32.5 C
Jakarta

Menyelisik Intoleransi sebagai Titik Tolak Terorisme

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMenyelisik Intoleransi sebagai Titik Tolak Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Dari Radikalisme Menuju Terorisme (Studi Relasi dan Transformasi Organisasi Islam radikal di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta), Penyusun: Tim SETARA Institute, Editor: Ismail Hasani & Bonar Tigor Naipospos, Penerbit: Pustaka Masyarakat Setara, Tebal Buku: 328 halaman. Peresensi: Albertus Wahyurudhanto.

Harakatuna.com – Buku-buku tentang terorisme sudah banyak yang diterbitkan. Berbagai analisis dikemukakan dalam buku-buku yang sudah diterbitkan. Namun buku yang satu ini mempunyai sisi menarik, karena merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Penelitian yang mengambil fokus tentang organisasi Islam radikal di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta dilakukan dengan mengombinasikan dua pendekatan, kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dengan metode survei dilakukan di dua wilayah dengan 1.200 responden, dan studi kualitatif dilakukan dengan metode wawancara ke berbagai sumber yang relevan (hlm. 4).

Penelitian yang kemudian menjadi naskah buku ini sejak awal sudah mempunyai tujuan untuk mengetahui relasi dan transformasi kelompok radikal dengan kelompok teroris. Selain itu, juga dalam rangka menyusun langkah-langkah deradikalisasi untuk mengikis radikalisme, dan memberantas potensi terorisme guna mengokohkan implementasi empat pilar hidup berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan dan cita-cita nasional Indonesia.

Jadi sejak awal sebelum penulisan buku ini, sudah disadari bahwa formulasi Empat Pilar Hidup Berbangsa dan Bernegara yang terdiri dari Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai tolok ukur penyelenggaraan negara, tetap saja belum mampu mengatasi radikalisme. Studi yang dilakukan pun sejak awal sudah mengembangkan asumsi dasar bahwa intoleransi adalah titik awal dari terorisme, dan terorisme adalah puncak dari intoleransi (hlm. 187).

Bertolak dari asumsi dasar inilah studi dilakukan, sehingga memang pemikiran-pemikiran mengenai praktik deradikalisasi dan arah deradikalisasi sangat mendominasi analisis dan pembuktian-pembuktian dari temuan yang merupakan hasil dari studi ini.

Disebutkan bahwa deradikalisasi bukanlah hal baru bagi Indonesia. Dalam konteks gerakan Islam radikal, deradikalisasi terhadap eks-NII, Komando Jihad, Mujahidin Kayamanya, Laskar Jihad, dan Jama’ah Islamiyah merupakan contoh dan pembelajaran bagi kinerja deradikalisasi yang saat ini gencar dilakukan (hlm. 191).

Tontonan Global

Jika melihat kecenderungan yang terjadi, para pelaku teror berharap, aksi mereka akan menjadi “tontonan global” yang disaksikan jutaan orang di mana-mana. Karena, semakin banyak dan gencar media massa menyebarluaskannya, semakin dahsyat pula efek negatif yang ditimbulkannya. Jika hal itu tercapai, maka para pelakunya berharap dapat memperoleh keuntungan politik (politicus horrobilis) atau melakukan pertukaran politik (political exchange) demi mencapai tujuannya.

Walter Laqueur, dalam tulisannya berjudul “Reflections on Terrorism”, yang dimuat di buku yang berjudul “The Global Agenda, Issues And Perspectives”, menyebutkan aksi terorisme biasanya melibatkan sejumlah orang, tapi hanya dalam kelompok kecil saja. Sebagai paham, ia meniscayakan kekerasan sebagai jalan untuk mencapai tujuan-tujuannya, baik yang bersifat politik, agamis, motif balas dendam, dan lain sebagainya.

BACA JUGA  Felix Siauw dan Propaganda Khilafah di Indonesia

Karena itulah ia juga dapat digolongkan sebagai kekerasan kolektif, sedangkan sebagai kejahatan ia merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Berdasarkan itu, sebenarnya hal yang wajar jika secara yuridis ia harus diperhadapkan dengan produk hukum yang “luar biasa” pula.

Dalam perspektif politik, akar terorisme, salah satunya, adalah ekstremisme. Orang dengan isme ini merasa dirinya lebih unggul dari orang lain yang tidak sama atau sekelompok dengan mereka. Sebaliknya, mereka memandang orang-orang lain jauh lebih rendah atau dengan cara yang melecehkan.

Sebagaimana temuan studi yang ditulis di buku ini, bahwa intoleransi adalah titik awal dari terorisme, maka kerja-kerja deradikalisasi tidak cukup hanya diarahkan terhadap mereka yang menjadi teroris. Tapi juga terhadap kelompok organisasi radikal, kelompok intoleran, termasuk masyarakat luas agar tidak mengikuti pandangan radikal dan mengalami transformasi sebagai teroris (hlm. 193).

Hasil studi memberikan kesimpulan bahwa program deradikalisasi harus diarahkan secara fokus kepada tiga kelompok. Pertama, masyarakat umum, dengan tujuan untuk melindungi masyarakat agar tidak mengikuti pandangan keagamaan yang eksklusif dan puritan dan agar tidak ikut terlibat dalam aksi-aksi radikal dan intoleran. Dalam bahasa BNPT, kegiatan semacam ini masuk dalam kategori kontra-radikalisasi.

Kedua, pada kelompok radikal, yang dimaksudkan untuk menjinakkan sejumlah ideologi radikal yang diyakini oleh mereka dengan menggunakan kontra-narasi. Salah satu dari ideologi radikal yang harus dijinakkan adalah ajaran mati syahid yang disalahpahami oleh para teroris. Ketiga, kelompok jihadis atau teroris. Deradikalisasi dalam konteks ini dimaksudkan untuk memutus para mantan teroris dari kelompoknya, hingga mereka tidak kembali melakukan aksi kekerasan.

Menyelamatkan Keluarga

Pada bagian akhir dari buku ini ditegaskan, bahwa kunci utama dari aktor deradikalisasi adalah pemerintah. Dengan segenap agenda pembangunan yang dijalankannya, program-program pemerintahan yang mendorong pembangunan masyarakat yang toleran, moderat, dan rukun harus diintensifkan sebagai bagian dari upaya menekan laju radikalisme dan terorisme (hlm. 201).

Karena deradikalisasi tak hanya dimaksudkan untuk menyelamatkan masyarakat luas dari aksi-aksi radikalisme dan terorisme, melainkan juga dimaksudkan untuk menyelamatkan keluarga pelaku aksi terorisme bahkan juga diri pelaku.

Buku ini mempunyai kekuatan karena merupakan hasil riset di wilayah penelitian yang memang sarat dengan kasus terorisme. Deradikalisasi adalah jawabannya. Namun buku ini juga menunjukkan banyak faktor yang menjadikan deradikalisasi dalam praktiknya akan mengalami banyak hambatan karena yang dihadapi adalah menjinakkan pemikiran.

Terlepas dari itu semua, kehadiran buku ini akan membuka banyak pemikiran bahwa deradikalisasi harus dijalankan tentu dengan berbagai hambatan yang harus diupayakan bisa diatasi, karena tujuan utamanya adalah menjaga tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara.

Albertus Wahyurudhanto
Albertus Wahyurudhanto
Komisioner Kompolnas. Dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK – PTIK).

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru