32.5 C
Jakarta

Menyikapi Wacana Kontrol Tempat Ibadah

Artikel Trending

EditorialMenyikapi Wacana Kontrol Tempat Ibadah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Rycko Amelza ingin tempat ibadah dikontrol pemerintah. Menurutnya, usulan tersebut demi mencegah radikalisme. Ia ingin meniru aturan di Malaysia, Singapura, beberapa negara di Timur Tengah hingga Afrika. Sontak, ide Kepala BNPT itu menjadi kontroversi di masyarakat. Tanggapan datang dari sejumlah pihak, seperti dari PKS dan MUI.

Untuk diketahui, usulan tersebut Rycko sampaikan saat menanggapi pernyataan anggota DPR Fraksi PDIP, Safaruddin, yang menyinggung kasus karyawan PT KAI terduga teroris. Menurut Safaruddin, ada juga masjid di BUMN daerah Kalimantan Timur yang selalu mengkritik pemerintah. Rycko kemudian mengusulkan, kontrol pemerintah terhadap tempat ibadah dapat menjadi solusi kontra-radikalisme.

Anggota Komisi III DPR RI, fraksi PKS, Aboe Bakar Alhabsyi, langsung berkomentar bahwa itu pemikiran sesat. Apalagi menurutnya jika usulan tersebut bertujuan agar tempat ibadah tidak menjadi sarang radikalisme. Usulan tersebut ia nilai seolah menuduh bahwa tempat ibadah adalah sarang terorisme.  “Pasti ini akan menyinggung kalangan umat beragama,” ucapnya.

Alhabsyi meminta agar BNPT tidak menggeneralisasi semua tempat ibadah sebagai lokasi yang rentan radikalisasi. Faktanya, menurutnya, pernah ada tiga anggota polisi yang ditangkap lantaran diduga terlibat jaringan teroris di Bekasi. Jadi masalahnya bukan pada tempat, namun manusianya. Tanggapan tersebut sangat logis dan perlu dipertimbangkan. Terlepas dari latar belakang PKS itu sendiri.

Selain Alhabsyi, salah satu petinggi MUI, Cholil Nafis menyampaikan, keberadaan negara adalah untuk menjamin kebebasan umat beragama dalam beribadah dan menjalankan keyakinannya. Usulan yang disampaikan oleh BNPT itu, menurutnya, adalah bentuk kendali pemerintah terhadap aktivitas beribadah, sehingga tidak didapati lagi kebebasan beragama lagi sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.

“Ini cenderung akan meligitimasi pemerintah, mungkin kritik aja nanti akan susah. Biasanya karena adanya kezaliman dan pemaksaan oleh pemerintah kepada umat beragama. Serahkan kepada ormas keagamaan dalam melakukan pembinaan, jadikanlah ormas itu sebagai mitra pemerintah,” tegas ulama asal Madura.

Bagi Cholil, segala permasalahan mesti dikembalikan kepada undang-undang dasar. Kritik juga dibutuhkan untuk kebaikan. Sekalipun terjadi pelanggaran di sana, kata Cholil, negara sudah memiliki instrumen hukum sebagai aturan penyelesaiannya. Artinya, ia sangat menentang wacana kontrol tempat ibadah yang Rycko dan BNPT usulkan ke DPR. Lalu, bagaimana seharusnya wacana ini disikapi?

Berbicara tentang kontrol-mengontrol, mayoritas masyarakat Indonesia akan diingatkan kembali pada masa-masa mencekam rezim Orde Baru. Kala itu, suara umat beragama, terutama Islam, dibungkam total. Masjid diawasi aparat, sehingga kritik sekecil apa pun tidak akan pernah ditemukan. Tidak ada yang berani, karena risikonya akan ditangkap rezim. Karena preseden itulah, ada semacam paraoia dalam masyarakat tentang kata “kontrol”.

BACA JUGA  Metamorfoshow: Indoktrinasi Ajaran HTI Kembali Terjadi

Lebih-lebih di era Reformasi, kebebasan berekspresi adalah keniscayaan. Umat beragama tidak dikekang oleh konstitusi untuk menebarkan apa pun, selama tidak bertentangan dengan prinsip persatuan dan kesatuan. Mirip kebebasan pers, kebebasan dakwah di masjid bahkan kerap tidak terkontrol. Namun demikian, masyarakat hidup dengan tenang dan tanpa dibayangi ketakutan akan sikap represif rezim.

Untuk itu, terkait wacana tempat ibadah, ada tiga solusi yang dapat diterapkan BNPT jika kebijakan tersebut akan dilanjutkan. Pertama, kata “kontrol” diganti dengan istilah yang lebih persuasif. Misalnya, “moderasi” tempat ibadah. Kata kontrol sudah negatif, represif, sehingga akan mendapat penolakan seluruh pihak, sekalipun BNPT sudah menegaskan bahwa maksud mereka bukanlah membungkam kebebasan umat beragama.

Kedua, jangan hanya musala dan masjid. Selama ini, ada persepsi di masyarakat bahwa radikalisme dan terorisme itu hanya dilakukan umat Muslim. DPR dari PDIP yang berbicara ke Rycko soal radikalisme tempat ibadah juga naif karena mengarusutamakan masjid sebagai sarang kaum radikal dan kritik pemerintah sebagai tolok ukur kebijakan. Untuk itu, gereja dan tempat ibadah non-Muslim juga disterilisasi.

Ketiga, tolok ukur penindakannya bukan kritik pemerintah. Ini yang dapat menjadi bumerang terhadap pemerintah jika kebijakan control ibadah dilanjutkan: “kritik pemerintah” dijadikan titik tolak penindakan. Ini artinya ada upaya menyamakan kritik dengan radikalisme, dan melarang kritik karena dianggap tindakan radikal. Ini jelas kecacatan berpikir dan kegoblokan yang dapat memancing emosi umat. Tidak heran Cholil nafis bersuara.

Artinya, wacana kontrol tempat ibadah itu tidak pernah jadi masalah selama beberapa hal tentangnya perlu dikaji dengan serius. BNPT, jika memang hendak menggagas ini, tidak bisa ujug-ujug kirim aparat dan sejenisnya untuk mengontrol kegiatan keagamaan. Selain itu, yang perlu dikontrol adalah radikalisme, ekstremisme, dan terorisme—bukan kritik pemerintah. Selama kritiknya konstruktif, maka ia bukan masalah.

Kritik adalah sebagian dari upaya kontrol persatuan dan kesatuan, yakni demi NKRI itu sendiri. Radikalisme itu bukan kritik. Bahwa kaum radikal kerap menjelekkan pemerintah, itu adalah bagian dari doktrin. Maka, perlu dilihat lagi kritik yang muncul di tempat ibadah: apakah dapat menjadi evaluasi pemerintah, atau justru mendestruksi posisinya sebagai bagian inheren dari NKRI. Jika kritiknya logis dan konstruktif, mengapa tidak?

Akhiran, masyarakat harus melihat wacana kontrol tempat ibadah dengan kepala yang dingin. Pemerintah, termasuk BNPT, menginginkan yang terbaik untuk stabilitas nasional. Begitu juga kritik terhadap pemerintah dapat menjadi bahan kontrol atas roda pemerintahan itu sendiri. Yang mesti digarisbawahi bersama ialah pentingnya kontra-radikalisme yang di antaranya hari ini bergema di tempat ibadah. Radikalisme yang dilawan, bukan kritik umat.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru