30.2 C
Jakarta

Mengoreksi Kaum Jihadis dalam Memahami Hadis

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMengoreksi Kaum Jihadis dalam Memahami Hadis
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis, Penulis: Abdul Karim Munthe, dkk, Penerbit: Yayasan Pengkajian Hadis el-Bukhari, Tebal: xxiv + 170 halaman, ISBN: 978-602-74686-2-7, Peresensi: Wildan Imaduddin.

Harakatuna.com – Bagi sebagian masyarakat Muslim yang belum mendalami ilmu agama, propaganda kelompok radikal tentang jihad dengan menggunakan hadis-hadis Nabi sepertinya sulit untuk dibantah. Setiap Muslim pasti mengakui kedudukan hadis Nabi Muhammad sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Namun, memahami hadis tanpa ilmunya tidak bisa dilakukan secara serampangan, termasuk menyangkut hadis-hadis jihad.

Kelompok radikal yang dimaksud adalah Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Dengan memakai hadis seputar hijrah, jihad, ghuraba, dan lain-lain, mereka merekrut ribuan anggota dari seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Padahal, hadis-hadis yang dijadikan alat legitimasi oleh mereka itu perlu dikaji ulang. Kalau tidak, banyak umat Islam yang akan terprovokasi dan terjerumus ke dalam radikal-terorisme.

Dalam konteks itulah, para peneliti hadis alumni UIN Jakarta yang tergabung dalam el-Bukhari Institute turut merasakan kekhawatiran akan sepak terjang ISIS memanfaatkan hadis-hadis Nabi untuk kepentingan mereka. Atas tanggung jawab akademik, mereka akhirnya menyusun buku dengan judul Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis untuk menangkal propaganda ISIS itu sendiri.

Tim penyusun buku mendata hadis-hadis yang termuat di Majalah Dabiq, majalah terbitan ISIS sebagai alat propaganda dan dapat diakses online. Para penulis buku ini mengklasifikasikannya menjadi sebelas topik.

Hadis tersebut dikupas secara tuntas dan gamblang dalam bahasa yang ringan dan mudah dipahami. Meski memakai bahasa populer, bobot buku ini tidak berkurang sedikit pun. Demikian karena sumber referensi yang otoritatif disertakan sebagai catatan kaki.

Dalam buku ini diuraikan bahwa untuk memahami hadis sedikitnya diperlukan dua metode. Pertama, kritik sanad untuk melihat sejauh mana hadis itu terpercaya (tsiqah) dari segi periwayatan. Kedua, metode pemahaman hadis yakni dengan melihat konteks kemunculan (asbab al-wurud) dan relevansinya di masa sekarang (hlm. 6).

Ketika memahami hadis tentang hijrah dalam kitab Ahmad dan Abu Dawud, misalnya, dijelaskan bahwasanya salah satu perawi dari jalur periwayatannya lemah (dha’if). Selain bermasalah dari sisi periwayatan, diterangkan pula dari sisi konteks kesejarahan dan fikih. Pada dasarnya hadis tentang hijrah mesti dipahami dalam naungan kebebasan praktik ibadah (hlm. 22).

BACA JUGA  Peran Pesantren dalam Memberangus Radikalisme-Ekstremisme

Contoh lain adalah hadis mengenai jihad dengan berperang. Meskipun dari jalur periwayatan tidak diragukan kesahihannya, tetapi hadis ini tidak serta merta harus diamini begitu saja. Jihad tidak selalu tentang perang, tetapi jihad yang sesungguhnya adalah menebar kebaikan dan perdamaian.

Ditambah lagi perlu dibedakan konteks situasinya. Apakah hadis tersebut muncul dalam situasi konflik atau tidak. Hadis tentang jihad berperang ini semestinya diletakkan di bawah hadis tentang perdamaian, bukan malah sebaliknya (hlm. 32).

Menurut buku ini, kesalahan pemahaman hadis yang diperlihatkan ISIS tidak berhenti pada aspek riwayat dan konteksnya saja. Namun sering kali mereka memotong hadis dengan tidak menyertakan redaksi hadis secara utuh.

Seperti contoh hadis tentang negara Islam, ISIS tidak memperlihatkan semua bunyi hadis. Hadis tersebut berbunyi, Nabi bersabda: “Aku berlepas diri dari setiap Muslim yang bermukim di tengah orang-orang musyrik.” Para sahabat bertanya, “Kenapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Agar api keduanya tidak saling berhadapan.”

Padahal, konteks hadisnya terkait Khalid bin Walid dalam Perang Khats’am. Ia tetap membunuh orang-orang yang sudah menyerah. Kemudian Nabi menghukum pasukan Khalid dengan membayar denda (diyat). Dan bunyi sabda Nabi mengenai berlepas diri, sebenarnya dimaksudkan agar pasukan Khalid tidak tinggal di wilayah konflik. Pemaknaan ISIS malah terbalik, mereka mengajak umat Muslim untuk hijrah ke negara konflik, yaitu Suriah (hlm. 60).

Yang menjadikan buku ini sangat penting, selain karena kontennya, adalah testimoni dari berbagai tokoh tingkat nasional dan internasional. Sebut saja Lukman Hakim Saifuddin (Eks-Menteri Agama), Nadirsyah Hosen (Associate Professor dan Deputy Associate Dean di Monash University Faculty of Law), dan lain lain.

Artinya, buku ini penting karena sudah dibaca oleh orang-orang penting. Maka, segera baca dan selamatkan diri dari propaganda kaum jihadis.

Wildan Imaduddin Muhammad, M.A
Wildan Imaduddin Muhammad, M.A
Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru