024, terjadi kegemparan masyarakat ketika Ketum Partai NasDem Surya Paloh mengucapkan selamat. Pasalnya, Paloh adalah rival Prabowo dalam Pilpres kemarin. Masyarakat semakin keras mencibir di media sosial ketika Prabowo berkunjung ke Kantor NasDem dan disambut karpet merah. Benarkah politik kebangsaan tengah krisis?

Pertanyaan ini hadir sebagai respons atas maraknya caci-maki masyarakat di media sosial. Warganet masih terjebak dalam polarisasi politik dan saling hujat satu sama lain. Sama sekali tidak ada sinyal menuju persatuan, sekalipun elite politisi sudah menunjukkan sinyal rekonsiliasi. Komitmen atas “kepentingan” seolah melampaui segalanya, bahkan berada di atas komitmen atas “persatuan”. Tentu, ini ironi.

Masyarakat masih minim literasi politik. Boleh jadi, itu faktor pemicu utamanya. Mereka masih buram untuk memahami bahwa persatuan bangsa berada di atas segala kepentingan, sehingga rekonsiliasi politik demi agenda-agenda kebangsaan masih disikapi secara skeptis cum stigmatis. Bahwa ketika preferensi politik pra-Pemilu berbeda, masyarakat masih beranggapan bahwa perbedaan tersebut permanen.

Untuk itu, sebagai edukasi politik pada masyarakat, menelaah rekonsiliasi politik merupakan agenda yang perlu diinisiasi bersama. Persatuan tidak boleh dipandang secara negatif, dan perpecahan sebab politik tidak boleh dianggap sebagai konsistensi sikap politik. Justru, perpecahan harus dileburkan ke dalam semangat persatuan. Itulah pangkal spirit nasionalisme yang akan menuntun Indonesia menuju kejayaan.

Rekonsiliasi kebangsaan merupakan agenda yang mendesak. Hal itu tidak dapat disangkal, sehingga apa pun yang terjadi ke depan, misalnya ada partai selain NasDem yang juga memberi sinyal dukungan terhadap pemimpin terpilih, masyarakat mesti menahan diri dari komentar yang destruktif. Terlepas dari apa pun preferensi politiknya, masyarakat mesti memiliki komitmen teguh untuk menghindari perpecahan dan merajut persatuan.

Hindari Pecah-Belah

Tidak dapat dipungkiri, bangsa ini, terutama pasca-Pemilu, berada dalam bayangan polarisasi dan perpecahan. Lanskap sosial-politik yang semakin acakadul mengharuskan antisipasi ancaman terpecahnya bangsa—robeknya kain persatuan dalam masyarakat. Polarisasi, yang disebabkan oleh berbagai faktor termasuk ideologi politik dan disparitas sosial ekonomi, merusak fondasi kebangsaan dan identitas nasional.

Di tengah-tengah masalah tersebut, terdapat panggilan urgen untuk proaktif menangkal polarisasi dan membina kohesi masyarakat. Ini memerlukan pendekatan yang beragam yang dimulai dengan mempromosikan rekonsiliasi politik, dialog inklusif, hingga gotong-royong kebangsaan menuju Indonesia maju. Dengan menciptakan ruang untuk rekonsiliasi, kesenjangan dan pecah-belah masyarakat yang mengancam akan terselesaikan.

Selain itu, diperlukan kerangka kerja legislasi dan kebijakan yang kokoh untuk melindungi hak-hak dan martabat semua warga negara, terlepas dari latar belakang atau keyakinan mereka. Menegakkan prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, dan menghormati hak asasi berfungsi sebagai benteng terhadap kekuatan perpecahan dan diskriminasi. Pemerintah harus hadir mengayomi dan bukan sebaliknya: menindas.

BACA JUGA  One Ummah: Doktrin Neo-HTI yang Menyalahi Al-Qur’an

Pendidikan juga memiliki peran penting dalam memupuk toleransi dan pemikiran kritis generasi masa depan. Penanaman rasa persatuan yang melampaui perbedaan-perbedaan, baik strata sosial maupun preferensi politik untuk memperkuat ikatan nasional bangsa merupakan sesuatu yang niscaya. Pada saat yang sama, suara moderasi mesti diarusutamakan—untuk mengakhiri fanatisme politik.

Intinya, pentingnya mengantisipasi polarisasi dan perpecahan bangsa tidak bisa dianggap remeh-temeh. Ini merupakan kewajiban kolektif: warga, pemimpin, dan lembaga-lembaga pemerintahan. Persatuan mengantisipasi pertikaian, dan harmoni bangsa menangkal perpecahan. Sudah saatnya melupakan segala perbedaan di masa lalu, atau beberapa waktu lalu sebelum Pemilu. Sekarang, alih-alih terpecah-belah, saatnya bangsa ini bersatu.

Persatuan Bangsa

Sebagai negara dengan pluralitas kultural, Indonesia telah mengalami perjalanan panjang menuju persatuan yang kokoh. Namun demikian, tantangan polarisasi politik yang menganga dan memecah-belah masyarakat menjadi keresahan kolektif. Padahal, bangsa ini membutuhkan kekuatan persatuan untuk mewujudkan Indonesia maju. Maju negaranya, sejahtera bangsanya—bukan sejahtera para elitenya belaka.

Pilihan politik tidak boleh menjadi pemisah atau sekat persatuan. Seluruh elemen bangsa memiliki tujuan yang sama: membangun Indonesia yang lebih baik untuk semua, tanpa pandang bulu. Menghargai perbedaan pilihan politik memang wajib, namun tetap bersatu sebagai satu bangsa adalah pilihan satu-satunya. Bukankah oposisi itu penting? Betul. Namun oposisi pun mesti dalam spirit nasionalisme.

Faktanya, oposisi di negara ini kerap dimanfaatkan oleh kalangan yang anti-NKRI dan Pancasila. Akibatnya, tidak hanya persatuan yang terancam, tetapi juga kemajuan Indonesia itu sendiri. Demikian karena semuanya sibuk berdebat dan memperkeruh suasana, hingga kehilangan fokus pada hal-hal yang benar-benar krusial: pembangunan, kesejahteraan rakyat, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Karena itu, fanatisme politik harus dibuang jauh-jauh—kunci mempertahankan persatuan. Fanatisme politik telah menghalangi dialog konstruktif, meracuni pikiran bangsa dengan prasangka negatif, dan menghambat upaya kolektif menuju kemajuan. Pemerintah, partai politik, media, dan pemimpin masyarakat memiliki tanggung jawab besar dalam mempromosikan persatuan dan mencegah perpecahan.

Dalam konteks itulah kerja sama lintas partai untuk kepentingan nasional dan kepentingan rakyat menemukan momentumnya. Pertemuan Prabowo sebagai presiden berikutnya dengan Surya Paloh, misalnya, harus dipandang sebagai terobosan persatuan yang urgen. NasDem tetap berhak mengajukan gugatan ke MK tentang Pemilu, namun sebagai representasi masyarakat ia harus meletakkan nasionalisme di atas segalanya.

Hindari perpecahan dan mari bersatu. Mari berekonsiliasi dan bekerja bersama menuju kemajuan Indonesia.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru