32.5 C
Jakarta

Menciptakan Optimisme Politik, Memperbaiki Demokrasi

Artikel Trending

Milenial IslamMenciptakan Optimisme Politik, Memperbaiki Demokrasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Saat aktivis HTI yang menggelar acara metamorfoshow viral beberapa waktu lalu, ada narasi menggelitik yang muncul sebagai respons oleh kalangan HTI. Melalui website, Instagram, dan Telegram, mereka menyebarkan narasi bahwa Indonesia saat ini sedang berada dalam krisis. Krisis tersebut, menurut mereka, disebabkan negara ini tidak menerapkan syariat yaitu khilafah dan malah menerapkan demokrasi yang bukan syariat.

Menganggap khilafah sebagai syariat dan menuduh demokrasi sebagai non-syariat sejatinya keliru fatal. Tetapi narasi semacam itu dapat dimaklumi karena bagian dari doktrin ideologis. Sekalipun sudah banyak dijelaskan bahwa anggapan tersebut tidak memiliki dasar teologis yang kuat, atau dukungan Al-Qur’an dan hadis yang sharih, ia akan tetap digulirkan untuk mengindoktrinasi umat. Tujuannya jelas politik. Tidak ada yang lain.

Tetapi benarkah Indonesia dalam keadaan krisis demokrasi? Boleh jadi demikian. Harus diakui bahwa pasca-Pemilu, ada banyak narasi politik berseliweran di media sosial. Narasi tentang kecurangan hingga polarisasi tak terhitung jumlahnya. Demokrasi juga dalam tidak sedang baik-baik saja karena segelintir elite politik mempertontonkan kerakusan mereka—menggunakan segala cara untuk mendapat kursi kekuasaan.

Namun demikian, narasi yang menyudutkan demokrasi juga tidak dapat dibenarkan. Demokrasi negara ini memang harus berbenah: diperbaiki dan bukan dirombak. Tidak ada alasan untuk menarasikan pesimisme politik. Demokrasi akan semakin baik dan keadilan-kesejahteraan akan tercipta segera. Jika ada yang memanfaatkan kondisi ini untuk mempropagandakan khilafah, maka propaganda tersebut harus dilawan.

Menangkal Propaganda Khilafah

Propaganda khilafah tidak dilakukan di ruang hampa. Terdapat banyak celah yang dapat dipolitisasi. Situasi aktual demokrasi memiliki celah tersebut, sehingga propaganda khilafah dapat ruang di hati generasi muda yang pesimis terhadap politik nasional. Apalagi jika embel-embelnya adalah kejayaan umat, atau keemasan Islam, semua pasti tertarik. Lantas apa yang mesti dilakukan untuk menangkal semua itu?

Penguatan pendidikan inklusif dan berbasis nilai-nilai multikulturalisme menjadi kunci utama menangkal propaganda khilafah. Sekolah-sekolah harus mengajarkan toleransi, anti-khilafahisme, dan mempromosikan moderasi beragama. Melalui penguatan pendidikan inklusif, generasi muda dapat terhindar dari propaganda transnasionalisme dan justru menjadi agen keumatan yang memperkuat harmoni sosial.

Tidak hanya itu, penting untuk memperkuat kerja sama antara stakeholder pemerintah, ormas, dan para dai dalam menangkal propaganda khilafah HTI. Melalui kerja sama yang erat, strategi efektif untuk membantah HTI akan tercipta. Para ustaz dan kiai juga memiliki peran sentral dalam memberikan pemahaman yang benar tentang ajaran Islam yang wasatiah. Mereka mesti mengajak umat menjaga persatuan.

Itu saja? Tidak. Menangkal propaganda khilafah juga dapat ditempuh melalui penguatan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara. Pancasila, dengan prinsip-prinsipnya yang mengutamakan keadilan sosial, persatuan, dan kerakyatan, merupakan landasan kokoh dalam meresistansi khilafah—menjaga kedaulatan ideologis dari propaganda khilafah.

Tentu saja, dalam menghadapi propaganda khilafah HTI, langkah-langkah tersebut harus diiringi dengan penegakan hukum yang tegas terhadap seseorang atau kelompok yang terlibat dalam kegiatan khilafahisasi—sebagaimana panitia metamorfoshow di TMII kemarin. Penegakan hukum yang adil akan memberikan sinyal kuat bahwa negara tidak pernah mentolerir upaya-upaya pengeroposan pilar kebangsaan.

BACA JUGA  Pemilu 2024: Pemuda Jadi Target Teroris

Inilah saatnya bagi kita untuk bersatu, bertindak secara bersama-sama, demi menjaga negara dari rongrongan khilafah. Demokrasi—sekali lagi—mesti diperbaiki, namun bukan diganti khilafah. Khilafah justru membuat ruang persatuan tertutup rapat oleh eksklusivisme. Padahal, yang mendesak dilakukan untuk kondisi tanah air seperti saat ini ialah merajut persatuan nasional.

Merajut Persatuan Nasional

Ada satu fakta yang menarik bahwa Indonesia telah lama jadi penjuru kemegahan harmoni di tengah gemerlap instabilitas global. Karenanya, merajut persatuan nasional tidak saja menjadi tantangan utama bangsa ini, namun juga pijakan utama menuju kejayaan yang abadi. Persatuan bukanlah sekadar impian, melainkan prinsip yang terbangun dari kerja keras, pengorbanan, dan tekad bersama.

Persatuan nasional merupakan fondasi kuat yang menopang bangsa Indonesia menghadapi berbagai rintangan dan tantangan, termasuk tantangan demokrasi saat ini. Tetapi, upaya tersebut memerlukan partisipasi aktif setiap warga negara. Tidak hanya tanggung jawab pemerintah atau kelompok tertentu, tetapi panggilan jiwa bagi setiap masyarakat untuk berkontribusi dalam memelihara persatuan.

Salah satu kunci merajut persatuan nasional adalah melalui penghormatan terhadap keberagaman. Indonesia bukanlah hanya sekadar satu warna, satu suara, atau satu keyakinan. Negara ini adalah mozaik indah dari beragam tradisi, budaya, dan keyakinan. Ini sama krusialnya dengan pendidikan, dalam konteks perannya untuk merajut persatuan nasional. Sama urgennya juga dengan dialog lintas kultural.

Melalui dialog yang intensif, jembatan yang menghubungkan hati dan pikiran antarmasyarakat akan terbangun. Namun dialog yang dimaksud bukanlah tentang mencari kesamaan semata, tetapi juga tentang menghormati perbedaan dan mencari titik temu yang memperkaya nilai-nilai kita sebagai bangsa. Ketika ada masalah, sebagaimana kondisi politik yang dipandang pesimis, dialog intensif akan mendorongnya ke arah optimisme.

Tentu saja merajut persatuan nasional tidaklah mudah. Tidak jarang, arus polarisasi dan konflik dapat mengancam fondasi persatuan. Karenanya, setiap masyarakat memiliki tanggung jawab untuk menjaga keamanan, kedamaian, dan keadilan. Pada saat yang sama, mereka punya tanggung jawab melawan pesimisme politik yang dinarasikan para pegiat khilafah: bahwa masa depan politik tanah adalah khilafah.

Pesimisme tersebut ibarat racun yang harus dijauhi. Sementara itu, optimisme politik mesti diciptakan untuk perbaikan demokrasi di satu sisi dan perbaikan masyarakat di sisi lainnya. Jika masyarakat sudah optimis, sembari memiliki tekad untuk memperbaiki demokrasi, maka secara tidak langsung propaganda khilafah telah gagal. Jika propaganda khilafah gagal, maka NKRI menang. Mari perbaiki demokrasi dan khilafah otomatis kalah telak.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru