28.8 C
Jakarta

Menghindari Tafsir Tekstual, Menyelamatkan Diri dari Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMenghindari Tafsir Tekstual, Menyelamatkan Diri dari Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dunia penafsiran menjadi suatu hal yang sangat penting bagi perjalanan keagamaan manusia. Perilaku keagamaan seperti akidah, ibadah, akhlak, maupun yang non-keagamaan seperti kehidupan sosial, diatur sedemikian rupa oleh Al-Qur’an.

Akan tetapi, Al-Qur’an tidak secara gamblang menjelaskan semua hal dengan bahasa yang lugas. Di sanalah peran tafsir untuk menguraikan maksud Al-Qur’an tersebut. 

Tafsir yang bersifat tekstual sendiri merupakan bentuk penafsiran yang menyandarkan makna pada narasi asli dalam Al-Qur’an. Usaha seperti ini dikecam oleh banyak tokoh ulama karena dianggap mengandung mudarat yang banyak, khususnya yang terkait dengan perilaku keagamaan. Untuk membuktikan hal-hal tersebut, mari kita simak penjelasannya.

Historisitas Penafsiran Al-Qur’an

Al-Qur’an turun selama kurun waktu dua dekade lebih dengan segala hukum dan syariatnya. Selama Rasulullah hidup, beberapa ayat yang belum dipahami oleh para sahabat mampu ditanyakan langsung kepada Rasulullah. Dengan wafatnya Rasulullah maka para sahabat perlu melakukan ijtihad karena masih banyak ayat yang belum tereksplanasikan dengan baik. 

Para sahabat kemudian mencurahkan hatinya untuk menelusuri makna Al-Qur’an dengan metode bil ma’tsur atau dengan mencari peninggalan hadits atau ayat Al-Qur’an itu sendiri untuk mampu memberi penjelas bagi suatu ayat. Para sahabat tersebut di antaranya adalah Ibnu Abbas, Muqatil ibn Sulaiman, dan lainnya. 

Kemudian, berkembang setelah itu penafsiran-penafsiran lain yang lebih modern dengan metode dan corak yang berbeda-beda. Seperti metode tahlili, ijmali, adabi wal ijtima’iy, dan maudhu’i. Juga dengan corak fikih, tasawuf, falsafi, dan corak keilmuan lain yang dikuasasi oleh mufasir tersebut. 

Tafsir dari Zaman ke Zaman

Seperti yang mampu dirasakan oleh para kaum Muslim sekarang, tafsir telah mengalami dinamika yang pesat. Dari tafsir yang hanya bersumber pada Al-Qur’an dan hadis Nabi, kini telah mampu menyesuaikan dengan pendekatan keilmuan yang ada. 

Keberanian ini sebagai upaya menghadapi peradaban yang selalu berkembang. Islam tidak boleh bersifat stagnan dengan tidak berani mengambil langkah pendekatan keilmuan sosial maupun sains.

Pada akhirnya, muncullah tafsir ayat-ayat kauniyah yang mencoba menafsirkan fenomena alam yang ada dalam Al-Qur’an. Seperti halnya ayat tentang teori Big Bang yang tertera pada QS. Al-Dzariyat ayat 47.

Stagnansi Tafsir Tekstual 

Di sini penulis berani menyifati tafsir tekstual dengan stagnan. Karena itulah yang dipraktikkan oleh golongan Islam fundamentalis, radikalis, dan teroris. Hal itu adalah fenomena yang nyata. Sebelum itu, di sini penulis akan menyuguhkan apa itu tafsir tekstual serta metodologinya. 

Tafsir tekstual adalah tafsir yang secara orientatif mengarah kepada pemahaman harfiah-tekstual Al-Qur’an tanpa melihat konteks yang melingkupinya.

BACA JUGA  Pilpres 2024 dan Ketaatan Doktrinal yang Berbahaya, Lawan!

Sedangkan lawannya, tafsir kontekstual merupakan tafsir yang tidak hanya terpacu pada tekstualitas bahasa, tetapi juga memperhatikan aspek-aspek lain yang melingkupi turunnya ayat tersebut. Dan model tafsir yang seperti inilah yang diagungkan oleh para ulama kontemporer. 

Dalam pengaplikasian tafsir tekstual terkait ayat-ayat jihad memberi ketakutan terhadap umat lain, tidak terlepas umat Islam sendiri. Golongan Islam yang masih melegalisasi tafsir tekstual memberikan kecaman besar terhadap penganutnya. Kemelekatan pada teks inilah sumber dari tindakan-tindakan radikal dalam agama. 

Radikalisme dari Tafsir Tekstual

Tafsir tekstual secara nyata adalah upaya mendistorsi agama. Dengan berdalih jihad mereka melakukan serangkaian kekerasan pada golongan yang dianggap pantas untuk mendapatkannya.

Karakter spiritual yang lekat dengan kaum radikal adalah, antara lain, gampang mengafirkan orang, membid’ahkan suatu ajaran, dan menegakkan syariat semena-mena. Hal itu bersumber dari pemahaman tekstual akan ayat Al-Qur’an. 

Pada QS. Al-Maidah ayat 44, Allah berfirman:

وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” 

Apakah kafir berhukum dengan selain hukum Allah? Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata: “Yang benar adalah bahwa berhukum dengan selain hukum Allah mencakup dua jenis kekafiran, kecil dan besar, sesuai dengan keadaan pelakunya.

Jika ia yakin akan wajibnya berhukum dengan hukum Allah (dalam permasalahan tersebut) namun ia condong kepada selain hukum Allah dengan suatu keyakinan bahwa karenanya ia berhak mendapatkan hukuman dari Allah, maka kafirnya adalah kafir kecil (yang tidak mengeluarkannya dari Islam).

Akan tetapi, kaum radikalisme tidak peduli dengan pendapat tersebut. Mereka memukul rata terhadap semua. 

Pada ayat lain yaitu QS. Al-Hajj ayat 39, Allah berfirman:

اُذِنَ لِلَّذِيْنَ يُقَاتَلُوْنَ بِاَنَّهُمْ ظُلِمُوْاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ عَلٰى نَصْرِهِمْ لَقَدِيْرٌۙ

Diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi karena sesungguhnya mereka dizalimi. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa membela mereka.

Tanpa pendekatan keilmuan dan metodologi yang ketat, kaum tekstual langsung mengamini dan mengaktualisasikan ayat tersebut. Dan ini sesuatu algoritma penafsiran yang salah. Inilah yang dimaksud dengan stagnansi paham tekstual dalam tafsir. Tidak ada perkembangan dari aspek ilmu, sosial, dan lainnya.

Radikalisme bersumber dari pemahaman ayat Al-Qur’an secara literal. Mereka tidak mampu mengompromikan ayat-ayat yang ada dengan pendekatan keilmuan yang selaras dengan konteks zaman. Dengan ketidakmampuan tersebut mereka memilih menyerah dan menenggak mentah-mentah ayat-ayat Al-Qur’an apa adanya. Mari selamatkan diri dari radikalisme dengan cara menjauhi tafsir tekstual.

Mahfudhin
Mahfudhin
Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Sains Al-Ishlah. Peminat kajian tafsir Al-Qur’an, filsafat, linguistik, pendidikan, dan sosial-budaya.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru