29.5 C
Jakarta

Memburuknya Demokrasi dalam Pemilu: Potensi Khilafahisasi Semakin Besar

Artikel Trending

KhazanahTelaahMemburuknya Demokrasi dalam Pemilu: Potensi Khilafahisasi Semakin Besar
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Negara kita sedang mengalami kelumpuhan demokrasi. Hal ini ditengarai oleh pelaksanaan Pemilu yang sampai hari ini selalu menemukan sisi buruk pada setiap waktu. Ini bermula putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penetapan umur kepala daerah di bawah usia 40 tahun dapat mengajukan diri sebagai presiden atau calon wakil presiden, yang kemudian menjadikan Gibran sebagai sosok calon wakil presiden sebagai pasangan Prabowo.

Pasangan Prabowo-Gibran, maju sebagai salah satu Capres-Cawapres sebagai lawan dari pasangan Anies-Cak Imin dan Ganjar-Mahfud. Pesta demokrasi tahun ini, semacam menjadi sinyal memburuknya demokrasi di Indonesia karena kejanggalan-kejanggalan yang ada.

Salah satunya, baru-baru ini, Presiden Jokowi yang menjadi sorotan masyarakat. Di tengah polemik isu kehadiran Gibran yang diduga sebagai sinyal monarki untuk menggantikan bapaknya, Presiden Jokowi, ia mengeluarkan pernyataan bahwa Presiden dan para menteri memiliki hak politik untuk memihak salah satu paslon. Menurut Jokowi, keberpihakan adalah sah selama tidak menggunakan fasilitas negara. Sontak pernyataan tersebut menuai pro-kontra. Rakyat merasa bahwa demokrasi sedang dikorupsi.

Tidak berhenti disitu, Khofifah Indar Parawansa juga menjadi sorotan publik lantaran pernyataannya yang menyebut bahwa Prabowo-Gibran seperti sosok Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Ali dalam komposisi senior-junior pada Pemilu yang akan datang ini.

“Kira-kira begitu komposisi senior-junior ada di Sayyidina Abu Bakar dan ada di Sayyidina Ali,” ujar Khofifah Indar Parawansa, anggota Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, kepada seorang wartawan.

Pernyataan Khofifah sangat salah kaprah dan prematur dengan perumpamaan yang disampaikan tersebut. Dari segi kepribadian, Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Ali adalah sosok yang berbeda. Jauh bagai langit dan bumi jika disejajarkan dengan Prabowo-Gibran yang saat ini sedang mencalonkan diri sebagai pemimpin negara. Keduanya (Sayyidina Ali dan Abu Bakar), sama sekali tidak haus kekuasaan dan tidak berambisi menjadi pemimpin pemerintah. Mereka dipilih lantaran sikap dan tanggung jawab sebagai manusia, dibutuhkan oleh masyarakat pada saat itu.

Tidak seperti Prabowo-Gibran yang sedang mencalonkan diri sebagai pemimpin. Sosok Gibran lahir dari anak haram konstitusi yang sudah diduga siap menggantikan sang bapak (red; Presiden Jokowi).

BACA JUGA  Intrik Licik HTI: Menyebarkan Ideologi Khilafah Berkedok Isra’ Mi’raj

Potensi Khilafahisasi Semakin Besar

Terciptanya situasi buruk yang dianggap menciderai demokrasi, dengan berbagai kejanggalan yang ada, menjadikan situasi semacam ini sangat ciamik bagi masyarakat khilafah untuk menyebarkan ideologinya. Kritik dan propaganda yang diberikan oleh aktivis khilafah sangat berdasar. Mereka memanfaatkan situasi bobroknya demokrasi dengan memberikan solusi bahwa khilafah adalah sistem terbaik bagi masyarakat Indonesia.

Dengan dalih bahwa dalam sistem khilafah tidak akan ada nepotisme, politik dinasti, dan tidak berkiblat dari Barat, kelemahan kita saat ini yang sedang dimanfaatkan dan ditertawakan oleh aktivis khilafah untuk mencuri suara massa.

Sama seperti kita yang tidak memberikan ruang terhadap tegaknya khilafah, semestinya tidak boleh memberi ruang atas kehadiran politik dinasti. Demokrasi tidak boleh diciderai oleh pemimpin yang lahir dari cacatnya hukum dan menyalahi undang-undang. Apabila kita abai terhadap kondisi yang terjadi di Indonesia, bukankah sama saja kita adalah bangsa yang menghancurkan negaranya sendiri? Wallahu A’lam.

Mari Selamatkan Demokrasi Dimulai dari Diri Sendiri

Sebagai masyarakat, aktivis, atau bahkan seorang intelektual, dari manapun kita berasal, penting untuk melihat situasi demokrasi saat ini untuk terus kritis, dan mempertanyakan kondisi demokrasi yang terjadi di Indonesia. Pengetahuan ini tidak boleh menjadikan kita sebagai masyarakat yang fobia terhadap demokrasi atau mengolok-olok diri sendiri sebagai bangsa Indonesia, apalagi justru ikut arus untuk mendukung ide khilafah. Jangan sampai!

14 Februari adalah hari penting bagi seluruh masyarakat Indonesia. Seberapa besar dan banyak pengaruh atas kampanye yang dilakukan oleh orang lain untuk memilih salah satu calon, pilihan hati nurani ada pada kita yang tidak akan dipengaruhi oleh siapa pun. Pada momentum inilah kita benar-benar menyuarakan keinginan, harapan terhadap pemimpin Indonesia yang akan datang. Maka jangan pernah hilangkan sikap kritis yang ada pada diri kita sebagai bangsa Indonesia. Satu suara kita, adalah penentu siapa yang akan menjadi pemimpin Indonesia pada 5 tahun yang akan datang. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru