31.1 C
Jakarta

Menyingkap Kesesatan Terorisme, Jalan Tol Ideologis Menuju Surga

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMenyingkap Kesesatan Terorisme, Jalan Tol Ideologis Menuju Surga
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Terorisme Ideologi Penebar Ketakutan, Penulis: Ardison Muhammad, Penerbit: Liris, Tebal Buku: 220 halaman, ISBN: 978-602-95978-6-8, Peresensi: Fathorrozi, M.Pd.

Harakatuna.com – Bulan lalu dunia digemparkan dengan serangan teroris di Balai Kota Crocus, Moskow, Rusia pada Jumat (22/3). Menurut laporan resmi pemerintah Rusia, otoritas Rusia melaporkan serangan mematikan itu menewaskan 143 orang, banyak di antaranya adalah warga sipil.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Mohammed Rycko Amelza Dahniel mengutuk keras aksi terorisme di Rusia tersebut. Menurutnya, aksi teroris itu menjadi ancaman serius terhadap perdamaian dan keamanan dunia.

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin juga mengecam keras aksi kelompok bersenjata yang menyerbu gedung konser di pinggir Kota Moskow, Rusia, dengan tembakan tersebut. Ia berpendapat aksi teror adalah tindakan biadab yang tidak mungkin dilakukan oleh orang yang berperiketuhanan dan berperikemanusiaan.

Din Syamsuddin menambahkan, jika kelompok tersebut mengklaim bertanggung jawab dan menyebut diri dari kalangan ISIS, maka hal itu adalah klaim yang bersifat disinformasi atau penyesatan. Menurutnya, sulit dipahami kalau ada kelompok Islam yang mengancam Rusia, karena hubungan Rusia dengan dunia Islam sangat baik, dan Presiden Putin sangat bersimpati kepada Islam dan umat Islam.

Serangan teroris seperti ini telah menimbulkan rasa takut dan kegelisahan di kalangan masyarakat. Selain itu, serangan teroris, baik berupa serangan bom maupun tembakan, juga mengakibatkan banyak korban jiwa dan kerugian material yang tidak sedikit. Lebih jauh, serangan teroris menghambat laju investasi dan pertumbuhan ekonomi.

Ulah para teroris, tak pelak telah menimbulkan luka yang mendalam di kalangan umat Islam. Mereka mengatasnamakan aksinya sebagai amalan ajaran Islam tentang jihad. Tentu saja, kalangan Islam moderat sangat geram karena para teroris telah membelokkan pengertian jihad ke arah tindak kekerasan dan pembunuhan. Bagi teroris, halal membunuh orang kafir, bahkan hukumnya wajib.

Mereka menyebut, mati dalam melaksanakan ajaran yang mereka sebut jihad itu, akan mendapat jaminan mati syahid dan otomatis masuk surga. Tetapi, kalangan Islam Indonesia yang sebagian besar berhaluan moderat menyatakan jihad itu ada aturannya. Misalnya, jihad yang berkonotasi dengan perang harus dilakukan dalam rangka membela diri. Dalam keadaan damai, haram hukumnya membunuh, sekalipun itu orang kafir.

Bagi Amrozi, salah seorang terpidana mati Bom Bali I, seperti dikutip dari buku Terorisme Ideologi Penebar Ketakutan ini, syahid adalah rute menuju surga melalui jalan tol, tanpa repot dengan kemacetan dan pemeriksaan bertele-tele. Melesat secepat kilat, lalu menempati surga termegah dan dilayani bidadari-bidadari cantik.

Demikian juga dengan Ali Imron, terpidana mati Bom Bali I lainnya. Bagi dia, hukuman mati justru akan mempercepat pencapaian cita-citanya untuk mati syahid. Oleh karena itu, pantang baginya untuk meminta grasi sebagaimana tertuang dalam surat yang dibagikan TPM di Dermaga Wijayapura, Cilacap, Jawa Tengah, Rabu (20/8/2008) menjelang pelaksanaan eksekusi hukuman mati (hlm. 76).

Inti dari surat tersebut berisi, jika ia memohon grasi, maka ia akan terjatuh pada empat dosa dan kesalahan. Pertama, syirik sebab presiden negara sekuler yang mengikuti sistem (agama) demokrasi telah merampas hak-hak otoritas dan kedaulatan Allah dalam menciptakan dan menentukan hukum, maka kalau ia mohon grasi kepada presiden dalam kasus jihad seperti yang ia lakukan, berarti ia mengakui ketuhanan presiden.

BACA JUGA  Menyegarkan Keberislaman Kita untuk Menjawab Tantangan Zaman

Kedua, haram karena syirik hukumnya haram dilakukan, bahkan termasuk dosa besar. Ketiga, dalam kehinaan. Ia enggan memohon grasi kepada presiden sebab menurutnya, ia seorang mujahid di pihak yang benar, karena membela agama Allah dan membela kaum muslimin, sedangkan presiden dalam hal ini bukan di pihak yang benar dan bukan di pihak Allah, tapi di pihak thaghut. Jadi, kalau ia memohon kepada pihak yang tidak benar, maka perbuatannya tersebut lebih tidak benar lagi, dan merupakan kehinaan.

Keempat, membantu kezaliman. Ia beranggapan bahwa hukum yang dipakai untuk mengadili kasusnya adalah hukum thaghut yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunah. Jadi, kalau ia mohon grasi berarti setuju dengan praktik hukum yang salah itu dan bermakna membantu kezaliman yang wajib ditentang dan akan menjadi catatan hitam dalam sejarah.

Sementara Mukhlas, terpidana mati Bom Bali I lainnya, juga menyatakan dalam surat terakhir sebelum dieksekusi, bahwa mati syahid adalah cita-cita, idaman, dan dambaannya. “Mati syahid adalah cita-citaku, idamanku, dan dambaanku. Jadi, kalau Allah Ta’ala menakdirkan diriku dibunuh oleh orang-orang kafir termasuk orang-orang munafik dan orang-orang murtad dengan cara eksekusi berarti cita-citaku yang paling tinggi tercapai.”

Hal senada juga disampaikan oleh Imam Samudra dalam suratnya, “Tentara itu cuma ada dua. Pertama, tentara Allah yang pikiran, perasaan, ucapan, dan perbuatannya hanya demi hukum Allah (Islam). Kedua, tentara thaghut yang pikiran, perasaan, ucapan, dan perbuatannya adalah bukan demi hukum Allah (Islam). Maka, kami adalah tentara Allah, karena jelas berjihad fisabilillah. Sedangkan mereka yang bekerja dan berjuang demi KUHP, maka mereka adalah tentara thaghut. Mulai dari presiden, hakim, jaksa, polisi, serta eksekutor yang berencana mengeksekusi kami adalah tentara setan.” (hlm. 78).

Pemikiran seperti yang dianut oleh keempat terpidana mati Bom Bali I (Amrozi, Ali Imron, Mukhlas, dan Imam Samudra) inilah yang menggerakkan aksi serangan teroris. Bagi mereka serangan teror terhadap tempat-tempat yang banyak dikunjungi orang-orang Barat merupakan perwujudan perang suci terhadap orang-orang kafir dan pendukungnya yang mereka sebut sebagai jihad. Sekalipun mereka harus mati dalam melaksanakan jihad, maka sebagai imbalannya mereka dijamin masuk surga.

Akhirnya, ajaran agama apa pun tidak membenarkan aksi terorisme, terlebih ajaran Islam sebagai rahmatan lil alamin mustahil mengaminkan aksi terorisme yang banyak menelan korban dan menimbulkan kerusakan. Ajaran Islam tidak membenarkan adanya pembunuhan, sekalipun terhadap orang kafir.

Jika kaum teroris berdalih bahwa orang kafir tetap boleh dibunuh karena meskipun mereka datang tidak dalam keadaan perang, tapi mereka datang dengan serangan pemikiran, maka seharusnya perang pemikiran harus dilawan dengan pemikiran, bukan dengan pengeboman dan serangan tembakan.

Fathorrozi, M.Pd
Fathorrozi, M.Pd
Pegiat literasi dan pengasuh Qarnul Islam Ledokombo Jember

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru