29.2 C
Jakarta

Overdosis Ajaran Radikal Manipulatif di Media Sosial

Artikel Trending

Milenial IslamOverdosis Ajaran Radikal Manipulatif di Media Sosial
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Gerakan radikalisme berkembang melalui media sosial. Ini telah banyak dijelaskan oleh pakar maupun lembaga yang menaungi tentang radikalisme dan terorisme. Namun hingga kini, masih terus mengakar dan tidak kunjung selesai persoalan radikalisme di media sosial ini.

Umumnya masyarakat yang terpapar paham radikalisme di media sosial karena sebuah kebutuhan akan pelajaran keagamaan. Mereka berselancar secara suka rela untuk mendapatkan pelajaran keagamaan secara cepat. Praktis orang ini mendelegasikan akalnya untuk media sosial.

Era Post-Truth

Sayangnya, masyarakat seringkali abai terhadap perkembangan media sosial. Mereka kira, di dalam media sosial isinya hanyalah tentang ajaran yang baik-baik saja. Padahal, di sana begitu banyak konten yang membuat orang jadi radikal.

Ingat, banyak kelompok memang memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat. Masyarakat yang tidak tahu akan rimba media sosial dijadikan sebagai tumbal utamanya untuk memenuhi hasrat mereka.

Labih jauh, masyarakat yang bernafsu belajar agama tetapi minim literasi digital diarahkan untuk ikut terjebak ke dalam lubang hitam radikalisme. Kelompok radikal ini mengakomodasi keinginan-keinginan masyarakat hingga akhirnya mereka nyaman.

Kelompok radikal memberdayakan era post-truth ini sebagai penggalian titik lubang untuk menyergap masyarakat yang mengikuti hawa nafsu dalam persoalan belajar agama. Di titik inilah, kelompok radikal bermain dan seakan-akan mendukung sesuatu yang dipikirkan oleh orang tersebut. Padahal mereka hanya mengakomodasi yang kemudian dibelokkkan menjadi martir terorisme.

Beberapa Contoh

Banyak sudah contohnya. Ada orang ingin melihat negara yang seperti di zaman Nabi. Ada orang ingin merasakan sebuah negera yang seperti dilukiskan di dalam kitab suci. Semua di atas kemudian diberikan jalan oleh kelompok radikal dengan cara dikirimkan ke Afghanistan, Pakistan, dan negara konflik lainnya.

BACA JUGA  Cara Berislam dengan Damai

Orang-orang ini dulunya begitu yakin bahwa ada negara seperti di zaman Nabi. Keyakinan tersebut didapat karena mereka telah melihat gambar dan video di internet dan lainnya. Sayangnya mereka tidak tahu bahwa semua video tersebut hanyalah buatan kelompok radikal teroris. Mereka secara mantap memutuskan untuk membakar Kartu Tanda Penduduk (KTP) Indonesia demi berangkat ke negara surga tersebut.

Setelah sampai di sana mereka nangis dan menyesal. Anak-anaknya diajari memegang senjata laras panjang. Sementara istrinya dijadikan sebagai alat produksi untuk melangsungkan regenerasi kelompok radikal di negara sana. Belum lagi ibu-ibu yang disuruh menyediakan amunisi dan lain sebagainya.

Konten Manipulatif

Semua cerita di atas tidak lepas karena digital. Mereka dipertemukan oleh berbagai kepentingan. Masyarakat menginginkan negara yang seperti di zaman Nabi, kelompok radikal butuh masyarakat itu untuk dijadikan martir, dan media sosial butuh konten. Sebagai akibatnya, mereka masuk pada dunia yang tak pernah mereka pikirkan.

Mereka bersatu, mengeras, membangun tembok, dan siap berkonflik menggunakan masing-masing kepentingan tersebut. Mereka membunuh pikiran dan sikap-sikap manusia yang pernah ada dan alamiah dalam kehidupan ini.

Mereka membunuh sifat toleransi dan menegakkan pemikiran sendiri sambil memaksa orang-orang untuk mengikuti. Secara kasar seringkali mereka juga menggunakan dalil-dalil dangkal diksi-diksi kasar dan manipulatif. Akhirnya, di tengah dunia ketidakpastian itu, mereka menjadi makhluk yang mengancam.

Manusia-manusia radikal ini menjadi ancaman yang membayangi keamanan global. Adanya makhluk mengancam ini hanya karena peran media dan kelompok radikal yang berideologi ekstrem. Ditambah masyarakat yang berburu ajaran agama dengan nafsu dan kedangkalan berpikir.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru