28.8 C
Jakarta

Urgensi Pencegahan Politik SARA Pada Pemilu 2024

Artikel Trending

Milenial IslamUrgensi Pencegahan Politik SARA Pada Pemilu 2024
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Politisasi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) akan terus hadir dalam narasi politik Indonesia menuju Pemilihan Presiden 2024. Kenapa? Karena kondisi mental dan karakter masyarakat Indonesia belum terlepas dari sentimen primordialisme dan sektarianisme yang masih mengakar kuat dalam budaya masyarakat Indonesia, sekalipun sudah hidup di era demokratisasi terbuka dan era digitalisasi modern.

Gambaran Politisasi SARA

Di Indonesia, politik SARA dan identitas menjadi mainan isu yang seksi dan menjadi satu alat politik yang dampaknya sangat dahsyat. Menurut beberapa pakar, secara budaya, politik SARA di Indonesia lebih terkait dengan etnisitas, agama, ideologi dan kepentingan-kepentingan lokal yang diwakili umumnya oleh para elit politik dengan artikulasinya masing-masing (Ma’arif, 2012: 55-100).

Dalam kasus ini terjadi pada Pilkada tahun 2017 di Jakarta dan terjadi pada pemilihan Pilpres pada 2019.

Mengapa Politisasi SARA Laku?

Pertama, politik SARA bisa dimanfaatkan sebagai jalan taktis kepentingan sebuah kelompok karena persamaan identitas yang mencakup ras, etnis, dan gender, atau agama tertentu. Kita tahu, politik SARA ini cukup berhasil dalam sejarah politik dunia.

Contohnya Adolf Hitler, yang mengakibatkan tragedi yang terjadi di Jerman pada saat Nazi berkuasa. Enam juta orang Yahudi menjadi korban kekejaman politik SARA dan itu menjadi salah satu peristiwa genosida terburuk yang tercatat dalam sejarah dunia. Dan di Indonesia sendiri terlalu banyak contohnya, salah satunya seperti saya catat di atas.

Kedua, politisasi SARA sebagai instrumen untuk menggelorakan rasa kebencian dan ketakutan kalah pada pihak lawan politiknya agar bisa menurunkan citra dan menyudutkan figur tertentu yang biasanya dinilai kuat dan berpotensi menang.

Ikhwal ini, politisasi SARA dijadikan sebagai lahan basah untuk bisa mengalahkan lawan lainnya sehingga perlu disudutkan dengan narasi-narasi, seperti tidak nasionalis, intoleran, bukan Islam, bukan Indonesia, bukan suku ini dan itu.

Ketiga, maraknya politik bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) serta politik identitas di pemilihan disebabkan karena lemahnya kaderisasi di tubuh internal partai politik. Kelemahan parpol melakukan kaderisasi dan rekrutmen.

Lemahnya kader Parpol yang pintar dan berintegritas, maka yang “dimainkan” adalah politik SARA demi meraih kekuasaan. Akibatnya, pertarungannya bukan lagi soal program, visi dan misi para kandidat, tetapi lebih soal SARA yang bisa memecah-belah bangsa dan menghancurkan keberagaman.

Keempat, lemahnya pengetahuan politik pada masyarakat Indonesia menyebabkan partai politik lebih leluasa dalam mengkampanyekan politik hitam mereka.

BACA JUGA  Maraknya Konten Ekstrem-Radikal di Media Digital yang Wajib Dimatikan

Lemahnya literasi politik pada masyarakat Indonesia menjadikan buta huruf bagaimana kerja-kerja politik dipasokkan, sehingga polarisasi berbasis irasionalitas politik identitas yang diterjemahkan dalam bentuk kampanye jahat, berita bohong (hoax), fitnah, dan politisasi SARA bakal menguat dan lebih menggila.

Kelima, politisasi SARA sudah terbukti ampuhnya bagi masyarakat Indonesia. Ia terus dijadikan sebagai pendekatan dalam proses aktivitas politik di Indonesia, sebab murah, mudah dan efektif menjadi basis pemenangan.

Apalagi, jika aktor yang terlibat tidak punya integritas dan komitmen untuk berkompetisi secara jujur, adil, kompetitif dan demokratis (contohnya peristiwa pada beberapa Pilkada 2017).

Yang lebih gila lagi, jika sudah dimainkan oleh buzzer di media sosial. Data terakhir menunjukkan ada 132 juta pengguna Facebook di Indonesia (nomor 4 terbesar di dunia), 50 juta orang pengguna Twitter, dan 45 juta orang pengguna Instagram. Media sosial ini dimanfaatkan oleh buzzer untuk menjadi medium luar biasa berkembangnya kampanye jahat, hoax, fitnah, dan politisasi SARA.

Apalagi narasi buzzer itu masuk dan dishare secara personal dalam grub keluarga macam Whatsapp, LINE, BBM, dan sejenisnya yang menjadi tak terbendung untuk menyebarkan kebencian, kabar bohong, dan fitnah seputar calon, penyelenggara, maupun teknis administrasi pelaksanaan pilkada, atau sebaliknya.

Lompatan Strategi Taktis

Kita berharap Bawaslu menemukan strategi taktis untuk melakukan sterilisasi politik SARA. Bawaslu sebagai panitia gelaran Pilpres 2024 sudah seharusnya melakukan kajian dan menemukan strategi taktis dalam menangkal terjadinya politik SARA dan identitas nanti. Faktor-faktor penyebab merakanya politik harus ditakar atau disumbat dengan pendekatan-pendekatan humanis.

Secara khusus, Bawaslu sudah harus memberikan signal bahwa isu politik identitas tidak boleh ada dalam gelaran politik Indonesia nanti. Bawaslu mulai hari ini perlu melakukan pendekatan dan edukasi kepada kelompok partai dan masyarakat. Misalnya dengan memberikan nilai-nilai kebangsaan, toleransi dan pamahaman terhadap tafsir identitas yang tak selesai ini. Bawaslu memiliki tanggung jawab bagaimana politik identitas lenyap dari NKRI.

Bawaslu juga harus memberikan sebuah peraturan tegas bahwa partai tidak boleh memainkan isu dan politik SARA. Juga masyarakat harus menolak jika ada partai menebar isu SARA, misalnya dengan penyebaran ujaran kebencian di rumah ibadah, dan lainnya. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi polarisasi di antara tokoh agama dan keagamaan pada umumnya.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru