31.9 C
Jakarta

Menangkal Overdosis Beragama

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMenangkal Overdosis Beragama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Penulis: Dr. Wildani Hefni, M.A., Judul: Overdosis Beragama: Esai Trajektori Tahun Toleransi, Cetakan Pertama: Januari 2023, Jumlah Halaman: xxxiv + 334, Penerbit: Bildung, ISBN: 978-623-6379-94-3, Peresensi: Fathur Roziqin.

Harakatuna.com – Kita jengah akan keberadaan kaum beragama yang culas dan egois. Kita bosan menyaksikan kaum beragama yang pongah dan serakah, menebar kebencian akut dan kegetiran budaya hasut. Mereka kian merasa paling benar sendiri di antara sekian banyak kemungkinan kebenaran pemahaman agama ini. Hari-hari ini pelbagai residu kemanusiaan dipenuhi sesak kerusakan akibat kecongkakan dan keserakahan, menyebabkan kita sulit berkembang membangun peradaban.

Kita diliputi teror oleh keberadaan mereka. Kita diam dikira bodoh, kita melawan dikecam sembarang stempel melekat dalam kepribadian seseorang: liberal, pendukung komunis, sekuler, buzzer, intoleran, anti-Islam, anti-Pancasila, bahkan jihadis.

Penerbit Bildung, pada Januari 2023, menerbitkan buku dengan judul agak nyentrik, “Overdosis Beragama”. Buku tersebut ditulis dosen muda dari tempat kelahiran dan kampus tercinta saya, yakni Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember.

Buku itu menyoroti praktik keberagamaan umat beragama berpemahaman tunggal yang dinahkodai oleh kelompok yang, kebanyakan, bermasalah dalam cara beragama dan bernegara. Mereka berpemahaman sakral serta absolut dalam menafsirkan agama dan kacau memandang kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kita bisa bertanya: dari mana asal-muasal imajinasi pemahaman tunggal dan sakral dalam cara beragama yang mengakibatkan konflik tak berkesudahan?

Penulis buku mengemukakan praktik keberagamaan dengan pemahaman tunggal berkaitan dengan pendekatan tekstualis dan skriptualis nan literalis yang menganggap bahwa dalam beragama.

Kita cukup menggunakan Al-Qur’an dan hadis. Segala hal berkaitan dengan problem sosial, cukup mengacu pada dua pusaka suci itu, sembari melupakan kemungkinan perangkat lain yang dibutuhkan untuk menafsirkan agama sesuai kebutuhan sosial untuk berdampak pada kemaslahatan berkeadilan.

Pemahaman semacam itu tumbuh subuh hari ini, dan menyebabkan terjadinya sakralisasi tafsir agama atas klaim kebenaran tunggal dari sekian banyak kemungkinan kebenaran yang ada, seraya menutup diri berdialog dengan kemungkinan menemukan kebenaran di lain pihak.

Sikap demikian akan menimbulkan fanatisme buta dan egoisme dalam beragama; yang rapuh dan jauh dari kedewasaan berpikir dalam beragama. Ambil conto sejumlah kasus seperti ditunjukkan dalam buku ini.

Adalah penolakan pembangunan rumah ibadah umat beragama, polemik seragam sekolah untuk memakai seragam khas agama tertentu, peristiwa teror atas nama jihad, penyelewengan dana filantropi Islam, penangkapan pimpinan Khilafatul Muslimin tahun lalu, ialah buah pemahaman tunggal dan sakral serta rigid atas tafsir agama dan kitab suci untuk memenuhi kebutuhan nafsu pribadi atau kelompok demi kelanggengan semata.

Untuk menanggulangi percikan api itu kita perlu mengutip saran penulis buku: “Yang diperlukan (kini) adalah rekonstruksi berpikir untuk membuka mata hati dengan keragaman umat beragama dengan nalar keagamaan yang obyektif, humanis, dan toleran.

Rekonstruksi cara pandangan beragama menuntut untuk dilakukan dengan penggabungan pendekatan yang tidak melulu bertumpu pada persoalan kenyamanan subjektif. Jika ini dibiarkan, maka pendapat yang menunggalkan absolutisme keagamaan dan cenderung legal formal akan menjadi sumbu pertikaian dalam beragama.”

BACA JUGA  Felix Siauw dan Propaganda Khilafah di Indonesia

Buku setebal 234 halaman ini pada dasarnya berupaya menangkal praktik overdosis beragama yang dihayati secara membabi-buta dan jauh dari sikap kedewasaan dalam beragama yang cerdas dan moderat. Pada konteks ini, dalam salah satu esainya, penulis buku menyodorkan racikan obat sehat dari ulama karismatik yang  telah mengajarkan bagaimana cara beragama dan bernegara dengan fondasi tiga nilai-nilai berikut.

Pertama, ukhuwah islamiah, sebuah jalinan persaudaraan yang tumbuh dan lahir berdasarkan keimanan sebagai Muslim. Kedua, ukhuwah wathaniah, sebuah jalinan persaudaraan yang tumbuh dan lahir kemudian berkembang atas dasar rasa nasionalisme dalam bernegara dan berbangsa. Ketiga, ukhuwah basyariyah, sebuah jalinan persaudaraan yang tumbuh dan lahir atas dasar fitrah kita sebagai manusia seutuhnya.

Tiga prinsip ini diracik oleh ulama nasional yang kini namanya jadi ikon kampus UIN Jember yang dikenal dengan Kiai Haji Achmad Siddiq.

Selain itu, terdapat penangkal praktik overdosis beragama yang ditawarkan buku ini, dan dalam catatan saya, setidaknya tiga hal pokok ini penting kita renungkan dan implementasikan.

Pertama, fikih moderat sebagai pendekatan cara beragama. Sebuah pendekatan yang bertujuan untuk merumuskan ulang pandangan keagamaan yang tak hanya berpijak pada satu dalil agama semata. Ia juga menuntut kombinasi berbagai disiplin keilmuan lainnya, sehingga perumusan hukum tak melulu terkungkung pada literal teks, melainkan berproses dan berintegrasi dengan perkembangan dan tuntunan zaman.

Kedua, altruisme wasatiah sebagai pijakan nilai fundamental beragama. Cara pendekatan ini termuat dalam dua komponen penting: mencintai orang lain dan penghargaan terhadap orang lain. Sebagai sebuah nilai kebahagiaan dan nilai kemaslahatan yang bergantung pada dorongan naluri simpatik dan respek pada liyan untuk memadai dalam cara bersosial beragama, dengan pijakan nilai-nilai altruisme.

Ketiga, solidaritas sebagai modal perdamaian. Ikatan solidaritas sosial menjadi tumpuan bagi cita-cita terciptanya perdamaian di antara sekian banyak umat manusia sebagai sesama anak bangsa. Itulah keniscayaan lahirnya kesadaran solidaritas mekanik, demikian menurut kajian sosial, dalam berbangsa dan bernegara.

Gambaran di atas memberi pemahanan utuh dan holistik bagaimana cara pandang beragama dan bernegara sekaligus berbangsa yang kokoh dan toleran. Selain itu, mampu berdiri tegak dengan basis pemahaman sesuai prinsip nilai-nilai ajaran agama yang diracik oleh ulama-ulama kita. Buku itu mengarah pada arah itu.

Namun demikian, dalam buku ini, terdapat sejumlah catatan penting sebagai refleksi; bahwa sepanjang buku terdapat sekian materi yang tampaknya sudah dibahas namun dibahas kembali, sehingga kesannya mengulang apa yang sudah dibahas.

Meski demikian, terdapat sejumlah tawaran paradigmatik dalam cara beragama dan bernegara. Buku ini tetap memikat gaung pikiran untuk dibaca bagi semua kalangan: dosen, mahasiswa, santri, atau bahkan kaum jomblo fi sabilillah.

Fathur Roziqin
Fathur Roziqin
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru