Harakatuna.com – Ada banyak penulis yang tidak menyadari, bahwa menulis itu juga berfungsi untuk meningkatkan komunikasi dan interaksi sosial. Tidak hanya sekadar berinteraksi dengan pikirannya sendiri yang sifatnya menggugurkan kepuasan batinnya.
Tetapi, pada ruang lain akan mengalami kontak sosial dengan pembaca. Bahwasannya, menulis adalah sebuah aktualisasi ide atau gagasan yang akan memberikan pencerahan dan wawasan keilmuan kepada publik.
Jika kita kaitkan dengan kondisi kini, maka akan terbaca tantangan zaman yang memiliki dampak perubahan sosial yang begitu besar. Dalam perspektif kemasyarakatan, memunculkan pemikiran-pemikiran baru.
Dampak ini kemudian melahirkan perubahan ekosistem sosial, yang ditandai dengan gejala-gejala perilaku masyarakat secara umum. Pemikiran baru bisa saja terorganisir secara sistemik, terstruktur dan masif. Karena pola yang dihadapi sangat bergantung pada kebijakan yang sifatnya politis.
Nah, bagaimana seorang penulis merumuskan kondisi ini dalam karya-karya tulis yang sifatnya keseimbangan sosial dan menjaga keselarasan bahasa secara baik dan benar, agar tidak memunculkan tantangan baru yang sifatnya mis-informasi.
Tentunya seorang penulis harus bisa menggunakan literasi secara benar. Karena dalam teori tekstual, peran literasi sangat penting, dan layak dikatakan bahwa memahami literasi sama halnya melihat cakrawala keilmuan dan pengetahuan tanpa batas.
Bagi seorang penulis, situasi dan kondisi seperti ini, dapat menjadi gagasan cerdas dalam pemaknaan dan pemahaman membaca kontekstual. Sebab secara teoretis, penulis akan menuangkan silogisme (simpulan) tekstual yang dilakukan dengan metoda analisis dan pendekatan-pendekatan rasional.
Tantangan zaman juga berimplikasi pada pergeseran nilai-nilai bahasa. Disrupsi teknologi membuat sebagian besar masyarakat gagal dalam memahami sejarah. Dimana sejarah merupakan fase pencapaian akan kelangsungan suatu bahasa.
Maka, penulis juga harus memiliki tanggung jawab sosial untuk mempertahankan nilai-nilai yang mengiringi kemajuan bahasa, meski tidak ada aturan baku yang mewajibkan penulis untuk melakukan kewajiban ini.
Harus diingat, tantangan transnasional dan trans-dimensional sangat banyak memanfaatkan keberadaan literasi, terutama literasi digital. Kecepatan teknologi ini juga membuka ruang akan kejahatan siber. Sebagian besar masyarakat kemampuan analisis tentang sebab-akibat. Pertanyaannya, dalam tataran ini, dimanakah penulis menempatkan posisinya?
Tentu dibutuhkan pendekatan-pendekatan yang sifatnya edukatif bagi masyarakat. Seyogianya penulis yang telah memiliki kemampuan dan keterampilan dalam menarasikan bahasa dapat melakukan hal-hal ini. Maka, orang yang membaca terhadap karya sebuah tulisan, harus mendapatkan manfaat atas apa yang dibaca.
Hal ini juga bisa berfungsi sebagai solusi atas persoalan-persoalan di sekitar masyarakat. Tulisan yang sifatnya menggurui, tentu tidak menarik bagi pembaca: masyarakat. Maka, tulisan itu harus memberikan rasa nyaman bagi pembacanya.
Sementara bagi penulis, kegiatan menulis itu juga minimal adalah bagian dari merawat literasi. Persoalan ini tentu tidak mudah bagi penulis, tanpa adanya kepekaan penulis dalam membaca situasi-situasi di sekelilingnya.
Terutama hal-hal yang sifatnya manusiawi. Karena persolan di seputar ini, hampir setiap saat kita temui. Tetapi tentunya pengangkatan tema-tema kehidupan seyogianya menjadi solusi cerdas dan jalan keluar bagi permasalahan yang dihadapi.
Dalam menarasikan tulisan, tentunya seorang penulis punya gaya tersendiri untuk menciptakan umpan balik dengan pembaca. Ada banyak teori kepenulisan dengan penyajian metoda yang berbeda.
Tinggal bagaimana meramu dan menciptakan gagasan menarik yang mudah diterima oleh pembaca. Pada sisi ini, setiap penulis memiliki kemampuan dan keterampilan berbeda dalam pengolahan kata dan kalimat.
Dengan menulis, seseorang bisa menyemaikan gagasan agar disimak khalayak luas melampaui ruang dan waktu. Salah satu alat untuk menyampaikan gagasan adalah menulis artikel fiksi atau nonfiksi. Menulis akan memberikan pengalaman imajinatif, mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan hakikat hidup, serta memperluas cakrawala pengetahuan.
Kenapa dalam menulis, kita membutuhkan sumber-sumber literasi? Sebab secara teoretis, semua penulis akan mempelajari literasi sebagai alat dasar dalam pengembangan menulis.
Sebagaimana diketahui, literasi adalah istilah umum yang merujuk kepada serangkaian kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Apakah ada seorang penulis yang tidak berkomunikasi atau berinteraksi sosial, karena habitatnya terbatas? Jauh dari keramaian, berada di tempat terpencil, misalnya. Ini tentu bukan menjadi alasan bagi penulis untuk menciptakan ruang komunikasi dan interaksi sosial.
Bukankah dunia maya juga diciptakan menjadi ruang yang mampu menjangkau keterbatasan tersebut? Penulis tidak akan terlepas dari penggunaan bahasa, sebagai wahana untuk menyampaikan pesan dan gagasannya.
Bahasa tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Jika kita merujuk pada sebuah teori yang digagas Ferdinand de Saussure, pelopor kajian linguistik modern asal Swiss, mengatakan: “bahasa memberikan bukti terbaik bahwa hukum yang diterima oleh suatu komunitas tersebut, bukan aturan yang disetujui secara bebas oleh semua orang.”
Artinya, dengan kedudukan bahasa, antara penulis dan masyarakat atau pembaca, secara tidak langsung berada dalam ruang interaksi.
Meski ini bukanlah menjadi teori baku, tetapi minimal dapat dijadikan sebagai pembanding. Seorang penulis yang semakin sering menulis dan menciptakan karya tulis, secara tidak langsung telah melebarkan “lingkaran sosial” yang kemudian secara konsisten menempatkan hukum-hukum tidak tertulis dalam meningkatkan kualitas interaksi sosial.
Jika kita melihat perkembangan dan makin majunya teknologi informasi berbasis jaringan internet, maka secara otomatis kesadaran dalam berinteraksi jauh lebih efisien. Meski terkadang ini menjadi tantangan tersendiri bagi penulis dalam melahirkan karya-karya berkualitas.
Ada banyak penulis yang sangat jarang menghasilkan karya tulis, tetapi karena memiliki banyak koneksi dan terhubung kepada masyarakat global, sering meiliki interaksi sosial yang lebih baik.
Apakah ini menjadi stigma negatif, bahwa tidak semua penulis yang bagus karyanya akan mengalami kesulitan dalam berinteraksi sosial? Hal-hal semacam ini tentunya tidak terlepas dari beberapa faktor yang mengiringi sisi kehidupan seseorang, termasuk jika ia adalah seorang penulis.
Tetapi paling tidak, dengan menulis, siapa saja akan lebih dikenal karyanya, yang pada akhirnya akan berada pada komunitas-komunitas tertentu, yang tentunya melibatkan kemampuan berinteraksi. Tinggal bagaimana ini dibedakan, apakah interaksi harus diukur dalam unsur kuantitas atau kualitas?
Maka, dalam proses menulis ada unsur vital yang tidak dapat ditinggalkan, yakni literasi. Bagaimana penulis dapat menjabarkan dan menarasikan gagasannya, tentu harus menguasai dasar-dasar literasi.
Sebagaimana kita ketahui, literasi adalah istilah umum yang merujuk pada serangkaian kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagaimana pada bahasan di atas, bahwa semakin matangnya seorang penulis dalam menuangkan ide atau gagasannya, dan menarasikan plot cerita ke dalam bentuk-bentuk karya tulis, maka semakin banyak pembaca yang penasaran untuk membacanya.
Maka disini ada titik poin dalam menyelaraskan indikator kualitas menulis. Konsistensi seorang penulis tidak terlepas dari peran penguasaan literasi, salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan ini, melalui membaca.
Kemudian, jika tulisan yang dihasilkan memiliki bobot dalam standar rata-rata, tentunya secara tidak langsung memberikan interaksi bagi pembacanya. Persoalannya, bagaimana seorang penulis menjual ide atau gagasannya melalui tulisan, yang mampu membuka ruang cakrawala yang lebih besar.
Tentu ini bukan persoalan mudah, karena tidak semua karya tulis: artikel, feature, atau karya fiksi dapat menembus media. Kita tidak bisa mengelak, bagaimanapun peran media sebagai partner bagi penulis, tidak dapat ditinggalkan.
Dalam perspektif umum, media sebagai kontrol indikator, apakah tulisan bagus atau tidak, layak atau tidak, untuk disampaikan kepada publik. Artinya proses kurasi memiliki peran penting bagi penulis untuk dapat berinteraksi dengan publik atau pembaca.