29.5 C
Jakarta

One Ummah: Doktrin Neo-HTI yang Menyalahi Al-Qur’an

Artikel Trending

Milenial IslamOne Ummah: Doktrin Neo-HTI yang Menyalahi Al-Qur’an
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – “Saatnya untuk menjadi satu umat.” Kalimat ini tampak heroik dan memuat semangat perjuangan. Para oratornya, yang hari-hari ini tengah menjadi sorotan, adalah para aktivis khilafah—terutama dari kalangan HTI. Cita-cita mereka menegakkan negara Islam menggunakan sejumlah narasi, dan konsep satu umat (one ummah/ummah wahidah) paling sering didengar. Apa itu one ummah dan bagaimana menyikapinya?

Sebelum ke situ, penting digarisbawahi bahwa istilah HTI sepertinya tidak lagi relevan. Organisasi tersebut sudah dibubarkan dan terlarang, dan gerakan mereka tidak lagi seperti dulu—sebelum ilegal. Istilah yang relevan saat ini ialah neo-HTI. Ada sejumlah alasan mengapa itu lebih cocok digunakan. Neo-HTI memiliki strategi propaganda yang lebih smooth, lebih masif, dan lebih efektif.

One ummah yang neo-HTI narasikan adalah sebuah ajakan untuk bersama-sama membangun komunitas tunggal di dunia, yaitu “khilafah”. Dalam konsep neo-HTI, one ummah merupakan payung besar umat Islam yang menyatukan mereka dalam satu bendera—sebagaimana yang selama ini Hizbut Tahrir perjuangkan. One ummah menjadi semacam antitesis atas dominasi Barat yang dianggap mendiskreditkan Islam.

Bagaimana menyikapinya? Secara istilah, one ummah atau ummah wahidah beberapa kali disebutkan dalam Al-Qur’an. Untuk itu, melihat istilah tersebut secara genealogis merupakan sesuatu yang penting. Sebab, neo-HTI selalu pakai jurus syariat untuk mengonter lawan mereka. Mereka menuduh orang-orang yang tidak setuju one ummah sebagai musuh Islam. Karenanya, mengkaji one ummah dalam Al-Qur’an adalah sesuatu yang urgen.

One Ummah dalam Al-Qur’an

Istilah one ummah bagi HTI berarti persatuan umat Islam di seluruh dunia dalam satu panji: khilafah. Namun demikian, dalil yang mereka pakai adalah persatuan umat Islam secara umum—yang memang diperintahkan Al-Qur’an. Sebagai contoh, neo-HTI menggunakan firman Allah Swt. tentang persaudaraan orang beriman (Al-Hujurat [49]: 10), keniscayaan persatuan Islam (Ali Imran [3: 103), dan persatuan umat Muslim (Al-Anfal [8]: 62-63).

Tidak ada yang salah dengan ayat-ayat tersebut. Tetapi jika tidak teliti, susah untuk memahami bahwa neo-HTI telah mempolitisasi ketiga ayat tersebut menjadi ayat khilafah. Padahal, yang Allah Swt. tegaskan di situ adalah persatuan umat Muslim dalam hal muamalah: interaksi sesama. Permusuhan dan perpecahan dilarang, dan umat Islam memang diperintahkan untuk damai dan rukun sebagai orang-orang yang beriman.

Di situlah letak kekeliruan neo-HTI. Al-Qur’an memerintahkan umat Islam untuk bersatu dalam ikatan sosial, namun oleh neo-HTI dipelintir menjadi bersatu dalam sistem politik—sungguh politisasi ayat yang meresahkan. Lantas bagaimana sebenarnya Al-Qur’an memandang gagasan one ummah?

Term ummah wahidah sendiri disebutkan sembilan kali dalam Al-Qur’an. Penyebutannya terbagi dua, antara yang mengafirmasi dan menegasikannya. Allah Swt. mengafirmasi ummah wahidah dalam surah Al-Baqarah [2]: 213, Yunus [10]: 19, Al-Anbiya’ [21]: 92, dan Al-Mu’minun [23]: 52. Pada keempat ayat tersebut, ditegaskan bahwa manusia mulanya adalah satu umat namun kemudian tercerai-berai.

Satu umat apa yang Al-Qur’an maksud? Jelas: ketauhidan. Sejak era Adam, manusia dituntut untuk menganut monoteisme: menyebah Allah satu-satunya. Seiring waktu, manusia terpecah hingga lahirlah Yahudi dan Kristen. Islam datang membawa kalimat tauhid, namun tidak untuk memaksakan umat manusia dalam satu agama. Itulah garis besar keempat ayat tadi, bahwa umat beragama itu pada awalnya serumpun (one ummah/ummah wahidah).

BACA JUGA  Khilafah di Indonesia: Antara Ghirah Keislaman dan Kecemasan Berbangsa-Bernegara

Meskipun serumpun, Allah Swt. menegaskan bahwa Dia memang tidak menghendaki dunia ini menjadi one ummah, sebagai cobaan siapa yang akan kembali pada-Nya dalam keadaan saleh dan beriman. Hal itu ditegaskan dalam lima ayat Al-Qur’an, yaitu surah Al-Maidah [5]: 48, Hud [11]: 118, Al-Nahl [16]: 93, Al-Syura [42]: 8, dan Al-Zukhruf [43]: 33. Allah Swt. menegaskan bahwa perbedaan umat itu memang kehendak-Nya.

Artinya, perbedaan merupakan sunatullah. Al-Qur’an tidak mengajarkan—apalagi menganjurkan—umat Islam untuk membasmi perbedaan di dunia ini dengan memaksakan konsep one ummah. Al-Qur’an sekadar menyinggung bahwa awalnya manusia memang satu umat, namun Allah Swt. menghendaki keberagaman. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa konsep one ummah neo-HTI berseberangan dengan ajaran Al-Qur’an.

Seandainya yang neo-HTI upayakan itu adalah persatuan sosial, maka seluruh umat Islam harus setuju. Al-Qur’an memang melarang perpecahan, baik antarumat Muslim maupun antarumat beragama. Namun jika neo-HTI memaksakan konsep one ummah untuk mendirikan khilafah: satu negara, satu panji, dan satu sistem pemerintahan, maka itu harus dilawan. Sebab, gagasan tersebut sangat jelas menyalahi sunatullah dan Al-Qur’an.

Selain itu, konsep one ummah neo-HTI tidak hanya berseberangan dengan Al-Qur’an, tetapi juga dengan realitas Indonesia itu sendiri. Di negara majemuk yang di dalamnya terdapat empat agama selain Islam, yakni Kristen, Hindu, Buddha, dan Khonghucu, mendirikan khilafah sebagai wadah one ummah merupakan upaya disintegrasi bangsa. Menentang Al-Qur’an dan memecah-belah Indonesia, itulah one ummah ala neo-HTI.

One Ummah untuk Indonesia

Wacana one ummah neo-HTI yang diproyeksikan sebagai sistem politik berdasarkan prinsip-prinsip dinasti dan otoritarianisme merupakan antitesis demokrasi di Indonesia. Kendati mayoritas penduduknya Muslim, Indonesia memiliki beragam agama dan budaya—sebagaimana disinggung tadi. Ini alasan yang normatif namun faktual. Kecuali ingin terjadi separatisme besar-besaran, Indonesia harus diselamatkan dari propaganda one ummah.

Tuduhan segelintir orang bahwa demokrasi di negara ini mengarah pada sekularisme dan liberalisme juga tidak memiliki dasar yang kuat. Semua itu merupakan stigmatisasi yang dibuat para aktivis neo-HTI untuk menciptakan ilusi di kalangan umat Muslim tentang urgensi khilafah, tentang pentingnya one ummah, dan tentang tidak layaknya demokrasi. Demi ambisi kekuasaan, neo-HTI menyesatkan umat Islam.

Itulah tantangan Indonesia saat ini. Para aktivis khilafah terus berusaha mempromosikan ide-ide one ummah melalui pendidikan, dakwah, dan diskusi publik—seperti metamorfoshow beberapa waktu lalu. Di negara ini, one ummah merongrong identitas nasional dan prinsip-prinsip demokrasi. Dan dalam konteks sebagai titik tolak kebangkitan neo-HTI, tidak ada yang perlu dilakukan selain melawannya. Mari selamatkan Indonesia.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru