29.2 C
Jakarta

Dinamika Zaman dan Sisi Lain Gerakan Radikal

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuDinamika Zaman dan Sisi Lain Gerakan Radikal
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Jawa 1912-1926, Judul Asli: An Age in Motion: Popular Radicalism in Java 1912-1926 (New York: Cornel University Press, 1990), Penulis: Takashi Shiraishi, Penerjemah: Hilmar Farid, Penerbit: Pustaka Utama Grafiti, Cetakan: Cetakan kedua, 2005, Tebal Buku: 504 Halaman, Peresensi: Naspadina.

Harakatuna.com – “Apa itu pergerakan?” Sebuah pertanyaan sederhana yang seketika dapat muncul saat pertama kali kita berjumpa buku dengan judul yang sangat unik, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, yang ditulis oleh seorang tokoh sejarawan bernama Takashi Shirashi.

Dalam buku ini Takashi benar-benar mengupas sejarah kemunculan pergerakan rakyat Indonesia selama seperempat pertama abad kedua puluh. Di mana, melalui ulasan-ulasan dari disertasinya yang begitu detail ini mampu memberikan gambaran dan pelajaran bagi pembaca akan betapa pentingnya sejarah. Mempelajari sejarah bukan hanya berbicara tentang peristiwa masa lalu, baginya sejarah sebagai salah satu bagian dari ilmu sosial yang memiliki pertautan dengan politik dan ekonomi.

Dalam buku ini, Takashi mengambil fokus penelitian historisnya pada periode pergerakan yang terjadi di Surakarta dan sekitarnya, termasuk pula Semarang dan Yogyakarta pada tahun 1912-1926, yang dianggap sebagai salah-satu cikal bakal pergerakan dengan efek yang sangat besar dalam penanaman jiwa nasionalisme bagi rakyat Indonesia.

Para pelaku sejarah pada masa itu, digiring untuk dapat berpikir lebih terbuka terhadap suatu fenomena-fenomena sosial yang terjadi pada peradaban baru, Indonesia, melalui analisis matang dan pemaknaan yang mendalam dari berbagai wacana, seperti teori sosial Marx dan islamisme dalam sebuah organisasi.

Melalui pergerakan yang dikemas dengan bentuk lebih modern tersebut, berbagai macam dialektika, penyatuan paham dan juga adu argumen dilakukan oleh para tokoh sejarah, agar dapat menciptakan suatu kesadaran terhadap realita yang ada saat itu. Di mana, kesadaran dianggap sebagai hal yang terpenting dalam mewujudkan suatu pergerakan.

Surakarta Sebagai Arena

Dalam bab pertama buku ini, Takashi menggambarkan tentang bagaimana latar belakang Surakarta sebagai sebuah arena. Kota yang kaya akan sejarah dan tanah tempat lahirnya empat kerajaan di bawah kekuasaan Hindia Belanda tersebut, pernah mengalami simpang-siur dalam konteks tarik menarik dari dua kekuasaan besar, yang dianggap sangat berpengaruh terhadap perkembangan struktur sosial dan politik di Surakarta, yaitu kekuatan kolonial dan keraton.

Dengan mempelajari buku ini, kita bisa menelisik bagaimana persoalan sistem ekonomi yang dijalankan oleh pengusaha-pengusaha Eropa. Terciptanya mesin pembawa perubahan baru dengan sebutan modal tersebut, dapat mengakibatkan beberapa pengusaha swasta mengalami masa depresi yang terjadi pada pertengahan dekade 1880-an.

Beberapa pengusaha kekurangan uang, jatuhnya harga tanaman, sementara tingkat suku bunga tinggi, belum lagi pengolahan tebu yang masih sederhana dengan hanya mengandalkan tenaga air dan kerbau tersebut, digeser kuat oleh kehadiran pabrik-pabrik gula yang padat modal.

Selain itu, pada bagian ini kita dapat melihat awal muncul dan berkembangnya pula industri batik sebagai kekuatan ekonomi di wilayah Surakarta pada saat itu. Industri ini muncul pada ”zaman modal kedua” dan terus berkembang hingga menguasai pasar nasional sampai dekade awal abad ke-20.

Gerbang perkembangan Surakarta diawali pada abad XX. Suatu masa yang dicanangkan sebagai ”zaman modern”. Dimana, rakyat Indonesia mulai mengenal dunia pendidikan, sebagai simbol bergesernya perkembangan Indonesia menuju bentuk modernitas. Beberapa sekolah dasar didirikan di berbagai wilayah di surakarta.

Ini kemudian sangat membantu kaum bumiputera agar dapat merasakan suasana pendidikan di sekolah dasar dan menengah. Meskipun keadaan ini berjalan berdampingan dengan politik etis yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Namun, dengan hadirnya sekolah-sekolah sebagai tempat mengenyam pendidikan tersebut, dapat membibit generasi-generasi yang membawa perubahan bagi Surakarta.

Bukti konkret dari sebuah perkembangan yang terjadi di Surakarta adalah saat terbentuknya organisasi Sarekat Islam (SI). Sebuah organisasi yang berawal dari inisiatif sederhana kelompok masyarakat (organisasi ronda) yang pada mulanya hanyalah perkumpulan untuk kepentingan keamanan pengusaha pribumi batik, Rekso Rumekso.

Berbagai tokoh Sarekat Islam seperti Tjokroaminoto, H. Samanhudi, sampai dengan Marco Kartodikromo, kemudian menggencarkan pergerakan-pergerakan di Surakarta dengan mengandalkan kemampuan tulis-menulisnya pada surat kabar dan berbagai macam aksi protes yang digelar dalam rangka ”menuntut persamaan hak bumiputera”.

Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para tokoh yang terlahir dari rahim politik etis tersebut ternyata berhasil membuat para penguasa kolonial merasa resah dan terancam. Namun pada akhirnya menjadi kerangka awal simpang siurnya pergerakan SI di Surakarta, hingga kemudian lahir kembali pada tahun 1918 dengan sarekat buruh sebagai pelopor utamanya.

BACA JUGA  Hadis-hadis tentang Politik Kebangsaan; Sebuah Telaah

Masa pergerakan 1917-1920 di Surakarta yang ditandai dengan dibukanya Volksraad, kebangkitan Semaoen dan SI Semarang, gerakan Djawa Dipa, TNKM, gerakan serikat buruh, kebangkitan PFB dan Soerjopranoto, memang memengaruhi situasi pergerakan di Surakarta yang mulai bangkit kembali pada 1918.

Namun pada konteks Surakarta, zaman bergerak itu muncul pertama kali seiring dengan dipulihkannya nama baik Tjipto Mangoenkoesoemo di atas panggung utama pergerakan, sebagai anggota Insulinde yang ditunjuk untuk duduk di Volksraad.

Dengan kemunculan Haji Mohammad Misbach sebagai tokoh mubalig reformis alias propogandis Islam, kombinasi Tjipto yang nasionalis dan Misbach yang mubalig inilah yang mendorong Insulinde, bukan SI, menjadi kekuatan pergerakan “revolusioner” utama di Surakarta (hlm. 159).

Menilik dari kedua tokoh tersebut, Tjipto adalah salah satu dari kaum Bumiputra terpelajar pertama yang dengan sadar berpikir tentang kemajuan bumiputra dalam kaitannya dengan dominasi politik dan subordinasi. Gagasan-gagasannya diekspresikan secara terbuka pada tahun 1907 melalui surat kabar liberal berbahasa Belanda di Semarang, De Locomotief.

Belum lagi ketika kita berbicara mengenai sosok Haji Misbach. Seorang mubalig, dengan pandangan yang sangat Marxist, Ia menyoroti ketimpangan dan penghisapan petani oleh kapitalisme, pemerintah, dan kekuasaan keraton kala itu.

Bagi Misbach, melakukan propaganda untuk ”kebebasan kita”, ”kebebasan negeri”, sama seperti melakukan propaganda untuk Islam, dan dalam pengertian itulah ia menunjukkan dirinya sebagai seorang mubalig sekaligus propagandis Insulinde. Ia mendorong pemogokan petani, walaupun akhirnya dipenjara.

Solo di Zaman Pergerakan

Tjipto Mangunkusumo yang dikenal sebagai tokoh penggerak ”Anti Raja” pada sekitar bulan Juni 1919. Melakukan kampanye mengkritik dan memprotes posisi keraton yang feodal. Kampanye yang dilakukannya antara lain melalui tulisan di Panggoegah dan melalui Volksraad, telah membuat polarisasi di kalangan aktivis pergerakan, antara mereka yang pro Kerajaan dan pro Tjipto.

Gerakan yang dilakukan Tjipto ini juga mengantarkannya sebagai pemimpin Insulinde/NIP-SH yang membawa mereka ke kancah ”perjuangan politik” (hlm. 238).

Dalam pangoegah tanggal 9 juni, Tjipto mengatakan bahwa orang-orang di Surakarta sangat terbebani oleh kewajiban memelihara dua keraton (hlm. 238). Ia mempropogandakan tentang Sunan yang harusya dipensiunkan karena dianggap sebagai budak-budak VOC Kampanye anti Raja ini dalam prosesnya membuat keributan di kalangan pemerintah Hindia, Kasunanan, maupun Mangkunegaran sendiri. Tidak berhenti di situ, Tjipto kemudian melakukan pengembangan kritiknya tersebut melalui kesenian Ketoprak, sebuah teater populer di Jawa kala itu.

Situasi pergerakan semakin memanas, ketika Tjipto semakin semangat dalam menggencarkan pergerakannya pada setiap lini masyarakat Surakarta. Hal ini kemudian membuat pemerintah kolonial resah dan menangkap Tjipto, Misbach dan para tokoh Sarekat Hindia (SH). Hal inilah yang menjadi akhir dari pergerakannya di Surakarta pada saat itu.

Islamisme vs Komunisme

Jiwa semangat tetaplah menjadi darah daging yang sulit untuk dihilangkan, meski terus diancam, ditangkap, dipenjara maupun diasingkan dari wilayahnya, seorang Misbach kembali memulai pergerakannya setelah dipenjara pada 1922. Ia memulai pergerakannya dengan meninggalkan Muhammadiyah, dan menjadi propagandis PKI/SI Merah.

Banyak paham dan pandangan Misbach yang tidak selaras dengan Muhammadiyah. Dalam banyak hal, salah satu yang menjadi buah bibirnya adalah konsep tentang kesamaan antara paham Islam dan komunisme. Misbach dalam konteks ini memadukan islamisme dan komunisme dalam pandangan dan semangat hidup yang akhirnya menggerakkan dia dalam berbagai bentuk aktivitas gerakan.

Seorang tokoh yang sangat unik ini melakukan gerakannya sepanjang tahun 1922-1924 di Surakarta, namun, semangat tetaplah menjai semangat bagi Misbach, ia kemudian ditangkap dan dibuang bersama keluarganya ke Manokwari karena dianggap meresahkan dan membahayakan keadaan para penguasa, dan meninggal pada 24 Mei 1926.

Bergerak dan Melawan adalah Ciri Sejati Rakyat

Hampir seluruh bagian buku ini berbicara mengenai pergerakan. Baik itu dalam ranah politik, ekonomi, agama, maupun sosial-budaya yang muncul akibat tidak selarasnya idealita dan realita yang terjadi dikalangan masyarakat Jawa pada saat itu.

Surat-surat kabar, boikot, rapat-rapat umum, pemogokan, dan bentuk-bentuk lainnya yang muncul dalam pergerakan menjadi bukti konkret bahwa sepenuhnya pergerakan ini adalah murni milik rakyat.

Buku yang ditulis oleh seorang sejarawan besar ini, memiliki manfaat yang sangat besar bagi pembaca terutama bagi rakyat Indonesia khususnya, agar dapat mengetahui bagaimana siklus pergerakan yang terjadi di Indonesia. juga sebagai wujud keteladanan semangat para tokoh-tokoh penggerak demi terciptanya bangsa yang lebih baik.

Sudah saatnya masyarakat sadar bahwa pergerakan sejatinya adalah sumber pokok bagi kehidupan bangsa ini. Pemuda sebagai pemegang tonggak estafet kenegaraan harus selalu bergerak menuju hal yang lebih baik. Karena pergerakan tidak akan pernah selesai.

Naspadina
Naspadina
Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru