28.4 C
Jakarta

Idulfitri: Kembali ke Fitrah Keagamaan dan Kebangsaan

Artikel Trending

EditorialIdulfitri: Kembali ke Fitrah Keagamaan dan Kebangsaan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Apa yang membuat Hari Raya Idulfitri tahun ini berbeda dari tahun sebelumnya? Pertanyaan reflektif semacam itu penting kita ajukan. Apakah hari raya ini benar-benar hari kemenangan bagi kita atau justru sebaliknya; masih banyakkah tugas yang harus kita selesaikan? Keberislaman kita yang sering kali terjerembab situasi politik, umpamanya, harus dicarikan pemecahannya. Apalagi situasinya sekarang benar-benar di titik nadir—residu Pemilu 2024.

Situasi politik menyeret kita ke area pertengkaran antarsesama: konflik horizontal. Ketidaksamaan pilihan politik menjerumuskan kita ke dunia hujat-menghujat, baik dengan dalih membela agama maupun membela bangsa. Keagamaan dan kebangsaan kita jadi menyeramkan: percekcokan, kebencian, cibiran, bahkan fitnah. Apakah, dengan keadaan semacam itu, umat Islam layak merayakan Idulfitri?

Idulfitri semestinya tidak dimaknai secara sempit sebagai kemenangan melawan hawa nafsu selama bulan Ramadan. Ada kemaslahatan yang tidak kalah penting untuk digapai, yaitu kemaslahatan beragama dan berbangsa itu sendiri. Bagaimanapun, kesalahan ihwal keduanya juga manifestasi kekalahan nafsu kita. Membela agama, membela bangsa, atau justru membela nafsu sendiri?

Substansi beragama adalah mengamalkan kemanusiaan dan penghambaan, sementara berbangsa artinya menyemai persatuan dan perdamaian. Apakah semua itu kini sudah terpenuhi? Bagaimana dengan percekcokan di media sosial: kita bersalaman dengan sanak famili di Hari Raya Idulfitri tetapi ketika buka media sosial kita kembali menebar kebencian? Merugikan.

Hari Raya Idulfitri kali ini merupakan momentum yang pas untuk membenahi semuanya, semua kesalahan kita dalam beragama dan berbangsa. Pemilu 2024 yang telah membatasi ruang interaksi kita dengan keluarga dan sahabat, mentransmisikan pergaulan kita pada media sosial saja, tidak boleh menjadi pemantik ketidakakuran di new media itu sendiri.

Berislam dengan wajah garang, suka menebar kebencian, apalagi memprovokasi masyarakat, itu semua keluar dari khitah ideal Islam itu sendiri. Narasi khilafah ala Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sebagai contoh, juga murni politik dan tentu saja juga jauh dari esensi keagamaan. Fitrah beragama boleh jadi kita abaikan, yaitu moderasi. Sementara moderasi beragama dikesampingkan, eksklusivisme beragama justru kita arusutamakan. Salah fatal.

Maka, di Hari Raya Idulfitri ini, kita harus kembali ke fitrah.

Kita tidak perlu menyebut polemik apa yang tengah mencederai keberagamaan dan kehidupan berbangsa. Terlalu banyak bukti di sekitar kita. Sakralitas agama dan kedaulatan bangsa tergerus, dan kita beranggapan bahwa semuanya baik-baik saja. Alih-alih membawa ke garis yang dekat dengan Tuhan, kita malah terpental jauh menyalahi aturan-Nya.

BACA JUGA  Metamorfoshow: Indoktrinasi Ajaran HTI Kembali Terjadi

Kemanusiaan di negara kita belum utuh, dan persatuan belum terawat penuh. Artinya, kita belum ada di hari kemenangan sejati: banyak kewajiban kita sebagai umat dan rakyat belum terpenuhi. Radikalisme, ekstremisme, dan terorisme masih marak. Bukankah itu bukti bahwa cara beragama kita masih salah? Kalau pun bukan kita pribadi tapi orang lain, bukankah kita punya tugas mengatasi ironi tersebut?

Ada orang masuk gereja, tidak sedikit dari kita yang memisuhinya. Seorang yang kontroversial meninggal dunia, sebagian dari kita justru menjadikannya bahan tertawa. Kegiatan beragama jadi pemantik polemik dan langkah menjaga bangsa tertuduhkan tidak lebih sebagai gimik. Alih-alih ciptakan kerukunan, justru kita memantik perpecahan. Bukan mengurai esensi, melainkan mempertontonkan yang periferal.

Fitrah beragama adalah sejauh apa kita dapat jadi seorang hamba yang menebar keadilan dan persatuan. Agama sebagai ketundukan terhadap Zat Yang Mahatinggi mesti menumbuhkan empati kemanusiaan. Bukan saleh ritual belaka, melainkan berusaha untuk saleh sosial, juga. Dalam hal ini, ketaatan terhadap agama kerap kali menegasikan nilai-nilai kebangsaan.

Demikianlah substansi berbangsa. Fitrah kebangsaan adalah pergaulan harmoni tanpa sekat, terutama sekat agama. Menumbuhkan toleransi kepada sesama tanpa melihat latar belakang agama merupakan keniscayaan, sehingga hujatan antarsesama tidak menghantui lagi. Berbangsa artinya bersatu, yaitu ber-Indonesia, maka narasi yang berseberangan dan mencederainya harus dikonter bersama.

Maka sekali lagi, di Hari Raya Idulfitri ini kita harus kembali ke fitrah.

Kita harus beragama dengan mengamalkan wasathiyah, moderasi beragama, dan berbangsa dengan mengedepankan kepentingan persatuan. Itulah fitrah beragama. Kalau sebagian dari kita masih bermimpi menegakkan khilafah dan melakukan teror yang dampaknya adalah mafsadah, kerusakan, kita belum laik merayakan Idulfitri. Sangat tidak pantas.

Begitu pula kalau kita masih sibuk menjelekkan orang yang tidak sepaham, menyulut api perpecahan antarsesama rakyat, kita masih belum kembali ke fitrah berbangsa. Boleh jadi, kita hanya ikut-ikutan ke masjid, mengumandangkan takbir bukti kemenangan tetapi hakikatnya kita dalam kekalahan.

Maka, mari kita lakukan pertanyaan reflektif sebagai warga negara: pada momentum Hari Raya Idulfitri ini, apakah kita benar-benar sudah berada di garis fitrah? Atau justru kita berada dalam jeratan propaganda radikal-terorisme atau indoktrinasi transnasionalisme?

Segenap Redaksi Harakatuna mengucapkan Selamat Hari Raya Idulfitri 1445 Hijriah. Taqabbalallah minna wa minkum shiyamana wa shiyamakum. Kulla ‘am wa antum bi khayr.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru