34.8 C
Jakarta

Telaah Literasi Kita: Indonesia Darurat Membaca?

Artikel Trending

KhazanahLiterasiTelaah Literasi Kita: Indonesia Darurat Membaca?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Membicarakan perihal minat baca di Indonesia, jika merujuk pada data yang digaungkan UNESCO akan membuat kita prihatin karena berada di urutan ke-60 dari 61 negara yang ada. UNESCO juga memersenkan minat baca Indonesia paling tidak sedikitnya 0,001%. Apa tidak semakin ingin gigit jari bacanya? Namun, apakah rendahnya minat baca ini dikarenakan rasa malas? Atau ada pemicunya? Lantas, rujukan apa yang digunakan untuk melakukan riset tersebut?

Sebelum membahas pemicu-pemicu tersebut, aku mau sedikit membahas hubungan baca-membaca dengan kehidupan sehari-hari. Membaca menjadi salah satu kegiatan yang sebetulnya tanpa disadari sudah dilakukan. Seperti membaca pesan teks, membaca berita, membaca info-info melalui media sosial, membaca status, curhat teman, dan banyak sekali kegiatan sederhana membaca lainnya.

Tentu saja, hal ini tidak dapat dijadikan sebuah rujukan dalam mendatai rendah atau tingginya minat baca seseorang. Namun, dari kebiasaan-kebiasaan tersebut dapat disimpulkan bahwa tulisan-tulisan yang biasa dibaca (dalam kehidupan sehari-hari) memiliki jumlah kata yang pendek dan daya tarik karena keingintahuan.

Tidak sampai di situ, sering kali aku menemui kritik pedas dalam sebuah laman komentar di media sosial terkait headline yang dihadirkan akun media sosial massa memicu kontroversi. Sementara, kalau saja mereka mau membaca konteks pada caption, di sana dijelaskan maksud di balik headline tersebut yang ternyata punya makna baik.

Seperti contoh yang pernah kutemui, sebuah akun dengan nama pengguna Folkative—akun centang biru yang memang memberikan informasi-informasi update memberitakan dengan headline yang cukup blunder. Presiden Jokowi meminta para ibu untuk tidak memiliki anak setiap tahunnya, kira-kira seperti itu headline-nya. Jika kita tidak membaca caption yang pendek itu, mungkin akan terpancing emosi karena itulah yang kutemukan di komentar pada feed tersebut.

Padahal, dijelaskan pada caption bahwa Presiden Jokowi hanya memberi saran untuk memiliki anak minimal tiga tahun sekali supaya dapat membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Hal itu terjadi karena budaya membaca atau pembacanya yang mudah terpancing karena sudah terdistraksi dengan headline tersebut.

Di sisi lain, jika kita perhatikan banyak sekali platform daring yang menyediakan bahan bacaan dengan berbagai jenis tulisan baik fiksi maupun non fiksi. Salah satunya Wattpad yang digandrungi para remaja demi membaca novel kesukaan mereka dan dapat diakses dengan mudah serta gratis.

Bahkan, tidak sedikit pula novel-novel di Wattpad meraih jumlah pembaca dengan angka fantastis. Tidak sampai di situ, aplikasi iPusnas yang dikembangkan oleh Perpusnas pun menjadi saksi banyaknya minat baca melalui antrean buku yang mencapai seribu orang lebih. Lalu, sebenarnya apakah minat baca di negara kita tercinta ini benar-benar rendah?

Dilansir dari Ruangguru, penulis membeberkan kriteria penilaian dari situs web CCSU dalam menyurvei salah duanya dengan memantau seberapa banyak pengunjung perpustakaan dan surat kabar yang beredar. Namun, apakah hal-hal itu menjadi alasan rendahnya minat baca di Indonesia?

Sebab, sering ditemukan orang-orang lebih suka pergi ke toko buku untuk membeli buku favorit, banyak pula orang-orang lebih suka membaca melalui media daring yang memang memudahkan kita semua. Untuk saat ini pun, dikabarkan oleh Unika, surat kabar dalam status dipertahankan dengan mengembangkan inovasi.

BACA JUGA  Menulis, Menyembuhkan Dunia Melalui Kata-Kata

Itu mengingat Gen Z yang lebih antusias terhadap perangkat-perangkat digital yang sudah canggih, sehingga kabar-kabar pun dapat ditemui di media massa daring. Bahkan saat ini banyak sekali penerbit-penerbit indi yang menjualkan produksi bukunya, ada pula platform belanja daring yang menawarkan buku bacaan.

Lalu, apakah sarana menjadi fokus utama dalam menilai tinggi rendahnya minat baca suatu negara? Tunggu dulu, mari kita kesampingkan sebentar. Perdigitalan yang tersedia dalam perangkat canggih dan membutuhkan kuota data tersebut. Bagaimana dengan kita yang memiliki keterbatasan dalam bentuk materi sehingga belum memadai untuk membeli perangkat canggih ataupun kuota data untuk menikmati membaca yang mudah?

Tentu dalam hal ini, perpustakaan daerah menjadi tolok ukurnya. Jika ditanya, bagaimana kondisi perpustakaan-perpustakaan di daerahmu? Sudah meratakah? Apakah bacaan-bacaan di sana berisi bacaan yang menarik bagi banyak orang? Atau, bagaimana dengan jarak perpustakaan daerah dengan rumahmu?

Nahasnya, di tempatku sendiri memang jarak menjadi kendala itu sendiri, buku-buku yang disediakan sebenarnya menarik meskipun terbitan lawas. Dengan itu, perpustakaan setidaknya menjadi penolong bagi problematika tersebut karena tidak semua orang menjadikan rupiahnya untuk perpustakaan yang jauh sebagai prioritas, mengingat adanya kebutuhan lain yang lebih penting.

Dari penjabaran tadi, maka aku menyimpulkan bahwa minat baca di Indonesia sebetulnya tidak serendah atau bahkan sedarurat itu juga—perkembangan digital saat ini sudah mengubah fungsional menjadi serba daring. Meskipun begitu, kita masih mendapati buku cetak yang diminati banyak orang.

Tidak hanya itu, sarana juga menjadi salah satu hal yang memudahkan masyarakat untuk membaca baik dari jarak dan fasilitasnya. Namun, di sisi lain, amat disayangkan juga dengan budaya membaca yang masih kurang terutama pada berita dengan judul yang kontroversial tadi.

Beberapa poin tersebut dapat ditemukan sebuah solusi yang merujuk pada kesadaran manusianya. Baik untuk pemerintah setempat yang mestinya lebih aware dalam meratakan perpustakaan di beberapa titik daerah dengan fasilitas yang memadai, pemerataan pendidikan di pelosok-pelosok, dan kesadaran akan kita semua.

Budayakan membaca supaya tidak mentah-mentah memakan sebuah informasi, apalagi berkomentar hanya dengan membaca judul saja. Para perangkat sekolah juga sebaiknya lebih gencar lagi dalam membangun minat baca para siswa, semisal dengan memperbaiki fasilitas perpustakaan sekolah yang nyaman, dengan membuat kegiatan-kegiatan membaca, misalnya.

Terlepas dari pemicu-pemicu tersebut, apakah minat baca harus dimiliki semua orang? Menurutku, iya. Membaca memiliki banyak sekali manfaat seperti dapat meningkatkan daya ingat, juga menambah wawasan. Kalau begitu, aku telah melarang hak seseorang terkait dia tidak suka membaca? Tentu saja tidak. Aku hanya menyarankan kita semua untuk membaca karena manfaat-manfaat yang dapat kita ambil. Lagi pula, tidak ada salahnya untuk meningkatkan sumber daya diri dengan membaca, kan?

Yuvina Zaharany
Yuvina Zaharany
Penulis dan Content Creator

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru